Sukses

Hilirisasi Rumput Laut di Gunung Kidul Jadi Salah Satu Kunci Kemakmuran RI

Pemerintah menggenjot program hilirisasi untuk meningkatkan kemakmuran.

Liputan6.com, Jakarta Mari kita jelajahi Gunungkidul, namun kali ini bukan untuk mencari gaplek, makanan khas dari singkong kering yang sering diasosiasikan dengan wilayah pantai selatan Yogyakarta. Sebaliknya, kita akan mengamati proses pengolahan rumput laut yang diubah menjadi berbagai produk bernilai tinggi.

Jika Anda mampir ke Padukuhan Dunggubah I, Duwet, Wonosari, Anda akan menemukan potensi besar dari hasil olahan rumput laut. Produk-produk olahan dari daerah ini tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke negara-negara seperti Hong Kong dan Jepang.

Salah satu pengolah rumput laut yang terkenal di Gunungkidul adalah Nuraji, seorang pria berusia 84 tahun. Meski usia senjanya, semangatnya dalam mengolah rumput laut tetap luar biasa. Nuraji memimpin kelompok UD Rumput Mandiri yang berfokus pada pengolahan rumput laut.

“Kami mengutamakan produk seperti agar-agar lembaran, karagenan, bahan baku, dan pupuk organik rumput laut. Itu yang menjadi fokus utama kelompok kami,” ujar Nuraji dalam sebuah video YouTube yang dipublikasikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

2 dari 4 halaman

Ubah Jadi Produk Bernilai Tinggi

Kelompok Nuraji membeli rumput laut dari pengepul yang mendapatkannya dari masyarakat setempat. Jenis rumput laut yang digunakan sangat beragam, antara lain Sargassum, Ulva Lactuca, dan Gelidium.

Saat berkunjung ke gudang UD Rumput Mandiri, Anda akan melihat tumpukan rumput laut yang tengah dijemur. Karung-karung rumput laut kering disusun dengan rapi, siap untuk diolah.

Di dapur produksi, kompor tidak pernah padam. Nuraji dan timnya bekerja keras mengubah rumput laut menjadi produk bernilai tinggi. Salah satu produk andalan mereka adalah agar-agar dalam bentuk lembaran.

Namun, jangan bayangkan agar-agar tersebut seperti yang biasa Anda temui. Lembaran agar-agar produksi mereka kering dan keras, menyerupai kertas. Untuk bisa dimakan, agar-agar ini harus dimasak terlebih dahulu.

Proses pengolahan yang dilakukan oleh kelompok Nuraji ini menggambarkan dengan jelas bagaimana hilirisasi dapat meningkatkan nilai tambah. Rumput laut yang awalnya dibeli dengan harga murah per kilogram, kini bisa diubah menjadi bahan pangan bernilai tinggi.

“Untuk agar-agar lembaran, kami jual seharga Rp125 ribu per kilogram. Sedangkan yang rusak, kami olah menjadi tepung dengan harga Rp140 ribu per kilogram,” ujar Nuraji.

3 dari 4 halaman

Kembangkan Hilirisasi Rumput Laut

Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, menyampaikan bahwa pemerintah berencana untuk mengembangkan hilirisasi rumput laut, salah satunya dengan menghasilkan bioavtur dari produk olahan rumput laut.

“Kami juga bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), khususnya dengan Bapak Trenggono. Kami sudah memiliki gambaran awal mengenai hal ini, dan kami telah menyampaikan serta memastikan apa saja potensi prioritas yang perlu dikembangkan,” ujar Rosan, Minggu, 3 November 2024.

Rosan menambahkan bahwa riset awal mengenai pemanfaatan rumput laut untuk bioavtur dan produk lainnya sudah tersedia, dan kini tinggal dibahas lebih lanjut dengan KKP. Ia yakin hilirisasi rumput laut memiliki potensi besar untuk menghasilkan nilai tambah yang signifikan.

Hilirisasi rumput laut memang menjanjikan. Data KKP menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput laut baru mencapai 0,8 persen, atau sekitar 102.254 hektare, dari total potensi lahan sebesar 12 juta hektare.

“Indonesia merupakan penghasil rumput laut terbesar kedua di dunia, dan untuk rumput laut tropis, kami adalah yang terbesar di dunia,” kata Rosan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor rumput laut Indonesia juga menunjukkan angka yang signifikan. Dalam lima tahun terakhir, ekspor rumput laut Indonesia terus meningkat. Pada 2019, ekspor rumput laut tercatat 195.604 ton, turun menjadi 181.524 ton pada 2020, namun kembali naik menjadi 208.788 ton pada 2021, melonjak lagi menjadi 237.270 ton pada 2022, dan mencapai 251.071 ton pada 2023.

 

4 dari 4 halaman

Hilirisasi Penting

Dalam Sidang Kabinet Paripurna perdana pada 23 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto menegaskan, pentingnya hilirisasi untuk meningkatkan kesejahteraan. Ia bahkan meminta kepada para menteri untuk segera melakukan koordinasi.

“Hilirisasi adalah kunci kemakmuran. Karena itu, saya minta kepada menteri-menteri terkait, Menteri Investasi dan Hilirisasi, Menteri Bappenas, Menteri ESDM, dan beberapa menteri lainnya, untuk segera berkoordinasi dengan Menko Perekonomian dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional untuk menginventarisasi proyek-proyek penting dalam program hilirisasi kita,” tegasnya.

Pada era kepemimpinan Prabowo Subianto, hilirisasi tidak hanya terbatas pada mineral tambang seperti nikel, tembaga, timah, besi baja, emas, perak, batu bara, aspal Buton, dan minyak bumi, tetapi juga mencakup sektor perkebunan dan perikanan, seperti kelapa, karet, getah pinus, udang, ikan TCT, rajungan, hingga rumput laut.

Prabowo Subianto bahkan memerintahkan para menteri terkait untuk segera merumuskan program hilirisasi untuk 26 komoditas utama yang harus diprioritaskan dalam waktu dekat.

“Kami akan segera merumuskan proyek-proyek hilirisasi untuk 26 komoditas vital ini, menyusun daftar, dan mencari dana untuk memulai hilirisasi sesegera mungkin,” ujarnya.

Dalam forum APEC CEO Summit 2024 di Peru, Prabowo Subianto menegaskan tekad Indonesia untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam.

“Kami memiliki 26 komoditas dan bertekad untuk mengembangkan industri pengolahannya,” tegasnya.

"Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD600 miliar untuk merealisasikan hilirisasi ini, dan mengundang perusahaan asing untuk turut berpartisipasi dalam proses ini," jelas Prabowo Subianto.

 

(*)