Sukses

Komisioner Komisi Informasi Jakarta Beberkan Dampak Turunan PPN Naik 12%

Komisioner Komisi Informasi (KI) Jakarta yang juga merupakan Ketua Bidang Sengketa Penyelesaian Informasi (PSI) Periode 2022-2024 Agus Wijayanto Nugroho mengatakan kenaikan PPN bermula pada 1983 ditetapkan sebesar 10 persen dan akan naik.

Liputan6.com, Jakarta - Komisioner Komisi Informasi Jakarta yang juga merupakan Ketua Bidang Sengketa Penyelesaian Informasi (PSI) Periode 2022-2024 Agus Wijayanto Nugroho mengatakan, kepentingan utama Komisi Informasi untuk memastikan sebuah kebijakan yang disampaikan kepada publik jelas dan terukur.

Hal ini disampaikan saat Pers Briefing dengan tema 'Penegakkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Dalam Isu Kenaikan PPN 12%' di Wisma BSG, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).

"Kewajiban badan publik itu menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan tidak menyesatkan. Itu menjadi konsekuensi yang harus dijelaskan kepada publik, ketika sebuah badan publik membuat kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Agus, Senin (25/11/2024).

Dia menyatakan penerapan PPN 12% terjadi secara faktual dengan proses yang berjalan cepat melalui trend kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari tahun ke tahun.

Kenaikan ini, lanjut Agus, bermula pada 1983 PPN ditetapkan sebesar 10 persen. Sehingga pada 1 Januari 2025 mendatang akan diberlakukan kenaikan PPN sebesar 12 persen.

"Sejak kali pertama UU Nomor 8 Tahun 1983 berlaku, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 10 persen. Kemudian, tarif PPN berubah menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 setelah pemerintah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021. Hingga tarif PPN akan dinaikkan untuk kedua kalinya menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025," ucap dia.

Dengan terjadinya kenaikan tersebut, Komisi Indonesia memiliki peran yang sangat penting kepada publik.

 

2 dari 3 halaman

Harus Berikan Informasi atau Gambaran Jelas

Agus menjelaskan, Komisi Indonesia berperan sebagai penanggungjawab isu keterbukaan dengan memberikan informasi atau gambaran yang jelas dan terukur kepada publik.

"Jika tidak adanya transparansi terhadap publik, akan mengurasi rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah," kata dia.

"Karena kalau sampai tidak gambaran jelas yang terukur, seolah-olah pemerintah mengambil kebijakan itu tanpa mempertimbangkan aspirasi ataupun kondisi di masyarakat," sambung Agus.

Pada dasarnya, lanjut dia, penyebab kenaikan PPN dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pasal 7 ayat (3), pemerintah berwenang mengubah tarif PPN paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

"Dan dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), rencana kenaikan tarif PPN ini adalah bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan," terang Agus.

 

3 dari 3 halaman

Akibat dari Kenaikan PPN

Menurut Agus, kenaikan PPN juga mengakibatkan timbulnya beberapa dampak yaitu adanya kenaikan biaya hidup, inflasi, pengurangan daya beli, terjadinya dampak pada sektor usaha.

Misalnya, kata dia, usaha kecil dan menengah kesulitan menaikkan harga produk untuk menutupi tambahan tarif PPN, sementara perusahaan besar mungkin dapat mentransfer biaya ini kepada konsumen, potensi pengeluaran negatif, dan tidak adanya keseimbangan pendapatan (masyarakat dengan pendapat rendah mungkin akan lebih terbebani.

Agus menambahkan, adapun dampak turunan yang menjadi pilihan masyarakat ketika PPN berpengaruh terhadap daya beli. Seperti, muncul perilaku-perilaku menyimpang baru yang dilakukan oleh publik atau pun masyarakat.

"Umumnya, masyarakat lebih memilih membuka usaha jual beli jasa seperti jasa titip (jastip) atau praktek ilegal lainnya," tambah Agus.

Berikut sasaran kebijakan dalam kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk sejumlah barang yang masuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dan UU HPP, PPN dikenakan pada barang yang dijual atau jasa yang diberikan oleh pengusaha di dalam daerah pabean:

Barang Kena Pajak Berwujud

- Elektronik

- Pakaian dan Barang Fashion

- Kendaraan Bermotor

- Perabot Rumah Tangga

- Makanan Olahan dan Kemasan

Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

- Hak Kekayaan Intelektual: Penggunaan hak cipta, paten, merek dagang, dan hak kekayaan intelektual lainnya

- Jasa Industri dan Komersial: Penggunaan hak atau perangkat yang digunakan dalam dunia industri atau komersial seperti teknologi dan peralatan ilmiah

Barang dan Jasa yang Dikecualikan dari PPN

- Transportasi Publik

- Kebutuhan Pokok Masyarakat

- Jasa Sosial dan Keagamaan

- Jasa Kesehatan dan Pendidikan