Liputan6.com, Jakarta Pada 28 Agustus 2024, pemandangan tak biasa terlihat di sawah Desa Bentuk Jaya 15 Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Di jalan tanah, puluhan traktor berjejer rapi, sebagian kecil dan berpegangan putih, sebagian lagi besar yang dikendarai. Traktor-traktor merah itu terlihat seperti siap menyambut tamu besar.
Tak jauh dari sana, beberapa petani muda sedang turun ke sawah tergenang air, termasuk seorang petani perempuan berbaju hitam merah dan topi straw hat, yang sedang menanam bibit padi.
Baca Juga
Beberapa saat kemudian, iring-iringan mobil menuju lokasi traktor. Salah satunya mengangkut Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman yang didampingi pejabat pusat dan daerah untuk mengecek lahan sawah percontohan yang dikelola dengan teknologi modern oleh petani milenial.
Advertisement
“Jangan berpikir petani seperti zaman dulu, zaman dulu adalah mekanisapi artinya sapi yang mengerjakan, sekarang mekanisasi ini alat,” ujar Amran.
"Nanti alat ini saya hibahkan untuk kalian, pendapatan kalian minimal Rp10 juta per bulan," jelasnya.
Janji Prabowo Subianto
Di hari pertama dilantik sebagai presiden RI ke-8, Prabowo Subianto sudah mencanangkan satu misi besar, yakni menjaga ketahanan pangan.
“Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar,” ujarnya pada Minggu, 20 Agustus 2024 lalu.
Tak ingin berlama-lama, Prabowo Subianto bersama para pakar yang membantunya, optimistis bisa mewujudkan swasembada pangan itu dalam 4-5 tahun lagi.
“Kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” ujarnya.
Ucapan yang hampir sama diulang Prabowo Subianto saat memimpin Sidang Perdana Kabinet Merah Putih pada 23 Oktober 2024. Di depan para menteri yang baru dipilihnya, Sang Presiden mengingatkan soal target swasembada padangan.
“Kita harus jamin kemampuan kita memberi makan rakyat kita sendiri,” ucapnya.
Pekerjaan besar ini bukan tidak mungkin terwujud. Usaha mengembalikan ketahanan pangan nasional sudah banyak dilakukan para presiden sebelumnya.
Makin tancap gas dalam 10 tahun terakhir. Namun pandemik Covid-19 menjadikan tantangan mewujudkan program besar ini sedikit melambat.
Tonggaknya dimulai ketika pemerintah melahirkan ide pembangunan food estate di beberapa daerah. Pengembangannya dibarengi pembangunan sejumlah bendungan dan irigasi di berbagai wilayah.
Advertisement
Food Estate Sudah Dijalankan
Pada tahun 2020, pengembangan food estate mulai dijalankan di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan jenis tanaman berbeda-beda. Data Kementerian Pertanian menunjukan pengembangan food estate sampai tahun 2024 dijalankan di lima kabupaten di Jawa, 1 kabupaten di NTT, dan Kalimantan Tengah.
Areal food estate di Jawa yang masing-masing seluas 1.000 hektare sudah dikembangkan di Wonosobo, Temanggung, Bantul, Garut, dan Gresik. Sementara Sumba Tengah mengelola areal yang lebih luas yaitu 10 ribu hektare. Dari semua wilayah itu, Kalteng sudah mengembangkan food estate dengan areal terluas yaitu 70 ribu hektare.
Dukungan juga diberikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama tahun 2015-2024 dengan membangun 42 dari target 62 bendungan di seluruh Indonesia.
Dari puluhan bendungan tersebut, volume air yang tersimpan mencapai 2,7 miliar meter kubik dari target 3,89 miliar meter kubik. Kehadiran bendungan tersebut membantu tersedianya pasokan air irigasi seluas 285.303 hektare.
Selain membangun bendungan, Kementerian PUPR juga melakukan pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi. Selama rentang 2015-2019, pembangunan irigasi telah mencapai 1.005.402 hektare.
Sementara pada periode 2020-2023 pembangunan jaringan irigasi mencapai 175.718 hektare sehingga totalnya mencapai 1.181.120 hektare atau 131 ribu hektare per tahun dalam rentang 2015-2023.
Dalam kurun waktu yang sama, rehabilitasi jaringan irigasi telah dilakukan seluas 4.344.868 hektare atau 480 ribu hektare per tahun.
Wujudkan Mimpi Besar
Dengan pijakan dari program hasil pemerintah sebelumnya, Presiden Prabowo dan para kabinetnya melanjutkan mimpi besar para pemimpin bangsa itu. Mimpi yang pernah terwujud tahun 1984 kala Presiden ke-2 Soeharto mampu mewujudkan swasembada beras dan mendapat pujian dari Organisasi Pangan Dunia (FAO).
Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan ketahanan pangan saat ini berbeda dengan era 90-an. Tengok saja jumlah penduduk yang membuat kebutuhan pangan ikut meningkat. Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian melaju dengan cepat di tengah pekerja di sektor pertanian (on-farm) yang semakin sedikit,
Petani produsen pangan yang ada saat ini juga semakin menua, kesuburan tanah yang semakin berkurang, serta perubahan iklim yang mengakibatkan pergeseran musim tanam dan kegagalan panen.
Pulau Jawa yang selama puluhan tahun menjadi lumbung pangan nasional kini mulai tergerus identitasnya. Kompetisi pemanfaatan lahan dan daya dukung lahan semakin terbatas. Beragam tantangan itulah yang melahirkan munculnya pemikiran membangun lumbung pangan nasional (food estate) di luar Pulau Jawa.
Dengan berbagai tantangan itu, Mentan langsung berlari cepat mewujudkan swasembada pangan. Program food estate yang sudah berjalan di era sebelumnya langsung digenjot.
Di tahun 2025, Kementan menargetkan program cetak sawah seluas 750 ribu hektare di Papua Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan (Kalsel), Sumatra Selatan (Sumsel), dan daerah lainnya.
Sawah baru ini akan menambah areal persawahan yang telah dibangun sebelumnya sebanyak 1 juta hektare di Merauke, Papua Selatan dan 500 ribu hektare di Kalteng.
Masih dalam upaya ekstensifikasi, Kementan tahun depan juga akan mengoptimalisasi lahan 350 ribu hektare di Papua Selatan, Kalteng, Kalsel, dan Sumsel. Tambahan areal pertanian baru dan existing itu diharapkan bisa mendorong peningkatan produksi padi sebanyak 32,83 juta ton dan jagung 16,68 juta ton pada tahun 2025.
Tak cuma menyediakan lahan pertanian, pemerintah juga telah memprogramkan benih unggul sebanyak 150 ribu ton atau 5 juta hektare. Adanya bonus demografi juga mendorong Kementan mencanangkan pengembangan pertanian model melalui pertanian milenial dengan target tenaga pertanian modern kompeten sebanyak 65.170 orang.
Advertisement
Modifikasi Alat Pertanian
Persoalan pertanian modern dengan mekanisasi ini pernah disinggung Guru Besar IPB University dan mantan Menteri Pertanian Kabinet Gotong Royong Bungaran Saragih.
Tingkat mekanisasi pertanian Indonesia termasuk salah satu yang terendah di Indonesia. Kondisi ini salah satunya disebabkan Indonesia sebagai negara kepulauan masih menggunakan alat mesin pertanian dari negara kontinental.
Bungaran menilai Indonesia perlu meniru langkah Jepang memodifikasi alat-alat mesin pertanian dari Amerika Serikat dan negara Eropa menyesuaikan dengan kondisi pertaniannya.
“Jepang juga meniru dari Eropa dan AS, tetapi membuat atau modifikasi alat-alat mesin. Jepang pintar meniru, meniru untuk kepentingan dunia,” ujarnya.
Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Kementerian Pertanian, Agung Prabowo mengakui salah satu solusi yang mampu menjawab kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah adalah implementasi mekanisasi pertanian secara masif.
Mekanisasi pertanian diakui membawa banyak keuntungan seperti menurunkan tenaga kerja 6%, biaya produksi 3%, mengurangi susut hasil 6%, meningkatkan produktivitas 1%, dan memberikan profit 2%.
Hasil perhitungan Badan Standarisasi Instrumen Pertanian (BSIP) Kementan mencatat kebutuhan sistem Alat dan Mesin Pertanian (Alsintan) pada 2025 cukup besar. Untuk traktor roda dua sebanyak 419.704 unit, traktor roda tiga sebanyak 8.744 unit, combine harvester 23.075 unit, dan pompa sebanyak 466.338 unit.
Selain masalah mekanisme, Agung mengatakan, rerata usia petani yang bergerak di bidang pertanian saat ini di atas 45 tahun.
“Dan diperkirakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2035 to zero SDM pertanian. Sisi lain, kebutuhan pemenuhan pangan sangat tinggi,” katanya.
Hadirkan Brigade Pangan
Masalah inilah yang sedang diselesaikan Mentan Amran dengan membentuk Brigade Pangan. Program ini berupaya mengelola usaha tani secara terstruktur melalui penerapan pertanian modern di lahan. Tidak hanya alat modern, Brigade Pangan juga mengembangkan pola kemitraan dengan kelembagaan petani lokal.
Brigade Pangan akan bertindak sebagai integrator yang menghubungkan proses produksi hingga hilirisasi. Skala pengelolaan lahan mencapai kurang lebih 200 hektare per Brigade, menjadikan pengelolaan lebih terstruktur.
Dalam satu tahun pertama, program ini menunjukkan proyeksi yang positif. Dengan total biaya operasional Rp3,94 miliar, pendapatan yang dihasilkan mencapai Rp8,4 miliar, memberikan keuntungan bersih sebesar Rp4,46 miliar. Pendapatan para petani diproyeksikan mencapai Rp10 juta per bulan.
Nilai penghasilan yang diharapkan bisa mendorong generasi milenial untuk terjun dan tak malu menjadi petani.
“Pendapatannya itu aku hitung Rp10 juta. Kalau dia rajin minimal Rp30 juta. Ada 3000 petani muda turun seluruh Indonesia, kalau ini gagal kita buat sejahtera, dia akan bercerita ke temannya bahwa kita rugi. Tapi kalau ini a buat sukses, saya beritahu Dirjen, nggak boleh pendapatan bersih di bawah Rp10 juta,” ujar Menteri Amran.
(*)
Advertisement