Sukses

Keberatan Polri di Bawah Kemendagri, Mendagri: Dari Dulu Tak Bisa Dipisahkan dari Presiden

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengaku keberatan soal usulan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengaku keberatan soal usulan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mendagri Tito mengatakan, Polri tidak bisa dipisahkan dari presiden.

"Saya berkeberatan," ujar Tito kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, melalui keterangan tertulis, Senin (2/12/2024).

Meski begitu, Tito tidak menjelaskan alasan rincinya keberatan. Dia menegaskan, Polri tidak bisa dipisahkan dari Presiden. Ia menyebut sudah menjadi kehendak reformasi bahwa Polri di bawah presiden.

"Ya karena dari dulu memang sudah dipisahkan di bawah presiden, itu kehendak reformasi sudah itu saja," tegas Mendagri Tito.

Sebelumnya, politikus PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Sitorus melontarkan wacana soal Polri kembali di bawah TNI maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Pernyataan itu disampaikan buntut dugaan kecurangan yang melibatkan Kepolisian dalam penyelenggaraan sejumlah Pilkada 2024, yang dituduhkan PDIP.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi) Wiryawan menyatakan, Polri harus terus berdiri sendiri demi menjaga independensi. Utamanya dalam menjalankan tugas menegakkan hukum.

"Polri adalah lembaga negara yang tidak harus berada di bawah naungan kementerian/lembaga mana pun," kata Wirya dalam keterangan diterima, Minggu 1 Desember 2024.

Wirya mendorong, Polri harus tetap berdiri sendiri, mengingat perannya dalam upaya penegakan hukum, mengayomi dan melindungi masyarakat harus independen tanpa tekanan dari mana pun.

Wirya berpenadangan, Polri seharusnya langsung berada di bawah Presiden. Sebab, fungsi penegakan hukum yang dijalankan Polri, harus benar-benar diketahui oleh Presiden secara langsung.

"Karena fungsi penegakan hukum harus benar-benar diketahui oleh Presiden tanpa perantara lagi," ungkap Wirya.

 

2 dari 4 halaman

PBNU Tak Setuju Usulan Polri di Bawah Kemendagri atau TNI

Wacana pengembalian Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menuai banyak polemik. Salah satu kritikan datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Rahmat Hidayat Pulungan, menuturkan tidak setuju dengan usulan Polri berada di bawah Kemendagri dan TNI. Karena ada sejumlah hal yang tidak sesuai dengan tugas Polri.

Rahmat menjelaskan, penempatan Polri di bawah TNI tidak bisa karena perbedaan bidang. TNI di bidang pertahanan, dengan doktrin sistem pertahanan semesta. Sedangkan Polri di bidang Kamtibmas, dengan doktrin perlindungan, pelayanan dan pengayoman masyarakat.

"Kalau mau ditempatkan di bawah TNI, harus ada perubahan doktrin TNI seperti ABRI dulu dengan doktrin Sishankamrata. Namun itu artinya kemunduran dan berpotensi melanggar konstitusi," katanya dalam keterangannya, Minggu 1 Desember 2024.

Kondisi serupa juga terjadi bila Polri berada di bawah Kemendagri. Rahmat menilai, Polri sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang keamanan, akan ada kesulitan dalam penyesuaian dengan ASN lainnya.

"Karena perbedaan tupoksi dan kekhususan lain, seperti kewenangan penggunaan kekerasan (enforcement) dan senjata api. Kemendagri juga sudah terlalu besar beban tugasnya saat ini," kata dia.

 

3 dari 4 halaman

Dianggap Cederai Prinsip Demokrasi

Ketua Umum Cendekia Muda Nusantara (CMN), Afan Ari Kartika mengkritik keras terkait wacana pengembalian Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yang diusulkan oleh Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Deddy Sitorus.

Menurutnya, langkah tersebut tidak hanya bertentangan dengan semangat reformasi 1998, tetapi juga dapat merusak sistem birokrasi dan demokrasi yang telah dibangun selama dua dekade terakhir.

Afan menegaskan bahwa usulan untuk menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri merupakan langkah mundur yang mengingkari semangat reformasi 1998. Reformasi tersebut, yang berujung pada TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, menjadi landasan konstitusional bagi pemisahan Polri dari TNI.

Adapun langkah pemisahan ini bertujuan untuk memastikan adanya peran yang jelas antara aparat sipil (Polri) yang bertugas menjaga keamanan dalam negeri, serta aparat militer (TNI) yang bertugas menjaga pertahanan negara.

"Reformasi ini adalah tonggak sejarah penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Wacana untuk mengembalikan Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah sebuah langkah mundur yang mengingkari semangat reformasi. Ini bukan hanya akan mencederai prinsip demokrasi, tetapi juga mengarah pada kebangkitan kembali pendekatan militeristik yang telah kita tinggalkan," ujar Afan dalam keterangannya, Minggu 1 Desember 2024.

 

4 dari 4 halaman

Dinilai Cukup Kompleks

Pemisahan Polri dan TNI yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini, lanjut Alfan, adalah sebuah pencapaian penting dalam pembentukan negara hukum yang demokratis.

Oleh karena itu, ia menilai, mengembalikan Polri ke bawah TNI atau Kemendagri, akan merusak tatanan tersebut dan mengancam kewibawaan lembaga kepolisian dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat sipil, jelas Afan.

Afan juga menyoroti potensi buruk yang bisa muncul jika Polri ditempatkan di bawah Kemendagri. Meskipun usulan ini dianggap lebih rasional dibandingkan dengan menempatkan Polri di bawah TNI, langkah ini tetap berisiko merusak reformasi birokrasi yang sudah berjalan dengan cukup baik dalam dua dekade terakhir.

"Struktur di Kemendagri sudah cukup kompleks, dengan berbagai direktorat jenderal yang menangani urusan dalam negeri. Jika Polri ditempatkan di bawah Kemendagri, ini akan menambah panjang rantai birokrasi yang justru bisa menciptakan masalah baru dalam pengelolaan anggaran dan sumber daya manusia," jelas Afan.