Sukses

Di Hadapan Komisi III, Kapolrestabes Semarang Mengaku Siap Dievaluasi Terkait Kasus Polisi Tembak Siswa

Menurut Irwan, seharusnya hari ini akan ada sidang kode etik terhadap pelaku penembakan namun ditunda karena ada rapat dengan Komisi III.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi III DPR memanggil Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar beserta jajarannya untuk meminta penjelasan kasus polisi tembak siswa SMKN 4 Semarang, GRO (17) hingga berujung kematian pada Minggu, (24/11/2023) dini hari.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman memimpin rapat di Ruang Komisi III DPR, Selasa (3/12/2024). Pada paparan awalnya, Irwan mengaku dirinya siap dievaluasi.

“Atas segala tindakan anggota saya Brigadir R yang telah mengabaikan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan, abai dalam menilai situasi, teledor dalam menggunakan senjata api dan telah melakukan tindakan eksisif action, tindakan yang tidak perlu, sepenuhnya saya bertanggung jawab, saya siap dievaluasi, apa pun bahasanya saya siap menerima konsekuensi dari peristiwa ini,” kata Irwan dalam rapat, Selasa (3/12/2024). 

Irwan lantas memutarkan video kronologi tawuran dan mengklaim korban terlibat tawuran. Ia juga menunjukkan foto-foto barang bukti berupa celurit hingga kesaksian pelaku tawuran. 

Menurut Irwan, seharusnya hari ini akan ada sidang kode etik terhadap pelaku penembakan namun ditunda karena ada rapat dengan Komisi III. 

“Pelanggar tinggal menunggu sidang kode etik yanng sedianya akan digelar hari ini, kami tunda,” pungkasnya.

2 dari 4 halaman

Polisi Tembak Warga Sipil, Amnesty International Minta DPR dan Kompolnas Evaluasi Kinerja Polri

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan dua insiden penembakan polisi di Semarang dan Bangka Barat ini mempertegas pola kekerasan polisi yang mengkhawatirkan.

 "Apalagi publik baru saja diguncang oleh kasus penembakan polisi senior terhadap polisi junior di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat," ujar Usman Hamid dalam keterangannya, Rabu, (27/11/2024).

"Rentetan peristiwa ini, yang terjadi dalam waktu berdekatan, menimbulkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan kepolisian kita? Mengapa penggunaan senjata api oleh polisi, yang seharusnya menjadi langkah terakhir, justru terkesan menjadi senjata utama dan menyebabkan hilangnya nyawa manusia?," lanjutnya.

Di Kota Semarang, klaim pihak berwenang bahwa penembakan mati atas seorang remaja dilakukan dalam rangka menangani tawuran bukan hanya tidak legal, tidak perlu, tidak proporsional, dan tidak akuntabilitas, tetapi juga melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia.

Kejadian ini berujung pada hilangnya nyawa seorang remaja, korban dari kebijakan represif yang mengutamakan kekerasan dan senjata mematikan daripada solusi pengayoman dan pengamanan yang manusiawi.

Di Kabupaten Bangka Barat, polisi juga menembak mati seorang warga sipil yang diduga mencuri buah kelapa sawit. Tindakan ini adalah bentuk penghukuman di luar proses hukum (extra-judicial execution) yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum nasional dan internasional.

"Kejadian-kejadian ini tidak dapat dianggap sebagai insiden terisolasi, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif," ujarnya.

Untuk itu, Amnesty International mendesak DPR RI dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk segera melakukan evaluasi kinerja Polri dan kepemimpinan Polri.

"Tujuannya adalah untuk memastikan adanya pertanggungjawaban hukum yang tuntas atas kasus-kasus penembakan ini. Tidak hanya terhadap petugas lapangan, tetapi juga pejabat komando yang bertanggung jawab atas pengawasan dan pengambilan keputusan terkait penggunaan senjata api," kata dia.

Komnas HAM juga perlu melakukan penyelidikan independen untuk memastikan bahwa pelanggaran oleh aparat kepolisian diproses hukum dengan adil.

Negara juga harus merevisi aturan penggunaan senjata api, memastikan penggunaannya hanya sebagai upaya terakhir sesuai prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas dan akuntabilitas agar tetap melindungi HAM.

3 dari 4 halaman

Kasus Penembakan Polisi

Pada hari Minggu, 24 November 2024, terjadi dua kasus penembakan polisi yang menewaskan warga sipil di lokasi yang berbeda.

Penembakan di Semarang terjadi sekitar pukul satu dini hari terhadap tiga orang yang mengendarai sepeda motor, yaitu berinisial G, S, dan A. G meninggal dunia setelah terkena tembakan di bagian pinggul. S dan A juga terkena tembakan namun selamat dan dirawat di rumah sakit. Ketiga korban diketahui merupakan siswa suatu Sekolah Menengah Negeri Kejuruan di Semarang.

Mereka dikabarkan ditembak setelah sepeda motor mereka diduga bersenggolan dengan aparat. Sedangkan Kapolrestabes Semarang menyatakan penembakan terjadi setelah adanya tawuran antar-geng dan korban berasal dari salah satu geng.

Menurut Kapolrestabes, aparatnya diserang saat berupaya melerai tawuran di depan sebuah kompleks perumahan. Namun seorang satpam kompek perumahan itu kepada media mengaku tidak ada tawuran saat itu. Polisi masih menyelidiki lebih lanjut perihal kasus penembakan tersebut.

Pada hari yang sama, juga terjadi penembakan oleh personel satuan Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Bangka Belitung terhadap warga yang diduga mencuri buah kelapa sawit di area sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit sekitar pukul 16.00 WIB. Korban berinisial B, warga Dusun Sungkai Desa Tugang Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat.

Polda Bangka Belitung mengklaim polisi memergoki lima pencuri dan melakukan tembakan peringatan sebanyak 12 kali. Menurut laporan media, seorang dari mereka tewas setelah menerima apa yang Polda sebut sebagai “tindakan tegas” saat berupaya melarikan diri dan tidak menggubris tembakan peringatan.

4 dari 4 halaman

31 Kasus Pembunuhan di Luar Hukum oleh Aparat

Menurut catatan Amnesty International Indonesia, dari 16 Januari hingga 24 November 2024 terdapat sedikitnya 31 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat atas 31 korban. Dalam sebulan terakhir terdapat setidaknya delapan kasus dengan delapan korban. Sebagian besar kasus sejak awal tahun ini diduga dilakukan oleh personel Polri, yaitu 23 kasus dengan 23 korban.

Pembunuhan di luar hukum oleh aparat merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, hak mendasar yang dilindungi oleh hukum HAM internasional yang diterima dan berlaku sebagai hukum nasional. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya. Kegagalan akuntabilitas dan keadilan atas pembunuhan di luar hukum dan penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan tidak disiksa. Hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM secepatnya, mendalam dan efektif lewat badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan maupun penghukuman terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.