Liputan6.com, Jakarta Pagi itu waktu menunjukkan pukul 08.00 WIB, teriakan Hari Kumbara memecahkan heningnya Yayasan Wisma Cheshire yang berlokasi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Teriakannya untuk mengajak para residen (sebutan bagi warga disabilitas yang tinggal di wisma) untuk senam pagi sebelum melakukan aktivitas. Hari biasanya menjadi instruktur beberapa gerakan peregangan otot.
Meskipun gerakannya tak banyak, beberapa dari mereka tampak berkeringat. Sesekali mereka melakukannya dengan tertawa. Kehangatan dan kekeluargaan tampak dan terasa.
Baca Juga
Berbagai gurauan pun disampaikan satu sama lain. Tertawa menjadi tak tertahankan. Usai senam pagi beberapa orang memilih untuk sarapan bersama. Namun, ada pula yang mengerjakan tugas masing-masing. Mulai dari membuat hiasan Natal hingga menjahit.
Advertisement
Sedangkan Hari, setelah sarapan langsung bersiap untuk berkerja. Pria asal Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat itu menggunakan sepeda listrik untuk menuju tempatnya bekerja. Meskipun tampak rumit awalnya, dia mampu melakukan segala keperluan dengan cekatan.
Helm sudah terpasang. Hari pun langsung mengaitkan kakinya dengan bagian depan sepeda. Dengan senyum semringah dia berpamitan sambil mengendarai sepedanya.
"Berangkat ya," kata Hari sambil melambaikan tangan.
Perjalanan ke kantor tak sampai 20 menit. Dia sangat menikmati perjalanan di tengah ramainya kendaraan di Jakarta Selatan. Padahal, 10 tahun yang lalu Hari tak terbayangkan akan menjadi seperti sosoknya saat ini. Kegiatannya hanya terbaring di tempat tidur.
Harapan Masuk Militer
Ketika itu semua aktivitas hanya dapat dilakukan dengan bantuan keluarga. Dunianya terasa runtuh. Harapannya menjadi guru olahraga dan menjadi anggota TNI pupus sudah. Kakinya lumpuh total akibat pohon tumbang yang terjadi saat dirinya masih duduk di bangku SMA.
Dokter memvonis Hari tidak akan bisa lepas dari kursi roda. Berbagai pengobatan dilakoninya. Namun dia merasa tak ada perubahan. Hati kecilnya masih berharap dapat sembuh dan dapat melakukan aktivitas seperti sebelumnya. Bisa berlari dan bermain bersama temannya.Â
Paska-divonis dokter, Hari tak berani keluar rumah. Rasa malu menyelimuti perasaannya. Berbagai pertanyaan dari tetangga dan orang sekitar membuat hatinya menciut. Putus asa menjadi sahabat setianya. Apalagi temannya masih bisa lanjut sekolah dan mencari pekerjaan. Sedangkan dia masih harus menjalani sejumlah proses operasi dan pengobatan secara terus-menerus.
"Saat itu saya merasa diri saya, sudahlah saya lebih baik bunuh diri ataupun yang lainnya. Dikarenakan saya tidak bisa apa-apa lagi dan saya harus selalu dibantu oleh keluarga," ucap dia.
Namun semuanya mulai berubah setelah Hari mulai melakukan pengobatan di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Sejumlah rehabilitasi dilaluinya. Semangat hidup dan kepercayaan dirinya mulai timbul.
Â
Â
Kemandirian Penyandang Disabilitas
Meskipun berat, Hari mampu melalui masa keterpurukannya. Setelah beberapa tahun berlalu Hari sudah mampu hidup mandiri. Mulai dari melakukan kegiatan sehari-hari sampai dia mampu pulang kampung sendiri tanpa bantuan keluarga.
Apalagi saat ini dia sudah mampu bekerja. Biasanya kursi roda lain juga disediakan di kantor. Meskipun baru sekitar sebulan bekerja, Hari semakin merasa dekat dengan cita-citanya sebagai konten kreator inspiratif. Sebab saat ini dia bekerja di perusahaan milik Ruben Onsu.
Beberapa kali dia juga tampil sangat percaya diri di depan kamera. Kata Hari hal tersebut sebagai bentuk pembuktian bahwa dirinya bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat. "Yang saya rasakan di depan kamera itu ada rasa bangga bahwa saya enggak nyangka juga bisa ditonton seluruh masyarakat Indonesia," jelas dia.
Kantor tempat Hari bekerja merupakan salah satu perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas. Founder PT Media Onsu Perkasa (MOP), Ruben Onsu mengaku baru tahun 2024 memiliki karyawan difabel setelah beberapa kali membuka lowongan pekerjaan. Dia mengaku tak ada perlakuan khusus. Pihaknya hanya berusaha menyediakan fasilitas penunjang untuk mempermudah gerakan difabel.
"Contohnya, misalnya dia bermasalah dengan kaki tapi memang dia menggunakan kursi roda jadi akses dia masuk ke sininya pun juga kita harus menuhi," kata Ruben kepada Liputan6.com.
Untuk menunjang pekerjaan penyandang disabilitas, Ruben menyebut pihaknya memilihkan beberapa pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan si karyawan. Dia juga meyakini bahwa penyandang disabilitas dapat bekerja sesuai dengan kapasitasnya.
Misalnya dia tidak akan memberikan pekerjaan kepada karyawan difabel dengan tingkat kepanikan yang terlalu tinggi. "Kita enggak akan kasih yang membuat dia menjadi panik. Karena kerja ada targetnya," ucapnya.
Kebijakan Untuk Pekerja Difabel
Saat ini, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau sekitar 8,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah disabilitas terbanyak pada usia lanjut dan 2,9 juta orang usia produktif 15-64 tahun.
Pemerintah juga telah mengatur pekerjaan bagi penyandang disabilitas, terlihat dengan adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas pada bagian keempat mengenai Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi.
Pada pasal 53 yang berbunyi:
- Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
- Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Â
Advertisement
Mengenal Yayasan Cheshire Indonesia
Yayasan Cheshire Indonesia atau lebih dikenal dengan Wisma Cheshire merupakan rumah para penyandang disabilitas dari berbagai latar belakang. Mereka layaknya keluarga dengan menikmati berbagai kesempatan keterampilan. Sebagai residen mereka diharapkan dapat mandiri dan diterima di masyarakat.
Wisma Cheshire bekerja sama dengan Rumah Sakit Fatmawati untuk memberikan motivasi kepada teman-teman penyandang disabilitas melalui berbagai pelatihan. Mulai dari bidang kerajiann tangan dan perkayuan yang menjadi mata pelajaran utama. Kemudian pelatihan pendukung lainnya seperti Bahasa Inggris, komputer, media sosial, sampai pelestarian lingkungan.
Manager Project dari Yayasan Wisma Cheshire, Fendo P Saragih menyebut residen di Wisma Cheshire hanya sebanyak 30 orang penyandang disabilitas dengan latar belakang yang berbeda.
"Terutama adalah memiliki daya juang atau motivasi untuk belajar supaya bisa hidup mandiri," kata Fendo kepada Liputan6.com.
Biasanya residen dapat dikategorikan mandiri dan dilepas rata-rata setelah 3 tahun dapat menemukan pekerjaan. Contohnya sukses menjadi atlet hingga mulai membuka UMKM. Kendati begitu, Fendo juga menyoroti berbagai kendala yang diterima para difabel saat mulai mandiri di masyarakat.
"Ketika mereka mencari pekerjaan di luar sana masih sangat sedikit perusahaan yang aware akan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya dalam dunia pekerjaan. Itu menjadi kendala yang besar," ucap dia.
Selanjutnya yaitu stigma negatif oleh masyarakat. Para difabel masih dianggap tidak mampu dan hanya memerlukan bantuan. Fendo juga menyebut masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh semua pihak untuk memberikan pekerjaan kepada penyelenggaraan disabilitas.
Contohnya yaitu banyak perusahaan yang belum memiliki fasilitas infrastruktur yang ramah untuk difabel. "Pandangan bahwa untuk menyediakan fasilitas yang disability friendly, itu masih dianggap sebagai cost," papar Fendo.
Wisma Cheshire Indonesia yang didirikan pada 1974 ini merupakan salah satu rumah dari 257 rumah penyandang disabilitas di seluruh dunia. Organisasi non-pemerintah yang berbasis di Inggris, Leonard Cheshire Foundation, didirikan oleh pilot Royal Air Force Inggris masa Perang Dunia II yang meraih penghargaan tertinggi Victoria Cross pada tahun 1944, yaitu Leonard Cheshire.