Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mengungkap berbagai masalah Pekerja Migran Indonesia (PMI), seperti penyebab Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) hingga lemahnya perlindungan atau asuransi.
"Pekerja-pekerja Indonesia adalah orang yang bekerja di luar wilayah Indonesia dan mendapatkan upah. Jadi apa saja yang mendapatkan upah, dia harus disebut pekerja migran. Ya memang besar (upah). Memang besar. Ada yang besar, ada yang biasa saja," ujar Abdul Kadir Karding dalam wawancara bersama liputan6.com, Rabu 4 Desember 2024.
Baca Juga
Ia mengatakan, negara yang menjadi tujuan PMI antara lain Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Singapura, Brunei, dan Arab Saudi. Dari pekerja migran Indonesia yang ada, didominasi perempuan.
Advertisement
"Nah rata-rata yang terkirim atau dikirim oleh kita ini adalah rata-rata jumlah paling besar perempuan dan unskill. Prosedural, unskill. Nah itu jadi problem," kata dia.
Selain keterbatasan keahlian, ia juga menyoroti kendala bahasa para PMI yang tidak dapat menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing yang sesuai dengan negara tempat mereka bekerja.
"Ada juga yang lebih parah lagi yang nggak ngerti bahasanya. Nah itu. Bahasa Arab, Bahasa Jepang, Bahasa Korea, Bahasa Jerman, Bahasa Inggris yang nggak bisa," ucap dia.
Menurutnya, adanya pekerja yang tidak sesuai prosedur, tidak punya keahlian, serta kendala bahasa membuka pintu eksploitasi hingga perdagangan orang.
"Itu awal mula semua dari eksploitasi, TPPO pedagangan orang, itu dari situ sebenarnya. Jadi kita harus membenahi, satu, supaya dia berangkat prosedural, yang kedua, supaya dia punya skill, dan yang ketiga minimal punya bahasalah dan paham," ujar Karding.
Â
Masalah Perlindungan Pekerja Migran
Mantan Anggota DPR RI ini lebih lanjut menerangkan, tidak semua negara tujuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) memiliki asuransi perlindungan.
"Di Taiwan dan Hong Kong, satu, seluruhnya bagus, lumayan. Yang kedua, perlindungannya bagus. Asuransi, tenaga kerjaan dari ke sana bagus," kata dia.
"Dari Malaysia ini belum, Arabnya belum, Brunei juga kabarnya belum, bahkan semakin di Singapura saja belum," tambahnya.
Karding juga memaparkan bahwa sebenarnya perlindungan bagi PMI ini telah diatur oleh Undang-Undang dan tercantum di dalamnya bahwa Indonesia dilarang bekerja sama dengan negara yang memiliki perlindungan rendah.
"Karena misalnya gini, sebenarnya kita ini negara yang menurut undang-undang tidak boleh bekerja sama dengan negara yang lemah perlindungannya," papar dia.
Permasalahan ini semakin kompleks, lanjut dia, karena adanya unprosedural di awal, seperti yang terjadi di Malaysia.
"Cuma problemnya kan, di Malaysia gimana mau kita lahirkan? Duluan datang banyak dari pada peraturan lahir. Iya kan? Jadi makanya kita harus memperkuat perjanjian bilateral," kata dia.
Menurut Karding, permasalahan perlindungan ini dapat diupayakan dengan berbagai langkah seperti mempererat kerja sama, sehingga menguntungkan kedua negara.
"Kita nego lagi supaya kerja sama nya itu menguntungkan kedua belah pihak. Kalau ini bagus, misalnya kerja sama nya apple to apple, kerja sama nya itu gajinya bagus, kerja sama nya itu ada perlindungan, itu sudah sangat bagus," kata dia.
"Kalau itu bisa dicapai, itu sudah luar biasa," tandas Karding.
Advertisement