Sukses

Salju di Puncak Cartenz Papua Terus Mencair, Begini Dampak yang Bakal Ditimbulkan

Berdasarkan laporan citra satelit, ujar dia, terungkap bahwa luas hamparan salju menurun dan saat ini tercatat sekitar 18 hektare.

Liputan6.com, Jakarta - Balai Taman Nasional Lorenz memantau kondisi salju yang terus mencair di Puncak Cartenz di Provinsi Papua Tengah. Kepala Balai Taman Nasional Lorenz Manuel Mirino di Jayapura, Sabtu, mengatakan Puncak Cartenz masuk wilayah kerja TN Lorenz sehingga keberadaan salju di tempat tersebut terus dipantau pihaknya.

"Pemantauan terkait kondisi dan keberadaan salju yang terus mencair dilakukan melalui citra satelit karena bila untuk turun langsung membutuhkan anggaran yang tidak sedikit," kata dia dikutip dari Antara, Minggu (8/12/2024).

Berdasarkan laporan citra satelit, ujar dia, terungkap bahwa luas hamparan salju menurun dan saat ini tercatat sekitar 18 hektare.

Dia menyatakan khawatir pemanasan global berdampak penurunan terus-menerus luas hamparan salju di Puncak Cartenz dan berdampak terhadap ekosistem di wilayah itu.

Bila terus menyusut, kata dia, dikhawatirkan bukan saja ekosistem di Puncak Cartenz yang terdampak tetapi juga masyarakat kawasan tersebut.

"Dampak yang ditimbulkan selain musnahnya habitat dan tanaman juga dapat menyebabkan terjadinya kekeringan," kata Manuel Mirino.

Dia menyebut TN Lorenz seluas sekitar 2,3 juta hektare meliputi 10 kabupaten di tiga provinsi di Papua, yakni Provinsi Papua Tengah meliputi Kabupaten Mimika, Paniai, Puncak Jaya, Puncak, dan Intan Jaya, Provinsi Papua Pegunungan meliputi Kabupaten Jayawijaya, Lanny Jaya, Yahukimo, dan Nduga, serta Provinsi Papua Selatan, yakni Kabupaten Asmat.

"Wilayah TN Lorenz memang yang terluas di Indonesia dan memiliki ciri khas tersendiri karena dari dataran rendah hingga keberadaan salju di Puncak Cartenz," kata Kepala Balai TN Lorenz Manuel Mirino.

2 dari 4 halaman

Ketebalan Es Pegunungan Jayawijaya Papua Menyusut Drastis

Ketebalan es di Pegunungan Jayawijaya, Papua Tengah, terus menyusut secara drastis yang berdasarkan pengamatan tim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) saat ini diperkirakan tersisa hanya setebal empat meter.

Koordinator Bidang Standardisasi Instrumen Klimatologi BMKG Donaldi Sukma Perman mengatakan ketebalan es yang diperkirakan hanya tinggal empat meter itu didapatkan berdasarkan pengukuran terhadap tongkat/stake ukur yang ditanam di Puncak Sudirman Pegunungan Jayawijaya.

“Terakhir ada 14 stake yang sudah tersingkap artinya ketebalan gletser diperkirakan tinggal empat meter,” kata dia di Jakarta, Senin (2/12/2024).

Ketebalan es tersebut sudah menyusut signifikan dibandingkan hasil pengukuran BMKG sebelumnya yaitu 32 meter pada tahun 2010, dan 5,6 meter pada medio November 2015- Mei 2016. “Hal ini juga disebabkan oleh El Nino kuat yang terjadi pada saat itu,” katanya yang dikutip dari Antara.

Selain itu, ia menjelaskan bahwa hasil survei yang dilakukan pada bulan November 2024 menunjukkan penurunan luas permukaan es sangat drastis di Puncak Sudirman. Luas es menyusut menjadi 0,11 – 0,16 kilometer persegi dari sebelumnya pada tahun 2022 luas es tercatat sekitar 0,23 kilometer persegi.

Penipisan ketebalan es dan dinamika cuaca menjadi tantangan tersendiri bagi tim survei gabungan antara BMKG bersama dengan PT Freeport Indonesia dalam melakukan pengukuran es pada puncak tertinggi ke tujuh di dunia itu.

Tim tersebut sebelumnya dalam survei yang mulai intens dilakukan sejak 2010 ini bisa leluasa melakukan pengukuran dengan cara traking atau terbang menggunakan helikopter dan mendarat permukaan es, namun sejak tahun 2017 mereka mengandalkan analisa gambar visual dan pengamatan keberadaan stake untuk mengukur ketebalan es.

“Tetapi survei ini akan terus kami lakukan untuk mendokumentasikan es di Papua yang sudah dalam tahap yang sulit untuk mempertahankannya lagi,” kata dia.

3 dari 4 halaman

Bukti Perubahan Iklim Nyata

BMKG menilai pencairan es di Pegunungan Jayawijaya merupakan salah satu bukti nyata dari perubahan iklim yang kini membuat bumi bersuhu lebih panas.

Merujuk data Bidang Informatif Gas Rumah Kaca BMKG diketahui saat ini kenaikan suhu secara global melaju lebih cepat sudah mencapai kenaikan 1,45 derajat Celcius di atas suhu rata-rata masa pra-industri. Dan di Indonesia kenaikan suhu rata-rata 0,15 derajat Celcius per 10 tahun.

Koordinator Sub Bidang Informatif Gas Rumah Kaca BMKG Albert C. Nahas mengatakan bahwa laju peningkatan ditemukan di wilayah Kalimantan, Sumatera bagian selatan, Jakarta dan sekitarnya, Sumatera bagian utara kemudian di Papua Pegunungan dan juga sebagian kecil Sulawesi.

Menurutnya, kalau melihat dari historis suhu ini jika diproyeksikan ke depannya dengan penyederhanaan 0,15 derajat per 10 tahun maka di pertengahan abad 21 ini Indonesia sudah akan melampaui batas 1,5 derajat yang sering dijadikan ambang batas untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

4 dari 4 halaman

Infografis

Video Terkini