Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau PPN 12% tetap naik pada 1 Januari 2025. Sejumlah pihak pun angkat bicara terkait kenaikan PPN 12%.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pun bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto pada Kamis 5 Desember 2024.
Baca Juga
Dalam pertemuan ini, DPR RI meminta penjelasan mengenai penerapan PPN 12% di 2025. Hasilnya diputuskan bahwa PPN 12% diterapkan secara selektif.
Advertisement
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, penerapan PPN 12% di 2025 secara selektif yang dimaksud ialah PPN hanya diterapkan untuk komoditas baik yang berasal dari dalam negeri maupun komoditas impor yang terkategori barang mewah.
"Untuk PPN 12% akan dikenakan hanya pada barang-barang mewah, jadi (penerapannya) secara selektif," kata Sufmi Dasco dikutip dari Antara, Kamis 5 Desember 2024.
Pertemuan secara khusus dilakukan bersama Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan, perencanaan pembangunan nasional, moneter, dan sektor jasa keuangan itu menghasilkan keputusan bahwa penerapan PPN 12 persen akan berjalan sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku yakni 1 Januari 2025.
"Barang-barang mewah yang dimaksud merupakan komoditas seperti apartemen mewah, rumah mewah, hingga mobil mewah," terang Sufmi Dasco.
Kemudian, Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengusulkan untuk menunda atau membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Hal itu disampaikan Rieke saat Rapat Paripurna DPR pada Kamis 5 Desember 2024 seperti dikutip dari Antara, Jumat 6 Desember 2024.
Berdasarkan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, ia menuturkan, PPN bisa diubah bukan hanya paling tinggi menjadi 15 persen, tetapi juga bisa diubah paling rendah menjadi 5 persen.
"Keputusan naik tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya," ujar Rieke seperti dikutip dari Antara.
Berikut sederet respons DPR RI terkait kenaikan PPN 12% dihimpun Tim News Liputan6.com:
1. Sebut PPN 12 Persen Dikenakan Hanya kepada Barang Mewah
Pimpinan DPR RI menyampaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya berlaku untuk komsumen yang membeli barang-barang yang masuk dalam kategori mewah.
Hal itu, disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 5 Desember 2024.
"Yang pertama, untuk PPN 12 persen akan dikenakan hanya kepada barang-barang mewah jadi secara selektif," kata Dasco, saat konferensi pers, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 5 Desember 2024.
Lalu, berkaitan dengan barang-barang pokok dan pelayanan jasa yang bersentuhan dengan masyarakat tetap menggunakan aturan lama yakni PPN 11 persen.
"Kemudian yang kedua, barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yaitu 11 persen," ucap dia.
Lebih lanjut, perihal usulan para anggota DPR RI soal penurunan pajak untuk kebutuhan pokok masih akan dikaji oleh Presiden. Prabowo akan memanggil Menteri Keuangan Sri Mulyani hari ini untuk membahas usulan tersebut.
"Ketiga, mengenai usulan teman-teman DPR bahwa ada penurunan pajak kepada kebutuhan-kebutuhan pokok yang langsung menyentuh kepada masyarakat Bapak Presiden tadi menjawab akan dipertimbangkan dan akan dikaji," ungkap Dasco.
"Mungkin dalam satu jam ini Pak Presiden meminta Menkeu dan beberapa menteri untuk rapat dalam mengkaji usulan masyarakat maupun dari DPR tentang beberapa hal yang harus ditindaklanjuti," tandas Dasco.
Advertisement
2. Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka Minta Kenaikan PPN 12 Persen Dibatalkan
Anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengusulkan untuk menunda atau membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Hal itu disampaikan Rieke saat Rapat Paripurna DPR pada Kamis 5 Desember 2024 seperti dikutip dari Antara, Jumat 6 Desember 2024.
Berdasarkan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, ia menuturkan, PPN bisa diubah bukan hanya paling tinggi menjadi 15 persen, tetapi juga bisa diubah paling rendah menjadi 5 persen.
"Keputusan naik tidaknya harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya,” ujar Rieke seperti dikutip dari Antara.
Rieke menuturkan, persoalan fiskal dan moneter dari kehidupan masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Hal ini lantaran pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan deflasi selama lima bulan yang terjadi harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi hingga kenaikan harga kebutuhan pokok.
Rieke berharap pembangunan infrastruktur wajib mempertimbangkan skala prioritas yang memengaruhi hajat hidup orang.
Dia menuturkan, banyak inovasi dan kreativitas untuk mencari sumber anggaran negara yang tidak membebani pajak rakyat dan membahayakan keselamatan negara.
"Saya merekomendasikan di rapat paripurna ini, mendukung Presiden RI Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat (3) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021," ujar dia.
Di samping itu, dia juga meminta Pemerintah menerapkan self assessment monitoring system (sistem pemantauan penilaian mandiri) dalam tata kelola perpajakan.
Selain menjadi pendapatan utama negara, menurut dia, pajak juga bisa menjadi instrumen pemberantasan korupsi sekaligus strategi dalam melunasi semua utang negara.
"Sistem ini insyaallah akan memastikan seluruh transaksi keuangan dan nonkeuangan wajib pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan," tutup Rieke.
3. Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa Sebut Kenaikan PPN 12% Tak Akan Membebani UMKM
Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan menjadi 12 persen di 2025. Wakil Ketua DPR RI Saan Mustopa, meyakini, pemerintah tak akan membebani UMKM. Di mana menurutnya, pemerintah akan merumuskan kebijakan yang adil.
"Pemerintah sedang menyusun kebijakan mana yang akan dikenakan PPN 12 persen, dan mana yang akan diturunkan," kata dia, Sabtu 7 Desember 2024.
Wakil Ketua Umum Partai NasDem ini pun memastikan, tidak semua sektor UMKM akan terpengaruh oleh kenaikan PPN. Karena akan ada kategori yang mendapatkan insentif.
"Jadi, pelaku UMKM tidak perlu khawatir. Kami percaya pemerintah tetap memperhatikan nasib UMKM," ucap Saan.
Selain itu, Saan juga mengungkapkan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47/2024 tentang Penghapusan Piutang Macet untuk UMKM.
Kebijakan ini, yang akan mulai berlaku pada 5 Mei 2025, bertujuan untuk memberikan kelonggaran bagi pelaku UMKM yang memiliki utang, dengan menghapuskan piutang macet mereka.
"Selain soal pajak, pemerintah juga memberikan perhatian besar terhadap masalah utang UMKM. Dengan kebijakan pemutihan utang ini, kami harap pelaku UMKM bisa kembali bangkit dan berkembang," jelas Saan Mustopa.
Advertisement
4. DPR Usul Barang Mewah Lokal Tak Kena PPN 12 Persen
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengusulkan kepada pemerintah agar barang mewah tertentu produksi dalam negeri tak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%.
"Harusnya produk dalam negeri itu punya spesifikasi, mereka tidak dikenakan 12 persen tapi 10 persen. Itu-lah perbedaan yang diimpor dan produk dalam negeri," katanya di sela kunjungan kerja reses industri kecil menengah minuman anggur di Denpasar, Bali, Sabtu 7 Desember seperti dilansir Antara.
Ia memberi contoh apabila minuman anggur dianggap barang mewah, maka perlu dipertimbangkan untuk produk yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) dalam negeri.
"Kami ingin tahu barang mewah ini seperti apa? Kami khawatirkan dulu 12 persen pukul rata tapi presiden sudah mengeluarkan pernyataan ini hanya berlaku untuk barang mewah," imbuhnya.
5. Anggota DPR RI Erna Sari Dewi Sebut Bukan Bahan Pokok
Sementara itu, anggota DPR RI lainnya yakni Erna Sari Dewi mengatakan PPN 12% hanya diberikan kepada barang kategori merah, sedangkan bahan pokok yang dibutuhkan rakyat, bebas dari PPN.
Mengingat kebijakan itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), maka PPN 12 persen tetap harus dilaksanakan rencananya per 1 Januari 2025.
"PPN ini kan hanya diberlakukan pada barang mewah. Kemudian untuk di luar barang mewah itu tidak dikenakan, masih 11 persen. Saya pikir ini kebijakan luar biasa yang sesuai amanah undang-undang tetap harus kita lakukan," kata wakil rakyat sekaligus mantan penyiar TVRI di Bengkulu itu.
Terkait klasifikasi barang mewah yang dapat dikenakan PPN 12 persen, kata anggota Komisi VII DPR RI itu, perlu finalisasi regulasi.
Advertisement