Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Hukum Pidana Universitas Bung Karno Cecep Handoko mengatakan, KPK yang kerap kalah dalam praperadilan harusnya lebih cermat dalam menindak sebuah perkara. Apalagi KPK merupakan lembaga hukum khusus menangani perkara korupsi.
"Menarik bila ditarik ke belakang, di mana KPK hadir untuk memberantas korupsi, tidak seperti lembaga hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Polri, yang memang lahir mencakup seluruh penanganan perkara hukum. Harusnya KPK lebih matang dan fokus menangani sebuah perkara," kata Cecep, Senin (9/12).
Baca Juga
Pria yang akrab disapa Ceko ini mengimbau agar KPK mawas diri dengan cara belajar kepada Kejaksaan Agung. Agar dalam menangani sebuah perkara tidak digugat dan kalah lagi lewat praperadilan.
Advertisement
"Segmennya kan jelas, tipikor, bukan perkara lainnya. Ini perlu ditekankan agar KPK kembali belajar. Agar apa? Supaya penanganan sebuah perkara itu tidak dipatahkan," kata Ceko.
Cecep berkaca pada proses praperadilan terhadap Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adalah mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang menjadi tersangka dalam dugaan korupsi importasi gula periode 2015-2016 yang menggugat praperadilan terhadap Jampidsus, Kejagung.
Sementara, Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor atau Paman Birin mempraperadilankan KPK atas status tersangkanya.
Pembuktian
Sejurus dengan itu, pengamat hukum pidana UPN Veteran Jakarta, Beni Harmoni Harefa mengatakan, terpenting dari kasus korupsi adalah membuktikan perbuatan niat jahatnya. Dan itu pula yang ingin dibuktikan Tom Lembong lewat kuasa hukumnya pada waktu praperadilan termasuk soal belum ada perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.
"Sejatinya objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sah tidaknya penangkapan, penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta ganti rugi dan rehabilitasi. Pasca-perluasan objek praperadilan melalui Putusan MK No 21/PUU/XII/2014, maka termasuk objek praperadilan sah tidaknya penetapan tersangka, sah tidaknya penggeledahan dan sah tidaknya penyitaan. Pembatasan semuanya pengujian ini dalam ranah acara/formil," ujar Beni.
Namun, kuasa hukum Tom Lembong sepertinya lupa bahwa untuk menetapkan seseorang tersangka merujuk KUHAP setidak-tidaknya adanya bukti permulaan yang cukup atau 2 alat bukti yang sah. Nah, berdasarkan pemaparan penyidik pada Jampidsus, Kejagung dalam sidang praperadilan tersebut, mampu membuktikan alat bukti untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka justru sudah melebihi dari ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP.
"Sehingga seharusnya KPK tidak hanya mengandalkan OTT yang disertai penyadapan. Namun harus mengkonstruksi (membangun) suatu perkara sejak awal dengan mengumpulkan seluruh bukti tanpa melanggar hukum acara (formil). Hal inilah yang sering dilakukan pidsus Kejaksaan," kata Beni.
Berdasarkan itu pula, kata Benny, hakim tunggal pada PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, menolak permohonan praperadilan Tom Lembong. Atas dasar fakta itu, kata Benny, maka penting mendiskusikan proses dan hasil praperadilan terhadap KPK dan Jampidsus pada Kejagung.
"Karena hal itu pula, (KPK) perlu mengkonstruksi suatu perkara sejak awal. Sehingga terkumpul seluruh bukti dengan tanpa melanggar hukum acara/formilnya suatu perkara," ungkap Beni.
Apalagi kedua kasus yang dimohonkan itu, kata Benny, sangat berbeda dalam penanganannya. Kasus yang ditangani KPK berdasarkan operasi tangkap tangan yang dikenal sebagai OTT itu, sementara penyidik Jampidsus pada Kejagung membangun kasusnya yang menjerat Tom Lembong dari awal tanpa OTT.
Tentu saja membangun kasus dari awal itu, kata Benny, jauh lebih sulit ketimbang mengandalkan OTT yang selalu berdasarkan pengintaian dan penyadapan. Membangun kasus dari awal itu membutuhkan pemahaman hukum tinggi khususnya soal tindak pidana korupsi.
Apalagi, kata Beni, tindak pidana korupsi selalu pula melibatkan mereka yang disebut sebagai penjahat kerah putih atau orang-orang cerdas yang kerap memegang kekuasaan atau jabatan tertentu dalam pemerintahan.
Karena itu, kata Beni, penyidik pada KPK penting untuk belajar dari Jampidsus, Kejagung dalam menangani kasus tindak pidana korupsi agar tidak mudah kalah ketika digugat praperadilan.
"KPK kendati punya kewenangan supervisi, tidak perlu malu untuk studi banding ke Jampidsus Kejagung untuk belajar mempertahankan argumentasi dalam menghadapi praperadilan. Itu sebabnya, penting mendiskusikan hal tersebut terutama dalam rangka menyiapkan roadmap pemberantasan korupsi ke depan," kata Beni.
Sumber:Â Henni Rachma Sari/Merdeka.com
Advertisement