Liputan6.com, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengungkapkan hasil investigasi yang dilakukan selama tiga bulan atas demonstrasi yang menolak revisi Undang-Undang atau UU Pilkada pada pada 22-29 Agustus 2024.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid ditemukan adanya kekerasan yang berulang kepada massa demo yang terjadi di 14 wilayah Indonesia. Total, 579 orang warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama aksi unjuk rasa berlangsung.
Baca Juga
“Selama kurun waktu itu, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi,” kata Usman dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (10/12/2024).
Advertisement
Rinciannya, 344 orang mengalami penangkapan dan penahanan semena-mena. Lalu, 152 orang luka-luka akibat serangan fisik, termasuk penembakan meriam air, yang 17 orang terpapar gas air mata kimia yang berbahaya.
Kemudian, 65 orang lainnya tercatat mengalami kekerasan berlapis, meliputi kekerasan fisik dan penahanan inkomunikado dan seorang lagi dilaporkan sempat hilang sementara.
“Seluruh kekerasan tersebut terjadi saat polisi menghadapi unjuk rasa menolak revisi UU Pilkada,” ungkap Usman.
Usman menyampaikan temuan ini dipublikasikan menjelang peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 2024. Temuan ini, kata dia menambah daftar panjang catatan kelam kepolisian, lembaga yang seharusnya bertugas mengayomi dan melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan.
“Bukti kekerasan polisi yang terverifikasi meliputi penangkapan dan penahanan semena-mena, pemukulan dengan tangan dan tendangan kaki, penggunaan gas air mata dan meriam air,” ucap Usman.
Usman menyebut meski benar ada kericuhan, seperti kerusakan gerbang DPR RI, kekerasan yang dilakukan polisi menunjukkan penggunaan kekuatan yang eksesif, tidak proporsional, dan tidak perlu terhadap sebagian besar unjuk rasa yang berjalan damai.
“Kekerasan polisi yang berulang adalah lubang hitam pelanggaran HAM. Investigasi kami serta bukti visual berupa video menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan tidak proporsional secara berulang adalah kebijakan kepolisian, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri atau melanggar perintah atasan mereka,” jelas Usman.
Temuan ini seakan menegaskan gagalnya janji Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang menyatakan bakal mengutamakan pendekatan humanis di era kepemimpinannya. Polisi, ujar Usman harusnya melindungi suara-suara kritis masyarakat yang turun ke jalan.
Hak Masyarakat Selalu Dihadapi Kekuatan Berlebih
Dia menilai, kasus ini mencerminkan bagaimana hak berkumpul dan berpendapat masyarakat di Tanah Air selalu dihadapi dengan kekuatan berlebihan aparat kepolisian.
“Kritik dan ekspresi damai wajib dihadapi secara persuasif, bukan represif. Jika ditambah dengan deretan kekerasan polisi yang kini ramai, maka jelas tidak ada perbaikan, malah semakin darurat,” kata dia.
Usman menuturkan, bukti-bukti terverifikasi kekerasan polisi dalam kasus ini telah menabrak sejumlah aturan, yakni Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 28E(3), UU Nomor 12/2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (1976), Kode Etik Aparat Penegak Hukum (1979).
Kemudian, juga melanggar Pedoman Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api (1990) termasuk yang telah diadopsi oleh Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Advertisement