Sukses

Menakar Arah Politik Jokowi Usai Dipecat PDIP, Merapat ke Golkar atau Gerindra?

Langkah Jokowi usai tak menjadi kader PDIP menjadi sorotan. Ada sejumlah partai yang menyatakan siap menjadi pelabuhan politiknya. Selain itu, simpul relawan dikabarkan akan berubah menjadi parpol. Akankah ini cukup menjanjikan bagi Jokowi?

Liputan6.com, Jakarta - Usai PDI Perjuangan (PDIP) tak lagi menganggap sebagai kader, Jokowi mengaku masih menyimpan Kartu Tanda Anggota (KTA) sebagai kader partai Pimpinan Megawati Soekarnoputri. Ayah dari Wapres Gibran Rakabuming Raka ini enggan menjawab saat ditanya apakah akan segera mengembalikan KTA PDIP tersebut. 

“Terima kasih,” ucap Jokowi sambil berjalan meninggalkan wartawan, Kamis 9 Desember 2024.

Setelah Pilkada 2024 berakhir,  PDIP resmi memecat Joko Widodo atau Jokowi dari partai tersebut. Tindakan-tindakan Jokowi dinilai tidak sejalan dengan cita-cita partai yang diperjuangkan sejak masa Soekarno atau Bung Karno.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Vishnu Juwono, menilai langkah ini diambil PDIP dengan pertimbangan bahwa momentum politik Jokowi untuk memainkan peran korban sudah berlalu.

“PDIP tidak ingin pemecatan Jokowi dimanfaatkan secara politik oleh beliau dan keluarganya sebagai korban. Di Indonesia, simpati terhadap korban politik cukup besar, tapi setelah Pilkada selesai, efeknya sudah tidak signifikan,” jelas Vishnu, Selasa (10/12/2024).

Jokowi dinilai tetap mampu menunjukkan kekuatan politiknya dengan mendukung calon-calon tertentu dalam Pilkada, seperti kemenangan kandidat gubernur di Jawa Tengah. Namun, Vishnu menilai PDIP akhirnya berani mengambil tindakan tegas setelah semua momentum politik utama selesai.

Sejumlah partai politik telah membuka pintu bagi Jokowi. Gerindra dan Golkar disebut-sebut sebagai opsi yang potensial. Namun, Vishnu memandang Golkar memiliki peluang lebih besar untuk menjadi rumah baru bagi Jokowi.

“Golkar tidak memiliki tokoh politik dengan daya tarik elektoral yang besar, berbeda dengan Gerindra yang sudah memiliki Prabowo sebagai tokoh sentral. Jika Jokowi masuk ke Gerindra, itu justru bisa menciptakan matahari kembar. Di Golkar, kehadiran Jokowi lebih relevan secara elektoral,” ungkap Vishnu.

Meski begitu, Jokowi perlu meyakinkan faksi-faksi kuat di Golkar. Vishnu menilai dukungan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, akan menjadi kunci untuk memastikan Jokowi mendapatkan tempat yang signifikan di partai tersebut.

Selain bergabung dengan partai politik yang sudah ada, Jokowi juga memiliki opsi mendirikan partai politik baru. Namun, Vishnu menilai langkah ini penuh tantangan, mengingat besarnya modal dan infrastruktur yang dibutuhkan.

“Membangun partai baru tidak mudah. Meski relawan seperti Projo memiliki jaringan yang kuat, pertanyaan besarnya adalah apakah magnet elektoral Jokowi akan tetap kuat atau justru meredup seiring waktu. Apalagi, panggung politik saat ini akan didominasi oleh Prabowo sebagai presiden berkuasa,” kata Vishnu.

Alternatif lain adalah memanfaatkan PSI, di mana putra Jokowi, Kaesang Pangarep, menjabat sebagai ketua umum. Vishnu melihat PSI sebagai opsi yang lebih realistis untuk Jokowi dibandingkan mendirikan partai dari nol. “PSI lebih potensial untuk dikontrol Jokowi, karena struktur partainya sudah ada. Itu lebih efisien,” tambahnya.

Terkait Projo yang telah menyatakan kesiapan untuk berubah menjadi partai politik, Vishnu menilai ini masih belum cukup menjanjikan. “Membangun partai membutuhkan modal besar, jaringan yang luas, dan basis suara yang kuat. Di tengah dominasi politik Prabowo sebagai presiden, sulit bagi investor politik untuk memilih partai baru seperti Projo,” tutupnya.

Meski begitu, Vishnu menilai langkah politik Jokowi masih dinamis. “Dengan strategi yang tepat, Jokowi tetap memiliki magnet elektoral yang dapat digunakan untuk membangun kekuatan politik baru, baik melalui partai yang ada maupun jaringan relawannya,” ujarnya.

Adapun Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar menilai bahwa dinamika politik terkait posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca tidak lagi menjabat membuka sejumlah peluang, baik dalam kaitannya dengan partai politik maupun manuver politik lainnya.

Menurut Usep, langkah PDIP yang kini cenderung menjauh dari Jokowi adalah momentum yang tidak terhindarkan. "PDIP mungkin masih berharap rekonsiliasi, tapi kenyataannya tidak bisa. Sekarang posisi Jokowi berbeda, kekuasaannya sudah berkurang dibanding saat Pilpres atau setengah tahun lalu," katanya, Senin (11/12/2024).

Usep menjelaskan, salah satu pertimbangan PDIP menunggu waktu untuk mengambil keputusan terkait Jokowi adalah untuk menghindari dampak negatif terhadap elektabilitas calon-calon yang mereka usung. "Efek Jokowi sebenarnya signifikan, baik di Pilpres maupun Pilkada. Ini menyebabkan split ticket di PDIP, di mana suara partai tidak sejalan dengan calon yang mereka dukung," tambahnya.

Terkait peluang Jokowi untuk bergabung dengan partai politik lain, Usep menyebutkan bahwa mantan presiden itu masih memiliki daya tarik kuat. "Jokowi memiliki pengaruh dan pengikut loyal. Bergabung dengan partai bisa menjadi cara untuk memuluskan karir politik anak-anaknya dan kroninya," jelasnya.

Ia juga menyebut Partai Golkar sebagai opsi yang paling memungkinkan bagi Jokowi. "Golkar lebih kondusif dibanding Gerindra yang rawan memunculkan 'matahari kembar' dengan Prabowo. Selain itu, Golkar sudah mencalonkan Gibran sebagai cawapres, sehingga peluangnya lebih besar," katanya.

Meski peluang untuk bergabung dengan partai politik terbuka lebar, Usep memandang bahwa mendirikan partai baru bukan langkah mudah bagi Jokowi. "Membangun partai baru itu sulit, apalagi saat Jokowi sudah tidak lagi berkuasa. Loyalisnya mungkin ada, tapi tetap lebih rasional jika membawa gerbong politiknya ke partai yang sudah mapan," tegasnya.

Menurut Usep, peta politik partai di Indonesia sudah matang, sehingga partai pendatang baru akan kesulitan menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold). "Kalau membangun sendiri, peluangnya kecil. Lebih masuk akal jika Jokowi bergabung dengan partai yang sudah ada," pungkasnya.

Ihwal merapat ke partai, Jokowi mengakui telah melakukan komunikasi dengan petinggi Partai Golkar. Tetapi komunikasi yang dilakukannya itu belum sampai terkait pembicaraan mengenai status untuk menjadi kader partai pimpinan Bahlil Lahadalia.

“Ya semua partai kan terbuka. Dengan (Golkar) belum. Ya komunikasi ada tapi belum,” ujar Jokowi di rumahnya pada Kamis (9/12/2024).

Kemudian ketika disinggung apakah masih menimbang-nimbang terkait partai politik yang akan diikutinya usai tak dianggap sebagai kader oleh PDIP, mantan Wali Kota Solo itu pun enggan menjelaskannya lebih lanjut. “Ya masih partai perorangan,” kata dia sambil tertawa kecil.

 

Pakar Komunikasi Politik, Emrus Sihombing menyatakan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi saat ini sudah sah jika disebut seorang politisi. Rekam jejaknya di Pilkada 2024 menorehkan endorse kepada para kandidat yang hendak mencari dukungan.

Namun pertanyaannya, saat ini Jokowi tidak memiliki partai. PDI Perjuangan sebagai partai yang telah melahirkannya sudah mencoret namanya sejak pecah kongsi saat Pilpres 2024.

Emrus Sihombing menyatakan sebagai seorang politisi, tentu Jokowi ingin bernaung di sebuah kekuatan politik tertentu. Namun, Jokowi saat ini sedang berhitung siapa partai yang akan memberinya peluang paling banyak.

Saat ini, Jokowi sedang mempertimbangkan partai mana yang dapat memberikan peluang terbaik baginya.

"Bisa saja dia menjadi kader dari suatu partai dan saya lihat peluang itu ada pada Partai Gerindra atau Golkar," kata Emrus saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (10/12/2024).

Namun, saat mempertimbangkan peluang antara kedua partai tersebut, Emrus menganalisis kondisi psikologis Golkar yang dianggap lebih dinamis dibandingkan Gerindra.

"Golkar sangat dinamis, sangat apa namanya, lebih pas lah kita sebut istilah dinamis. Kenapa saya katakan sangat dinamis? Karena selalu ada di pusat keuasaan kan? Bahkan yang tidak didukung menang, dia bergabung juga ke situ kan? Jadi posisi untuk Pak Jokowi bisa yang sifatnya memberi suatu kedudukan posisi yang menghormati ke sosial, tapi tidak pengambil keputusan," ungkap Emrus.   

Terkait Gerindra, Emrus melihat terlalu sulit jika Jokowi bergabung. Sebab hampir tidak mungkin partai yang sudah dibangun dibesarkan Prabowo lalu diserahkan kepada orang lain yang hitungannya kader baru.

"Tidak mungkin dong Pak Prabowo yang sudah berdarah-darah membangun Gerindra kan? Semudah itu diberikan, KTA mungkin dibuatlah tapi posisi kedudukan bisa saja disebut sebagai sesepuh partai," jelas Emrus.

Emrus berpandangan, bisa saja Jokowi mendirikan partai sendiri dengan memanfaatkan relawan loyalnya seperti Projo. Namun syaratnya, nama tersebut harus diubah tidak bisa Partai Projo.

"Mungkin boleh jadi diubah nama gitu kan? Kalau Projo kan mengkultuskan Jokowi doang. Padahal negara demokrasi kalau mengkultuskan justru tidak dapat respon dari publik. Karena sesuai seseorang yang dikultuskan bisa bergeser menjadi otoritarian," saran Emrus.

Terlepas dari berbagai kemungkinan Jokowi berpartai, Emrus mengatakan sebaiknya Jokowi tetap menjadi tokoh panutan dan guru bangsa ketimbang masuk ke dalam politik praktis

"Biarlah Pak Jokowi menjadi guru bangsa yang berpijak kepada konstitusi dan Pancasila. Tidak berpihak kepada kekuatan politik mana pun. Sangat saya sayangkan. Kalau turun lagi berpolitik begitu ya, bukan jadi guru bangsa," Emrus menandaskan.

2 dari 5 halaman

Parpol Tak Berani Rekrut Jokowi?

Joko Widodo atau Jokowi resmi dipecat dari PDI Perjuangan (PDIP) setelah aksinya memberikan dukungan kepada sejumlah kandidat dalam kampanye Pilkada 2024. Langkah tersebut memicu keputusan partai berlambang banteng itu untuk mendepak mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Direktur Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, menilai pemecatan ini membuka peluang bagi Jokowi untuk bergabung dengan partai politik lain. “Dengan dipecatnya Pak Jokowi dari PDIP, tentu ada pilihan bagi beliau untuk bergabung dengan partai politik lain,” ujarnya, Selasa (10/12/2024).

Menurut Arifki, ada tiga partai potensial yang bisa menjadi rumah baru bagi Jokowi. Pertama adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), di mana putra bungsunya, Kaesang Pangarep, menjabat sebagai ketua umum.

Selain PSI, Golkar disebut sebagai opsi berikutnya. Arifki mengutip pernyataan Sekretaris Bidang Organisasi DPP Golkar, Derek Loupatty, yang menyebut Jokowi sudah dianggap sebagai anggota kehormatan, meskipun belum memiliki kartu tanda anggota (KTA).

“Ketiga adalah Gerindra. Tawarannya cukup besar. Saya rasa partai-partai ini melihat kekuatan politik yang masih dimiliki Pak Jokowi,” jelas Arifki.

Lebih jauh, Arifki memandang langkah Jokowi ini tidak hanya berhenti pada Pilkada 2024. Ia memprediksi, ambisi politik Jokowi berorientasi pada Pilpres 2029, terutama untuk mendukung putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai penerus.

“Ketika Pak Jokowi membutuhkan kartu politik yang lebih besar di 2029, bergabung dengan partai politik akan meningkatkan daya tawarnya. Ini penting untuk membangun posisi tawar yang tinggi,” kata Arifki.

Arifki juga menilai Pilpres 2029 berpotensi diwarnai oleh tiga poros besar. Selain Prabowo Subianto yang mungkin kembali mencalonkan diri, ada PDI Perjuangan dengan Pramono Anung yang baru memenangkan Pilkada Jakarta, serta Gibran yang disebut sebagai suksesor Jokowi.

“Jika kompromi politik tidak tercapai, kompetisi di Pilpres 2029 akan menjadi sangat dinamis dengan tiga kutub utama yang saling bersaing,” tutupnya.

Sementara itu, menurut Analis Komunikasi Politik dari KedaiKOPI Hendri Satrio atau Hensat, Jokowi sebetulnya tidak lagi perlu rumah berupa partai politik.

Pasalnya, kata dia Jokowi adalah tokoh bangsa usai pensiun sebagai kepala negara. "Jokowi itu sebetulnya tidak perlu bingung, ia kan tokoh bangsa, dan tokoh bangsa sudah tidak perlu rumah (partai politik), rumahnya kan negara ini, Indonesia," kata Hensat kepada Liputan6.com, dikutip Senin (9/12/2024).

Kecuali, lanjutnya apabila Jokowi belum merasa dirinya adalah tokoh bangsa. “(Jika) masih merasa menjadi politisi maka ia (Jokowi) memang butuh rumah politik," kata Hensat.

Menurut Hensat, status Jokowi sebagai anggota kehormatan Partai Golkar pun tidak memberikan kekuatan politik dalam internal parpol.  Dia menilai bergabungnya Jokowi sebagai anggota kehormatan hanya bakal berdampak pada elektabilitas Golkar semata.

"Anggota kehormatan ini kan seperti ngekos atau mengontrak saja, jadi bukan rumahnya di situ. Memang agak deg-degan juga untuk memberikan Jokowi rumah dengan jejak rekam politiknya yang kuat untuk memunculkan keluarga, belah bambu, dan lain-lain," jelas Hensat.

Hensat menyampaikan, saat ini hanya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dapat menjadi harapan Jokowi untuk menerimanya sebagai kader partai. Dia menuturkan, partai besar seperti Golkar maupun Gerindra tidak akan berani untuk menetapkannya Jokowi sebagai kader. Hal ini, ujar Hensat karena rekam jejak Jokowi terkait dinasti politik.   

 

3 dari 5 halaman

3 Parpol Siap Menjadi Pelabuhan Politik Jokowi

Ketua Harian DPP Partai Gerindra menyebut untuk sementara waktu tak menyiapkan posisi apa-apa untuk Presiden Ke-7 Joko Widodo karena partai belum mengetahui rencana Jokowi.

“Sementara kami belum siapkan apa-apa karena kami belum tahu rencana Pak Jokowi,” kata Dasco kepada wartawan di depan kediaman pribadi Presiden Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara No. 4, Jakarta, Jumat (6/12/2024) seperti dilansir Antara.

Dia menyebut Gerindra pada prinsipnya terbuka kepada siapa pun sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.

“Tetapi, kan enggak tahu apa Pak Jokowi mau masuk Gerindra, atau punya rencana lain,” kata Dasco.

Presiden Prabowo, saat ditanya wartawan mengenai kemungkinan Jokowi bergabung dengan Gerindra yang kemudian dijawab Gerindra terbuka bagi siapa pun.

“Kalau Gerindra terbuka, tetapi tentu kami enggak bisa maksa beliau masuk,” kata Prabowo di depan kediaman pribadinya, Jakarta, Jumat 6 Desember 2024, menjawab pertanyaan wartawan

Jokowi sendiri tampak hanya tersenyum mendengar pernyataan Prabowo itu. Sementara, kata Prabowo, keputusan bergabung tentu tidak dapat dipaksakan.

"Tapi kita tentunya tidak bisa maksa beliau masuk,” jelas dia.

Jokowi diketahui sebagai kader PDIP. Namun, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (4/12), mengumumkan Jokowi dan keluarganya, yaitu Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, bukan kader PDIP dan tak lagi menjadi bagian dari PDIP.

Sedangkan Partai Golkar menyatakan siap menyambut mantan Gubernur Jakarta itu dengan tangan terbuka jika ia memutuskan untuk bergabung.”Pak Jokowi adalah orang yang merdeka, bebas, beliau bebas menentukan pilihan. Saya meyakini pak Jokowi pasti akan melakukan pertimbangan banyak untuk masuk ke partai politik," kata Sekjen Golkar, Sarmuji di Jakarta, Kamis (5/12/2024).

Sarmuji menegaskan bahwa Golkar akan menerima Jokowi dengan tangan terbuka, sebagaimana mereka menyambut siapa pun yang ingin bergabung.

"Bahwa Pak Jokowi setelah menimbang lalu merenung kemudian menentukan pilihan ke Golkar misalkan, tentu Golkar akan menerima dengan tangan terbuka sebagaimana Golkar menerima orang lain juga," jelas dia.

Sarmuji menilai bahwa Jokowi masih memiliki pengaruh besar di masyarakat.

"Orang biasa saja kita terima secara terbuka apalagi seorang mantan presiden, seorang presiden periode lalu yang kami yakin pengaruhnya masih cukup besar di masyarakat," kata Sarmuji.

Ia menambahkan bahwa Golkar belum memulai komunikasi dengan Jokowi untuk mengajaknya bergabung, meskipun Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, memiliki hubungan baik dengan Jokowi.

"Kan hubungan ketua umum dengan Pak Jokowi kan hubungan yang cukup dekat. Pasti kalau ada sinyal Pak Jokowi mau merapat Golkar, kita orang-orang dekat kita akan kasih tahu," kata Sarmuji.

Sementara itu, Sarmuji belum mau bicara apa jabatan khusus yang akan disiapkan apabila Jokowi bergabung dengan Golkar. "Itu tahap selanjutnya, masuk aja belum, gimana," katanya.

Tak hanya Gerindra dan Golkar, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga juga mengaku, partainya siap menerima Jokowi masuk ke dalam partainya.

"Jika Pak Joko Widodo bersedia untuk masuk sebagai kader PAN, maka PAN akan sangat senang," kata Yoga, saat dihubungi merdeka.com, Kamis (5/12/2024).

Namun, Yoga menilai, Jokowi lebih baik menjadi bapak bangsa, ketimbang gabung partai. Sebab, sosoknya mampu membantu pemerintahan Prabowo Subianto.

"Tapi, apakah Pak Jokowi mau? Karena banyak sekali beberapa pemikiran Pak Jokowi lebih baik menjadi bapak bangsa yang membantu pemerintahan Pak Prabowo," ujar dia.

Menurutnya, Jokowi dapat mempercepat target-target pembangunan sesuai dengan visi-misi pemerintahan Prabowo.

"Di dalam merealisasikan misi visi pemerintahan sekarang agar bisa akseleratif dan bisa mempercepat target-target pembangunan sesuai dengan apa yang telah ditargetkan pemerintahan Prabowo-Gibran," paparnya.

"Dan Pak Jokowi tentu akan bisa membantu dalam bidang lingkungan, sosial, budaya, dan sebagainya. Sehingga diharapkan akan ada kesinambungan program dan realisasi untuk mempercepat Indonesia maju," imbuh Yoga. 

4 dari 5 halaman

PDIP Pecat Jokowi dan Keluarga

Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menjawab pertanyaan terkait status keanggotaan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, hingga Wali Kota Medan Bobby Nasution. Hasto menegaskan, ketiganya bukan lagi bagian dari PDI Perjuangan.

"Saya tegaskan kembali bahwa Pak Jokowi dan keluarga sudah tidak lagi menjadi bagian dari PDI Perjuangan," kata Hasto dalam jumpa pers yang digelar di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (4/12/2024).

Lebih lanjut, Hasto menjelaskan, tindakan-tindakan Jokowi dinilai tidak sejalan dengan cita-cita partai yang diperjuangkan sejak masa Soekarno atau Bung Karno.

"Sehingga itulah yang terjadi. Dan kemudian kita melihat bagaimana ambisi kekuasaan ternyata juga tidak pernah berhenti," ujar Hasto.

Pun demikian dengan Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution. Hasto mengatakan, ketika mereka dicalonkan oleh partai politik lain, dan juga di-endorse oleh Jokowi.

Apalagi naiknya Gibran sebagai wakil presiden melalui proses yang mencederai konstitusi dan demokrasi, kata Hasto, maka otomatis status seluruh kelengkapan keanggotaan yang berkaitan dengan PDIP sudah dinyatakan berakhir.

"Mengapa? Karena PDI Perjuangan digerakkan oleh suatu cita-cita. Dan itu dibuktikan dengan pengiriman surat dari DPC Kota Surakarta, tempat KTA Mas Gibran berasal, yang memberitahukan bahwa berdasarkan undang-undang partai politik dan andil-andil partai, keanggotaannya secara otomatis berhenti," ujar Hasto Kristiyanto.

5 dari 5 halaman

Infografis