Sukses

Muncul Wacana Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD, Siapa Diuntungkan?

Wacana kepala daerah dipilih DPRD kembali mencuat setelah pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 usai. Wacana ini sempat bergulir di era pemerintahan Presiden Jokowi, namun mendapat penolakan keras dari masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Wacana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat. Wacana tersebut kembali digulirkan Presiden Prabowo Subianto dengan dalih efisiensi anggaran. Menurut dia, anggaran besar yang digunakan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bisa dialihkan untuk memberi makan anak-anak hingga perbaikan sekolah.

Isu ini bukan hal baru dalam politik Indonesia. Gagasan serupa juga sempat mengemuka di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mendapat dukungan dari sejumlah tokoh politik, termasuk Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kala itu Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Pada masa pemerintahan Jokowi, usulan ini muncul seiring evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung yang dianggap memiliki sejumlah kelemahan, seperti tingginya biaya politik, rawannya praktik politik uang, dan konflik sosial di masyarakat.

Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai, usulan kepala daerah dipilih DPRD dengan alasan biaya mahal adalah salah kaprah. Menurut dia, tingginya biaya pemilihan umum (Pemilu) disebabkan oleh peserta dan penyelenggara yang boros.

"Peserta misalnya, dia beli semua perahu, partai politik sehingga orang lain tidak bisa mencalonkan, timbul lah calon tunggal, uang maharnya mahal, yang menyebabkan mahal ya mereka," ujar Feri saat dihubungi Liputan6.com, Senin (16/12/2024).

Sementara dari sisi penyelenggara, kata Feri, anggaran membengkak karena mereka kerap menggelar rapat di hotel-hotel mewah. "Padahal sudah ada teknologi Zoom (pertemuan vitual)," ucapnya.

"Jadi kemahalan ini dilakukan oleh peserta dan penyelenggara, tapi yang dihukum adalah rakyat yang memiliki kedaulatan dengan dicabutnya hak rakyat untuk memilih, kan salah kaprah," kata mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Feri menuturkan bahwa pemilihan kepala daerah prinsipnya adalah harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

"Nah undang-undang dasar kita memang menggunakan bahasa yang cukup general ya. Kenapa kemudian pilihan frasanya adalah demokratis, karena berkaitan dengan pembahasan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut bahwa terdapat daerah-daerah yang memiliki proses pemilihannya khusus yaitu pemilihan di Yogyakarta, Jakarta, Papua, dan Aceh."

"Nah ini yang menyebabkan pemaknaannya digunakan kata demokratis untuk menghormati metode pemilihan kepala daerah berdasarkan prinsip otonomi khusus yang mereka pakai," ujarnya.

Sementara para pembentuk undang-undang dasar perubahan (amandemen UUD 1945), kata Feri, menghendaki daerah lain dari yang khusus itu sama, yaitu dipilih secara langsung. "Nah inilah yang kemudian menjadi dasar gagasan pemilihan kepala daerah asimetris di Indonesia. Tidak dapat dimaknai hal yang umum dipilih secara langsung itu diganti dalam konsep metode pemilihan melalui DPRD. Karena satu sisi itu tidak sesuai dengan semangat reformasi konstitusi yang bicara soal otonomi daerah yang seluas-luasnya."

"Jadi apa yang digambarkan secara prinsip konstitusional salah oleh Pak Prabowo," ucap Feri.

Dia juga menilai Prabowo salah memberikan contoh negara sebagai referensi untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah. Sebab, negara yang disebutkan Prabowo memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan Indonesia.

Dalam pidatonya di acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Kamis malam (12/12/2024) lalu, Prabowo menyebut Singapura, Malaysia, dan India berhasil menggunakan anggaran lebih efisien karena kepala daerah dipilih oleh DPRD.

"Ketiga negara itu punya sistem pemerintahan yang berbeda. Satu, misalnya Malaysia dia parlementer. Maksud dari parlementer itu adalah memang proses pemilihan umumnya satu untuk memilih anggota parlemen. Anggota parlemen yang mayoritas akan otomatis menjadi eksekutif terpilih, maka disebut parlementer. Beda lagi dengan Singapura dan India yang mix system hybrid, dia ada presiden ada perdana menteri," kata Feri.

Sementara pemerintahan Indonesia menganut sistem presidensial yang merupakan cabang kekuasaan yang terpisah. Oleh karena itu, sistem presidensial memiliki dua pemilu yang berbeda terhadap eksekutif dan legislatif.

"Jadi, tidak mungkin kemudian dalam sistem presidensial diadakan Perdana Menteri. Oleh karena itu, contoh Pak Presiden Prabowo salah tempat, salah kaprah," ucap Feri Amsari menandaskan.

Siapa yang Diuntungkan?

Pengamat Politik dari Populi Center, Usep S Akhyar menilai, wacana kepala daerah dipilih DPRD lebih banyak dampak negatifnya ketimbang positifnya. Hal ini merujuk pada pola pemilihan kepala daerah sebelum era reformasi yang tidak melibatkan masyarakat secara langsung.

Sejak Indonesia merdeka hingga era orde baru (Orba), pemilihan kepala daerah diwakilkan oleh DPRD. Pilkada secara langsung baru terlaksana pasca-reformasi. Adapun Pemilukada untuk pertama kali digelar pada 2005.

Usep menuturkan, dampak positif kepala daerah dipilih oleh DPRD salah satunya adalah situasi politik yang cenderung lebih stabil karena potensi terjadinya polarisasi akibat perbedaan pilihan akan lebih kecil. 

"Karena memang sangat mudah dikontrol ya, polarisasinya tidak banyak, karena mungkin hanya yang bertarung adalah partai-partai politik ya, jadi tidak terlalu banyak pemain. Kemudian juga mungkin efisiensi, kan secara biaya lebih efisien karena tidak harus mengadakan Pilkada yang biayanya besar. Itu saya kira mungkin keuntungannya," ujar Usep saat dihubungi Liputan6.com, Senin (16/12/2024).

Namun dampak negatifnya, kebijakan tersebut akan mengurangi campur tangan masyarakat dalam menentukan kepala daerah yang akan memimpin mereka. 

"Ini akan menjadi elitis. Jadi memperkuat posisi posisi tawar partai politik dan mengurangi posisi tawar masyarakat. Itu yang kemudian akhirnya politik ada di tangan elite penentunya semua," kata Usep.

Dalam sistem ini, kata dia, tentu pihak yang paling diuntungkan adalah para elite politik. Sementara yang paling dirugikan adalah masyarakat. Keterlibatan masyarakat hanya terbatas pada memilih wakil rakyat di parlemen, selanjutnya penentuan eksekutif akan menjadi kompromi para elite politik.

"Yang jelas saya kira demokrasi (yang dirugikan) dalam konteks ini masyarakat yang tidak menjadi subjek dalam pemilihan kepala daerah. Dia hanya dijadikan atas nama oleh partai politik bahwa ini adalah demokrasi. Yang diuntungkan, saya kira ya partai dan elite politik karena mereka sangat mudah untuk mengontrol siapa yang jadi, siapa yang tidak."

Dengan dipilih oleh DPRD, maka nantinya kepala daerah seakan tidak punya lagi kewajiban mempertanggung jawaban kinerjanya kepada rakyat. "Itu kan rakyat kehilangan kedaulatannya," ucap Usep.

Menurut dia, yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah dari penyelenggaraan pemilihan umum adalah soal bagaimana memberantas fenomena praktik money politics atau politik uang. "Itu yang harus diperbaiki, bukan soal mekanismenya langsung atau dipilih oleh DPRD."

Sebab, tidak ada jaminan politik uang akan hilang jika kepala daerah nantinya kembali dipilih oleh DPRD. Potensi itu tetap ada, hanya saja tidak melibatkan masyarakat secara langsung. Alih-alih menurun, peredaran money politics justru bisa semakin besar di kalangan para elite.

"Ini kan hanya berpindah (peredaran politik uang) dan mungkin lebih besar biaya politik uangnya. Yang memain-mainkan dan yang diuntungkan hanya elite berbeda. Dulu juga kan kita pernah terjadi dan mengalami itu bagaimana politik uang itu terjadi dan beredar di tingkat elite politik. Itu yang kemudian menjadikan upaya untuk melakukan pemilihan langsung kepala daerah," ujar Usep.

Karena itu, jika semangatnya efisiensi anggaran, maka solusi yang harus dilakukan pemerintah, menurut Usep adalah perbaikan pada pihak penyelenggara pemilu dan penegak hukum. 

"Jadi mulai dari penyelenggaranya yang punya integritas ya. Lalu kemudian partai politiknya juga bukan hanya sekedar bagaimana memenangkan calonnya di daerah tapi juga bertanggung jawab terhadap pendidikan politik, dan ada misi yang harus diemban oleh partai politik untuk mencari sebanyak mungkin kader atau menempatkan kader sebagai pimpin daerah yang memang cakap," katanya.

Di samping itu, pemerintah juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana bahayanya money politics yang dapat merusak demokrasi karena tidak akan bisa menghasilkan pimpinan daerah yang lebih baik. Upaya memberantas politik uang ini juga harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas.

"Yang memang harus dilakukan saat ini adalah law enforcement, penegakan hukum, agar terjadi efek jera. Jadi semua ini saya kira memang harus diperbaiki agar money politics itu tidak terjadi. Sehingga pemerintah atau pimpinan daerah yang terpilih itu memang keinginan rakyat dan memang tidak berdasarkan transaksi politik," Usep Saepul Akhyar menandaskan. 

2 dari 6 halaman

Mindset Orde Baru

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menyoroti wacana kepala daerah dipilih DPRD yang kembali mencuat. Berdasarkan studi yang dilakukan SMRC, dia menyebut wacana tersebut menimbulkan resistensi yang cukup besar di masyarakat.

"Jadi sebenarnya wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD sudah lama disuarakan sejumlah elite, tetapi gagal terus. Terutama, misalnya, resistansi dari publik sangat besar. Dari studi yang kami lakukan itu orang yang tidak setuju terhadap gagasan menghapus pilkada langsung itu besar sekali di masyarakat," kata Saidiman saat dihubungi, Jumat (13/12/2024).

Saidiman menilai, gagasan pilkada dipilih DPRD adalah bentuk dari fenomena di kalangan elite karena lelah berkompetisi di antara mereka. Sehingga, ada keinginan suatu penyelesaian di tingkat elite layaknya ciri khas orde baru.

"Wacana ini memang khas elite dan menjadi lebih kuat karena semacam ada semangat elite kita untuk mengembalikan mindset orde baru, di mana penyelenggaraan pemerintahan itu dilakukan di tingkat elite saja, publik tak diberikan kesempatan. Jadi itu mindset lama dan menguntungkan elite utama, jadi mereka menunjukkan siapa calon kepala daerah," ujar Saidiman.

Saidiman menyatakan, wacana kepala daerah dipilih DPRD jelas merugikan, karena rakyat tidak bisa menentukan atau mengevaluasi langsung apakah seorang kepala daerah baik atau tidak. Apakah calon kepala daerah layak atau tidak untuk memimpin daerahnya.

"Jadi evaluasinya tergantung kepada elite. Itu menurut saya akan sangat merugikan, karena pada kepala daerah tidak akan bisa bekerja maksimal karena mereka untuk bisa terpilih kembali adalah orientasinya menyenangkan para elite di atas, ketua ketua partai," ucap Saidiman.

"Saya kira kepentingan publik menjadi nomor dua, kepentingan elite yang utama. Jadi orientasinya akan berubah dan akan merugikan masyarakat," tegasnya.

Saidiman tidak sependapat dengan anggapan yang menyebut pilkada langsung menyebabkan pemborosan keuangan negara. Padahal, dengan kontrol publik, korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa diawasi.

"Dengan ada kontrol publik, pembangunan itu jadi lebih efektif. Korupsi mungkin bisa ditekan karena ada kontrol publik langsung, jadi publik dibiasakan mengontrol pemimpinnya sampai di tingkat lokal. Itu bagus untuk meningkatkan transparansi," jelasnya.

Menurut Saidiman, tidak benar juga politik uang marak terjadi karena pemilihan langsung. Sebab, bila tak ada pemilihan langsung, uang yang beredar justru akan pindah ke elite.

"Mereka akan menyogok ketua-ketua partai. Kalau selama ini politik uang iya, tapi itu kan langsung ke masyarakat," ujar Saidiman.

"Dan ongkos mahal apa yang dikatakan penyelenggaraan pilkada itu biasanya karena ulah dari partai-partai sendiri. Kan mereka pakai politik uang, dan seterusnya itu. Artinya bukan pada sistemnya, tapi pada mindset si partainya," sambungnya. 

Saidiman menilai, wacana ini kembali mencuat karena ada ketidakinginan untuk kompetisi dan semua ditentukan elite. Contohnya, seperti munculnya koalisi gemuk di Pilkada 2024.

"Itu sudah muncul kan melalui misalnya koalisi besar, dan pertanyaan Pak Prabowo Subianto ini kan bukan hanya sekali ini dikatakan kan, berkali-kali dia agak sinis pada demokrasi. Menurut saya itu menunjukkan watak atau prestasi Pak Prabowo sendiri yang tidak terlalu sungguh-sungguh buat demokrasi," ucap Saidiman.

Petinggi Parpol Paling Diuntungkan

Secara terpisah, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Haykal menilai, alasan biaya politik tinggi sebagai dasar kepala daerah dipilih DPRD, sangatlah tidak tepat. Menurut dia, perubahan sistem pilkada harus dilandasi dengan kajian dan evaluasi atas pelaksanaan pilkada yang telah dilakukan sejak 2005.

"Biaya tinggi yang diklaim Pak Prabowo terjadi di pilkada menurut kami tidak disebabkan oleh sistem pemilunya, melainkan praktik-praktik politik transaksional seperti mahar politik dan politik uang yang sebenarnya telah dilarang di dalam UU Pilkada yang berlaku," kata Haykal, saat dihubungi, Minggu (15/12/2024).

"Hanya saja, perlu diakui penegakan hukumnya masih belum maksimal dan cenderung tidak menyelesaikan permasalahan," sambungnya.

Oleh karena itu, Haykal menekankan yang perlu diperbaiki yakni sistem pencalonan dan kampanye pada pilkada, bukan secara tiba-tiba ingin mengubah sistem yang terbuka tersebut menjadi sistem yang tertutup.

"Sebab, efek yang ditimbulkan dari diubahnya sistem pilkada secara langsung menjadi dipilih oleh DPR tidak hanya berpengaruh pada sistem pilkadanya. Melainkan juga berpengaruh pada pelaksanaan kedaulatan rakyat, termasuk sistem pemerintahan dan otonomi daerah," jelas dia.

Haykal menjelaskan, di negara dengan sistem presidensial, tidak dikenal suatu pemilihan pimpinan eksekutif dilakukan oleh lembaga legislatif. Jika pemilihan diubah maka akan mengacaukan pelaksanaan otonomi daerah yang bisa bergeser kepada sentralisasi seperti masa orde baru.

Lebih lanjut, dia menyebut, jika sistem pemilihan gubernur dipilih melalui DPRD justru akan menimbulkan dampak buruk lain, yakni transaksi antar-petinggi partai politik dengan DPRD.

"Dampak buruk lainnya adalah potensi terjadinya hegemoni partai politik untuk bertransaksi dalam proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan melalui DPRD. Petinggi partai akan menjadi aktor yang paling 'diuntungkan' dan memiliki keputusan kuat dalam proses tersebut," kata Haykal.

3 dari 6 halaman

Usulan Hanya Gubernur yang Dipilih DPRD

Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan setuju atas wacana Gubernur dipilih oleh DPRD. Namun dia meminta pemilihan bupati atau wali kota tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.

"Paling bagus menurut saya memang gubernur dipilih oleh DPRD saja. Pertimbangan adalah karena kekuasaan dan wewenang gubernur hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tapi untuk bupati/wali kota, lebih bagus untuk tetap langsung," kata Ahmad Irawan dalam keterangannya, Minggu (15/12/2024).

Politikus Golkar ini menuturkan, ada alasan mengapa hanya gubernur yang bisa dipilih DPRD. Hal ini berdasarkan asas otonomi daerah yang tertuang dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sebagai ketentuan konstitusional bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dipilih secara demokratis.

Dari asas otonomi daerah tersebut, Pilkada disebut merupakan wujud dari kebijakan desentralisasi politik.

“Jadi daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam desain kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan Kabupaten/Kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,” papar Irawan.

Menurut dia, prinsip dan praktik konstitusional itu dapat dimaknai bahwa Pilkada bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct democracy/indirect democracy).

“Maka dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pilkada atau tidak langsung melalui DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, itu sama demokratisnya dan juga masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme,” terangnya.

“Karena anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota anggota-anggotanya juga dipilih melalui pemilihan umum (political representation) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945,” sambung Irawan.

Lebih lanjut, dia menilai perpindahan sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD dapat mengefisiensikan anggaran pelaksanaan Pilkada. Sebab, bongkar pasang kebijakan pelaksanaan Pilkada di Indonesia selama ini tidak berjalan efisien.

"Terkait dengan prinsip efisiensi, hal tersebut merupakan asas/prinsip yang kita jadikan dasar dalam merumuskan kebijakan/teknis penyelenggaraan pemilu. Efisiensi tergantung dari kebijakan politik hukum kita yang diatur dengan undang-undang," jelas dia.

Dia menyebut, efisiensi merupakan masalah teknis semata. Hal yang yang penting dilakukan adalah agar pelaksanaan Pilkada masih dalam koridor dan prinsip konstitusionalisme.

"Menurut penalaran yang wajar, kita bisa mendapatkan kepala daerah yang lebih berkualitas dengan biaya yang efisien jika dipilih DPRD. Kita sudah coba mengefisienkan lewat pemilihan serentak, ternyata maksud kita melakukan efisiensi tidak tercapai. Implementasinya justru mahal dan rumit," tutur Irawan.

"Sekali lagi, efisiensi ini hanya persoalan teknis. Kalau bicara prinsip dasar konstitusionalisme tadi adalah pemilihan yang demokratis. Cuma berbagai pendapat masih kita exercising sedemikian rupa," ujarnya.

Jadi Bahan untuk Menyusun Omnibus Law Politik

Di sisi lain, Irawan menyebut usul Prabowo soal gubernur dipilih DPRD sejalan dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Paket Politik (Pemilu, Pilkada dan Parpol) yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2025 DPR RI.

Paket Undang-Undang tentang Pemilu atau Omnibus Law politik ini akan membahas bab mengenai Pemilu. Selain itu, RUU tersebut juga membahas Pilkada, Partai Politik hingga hukum acara sengketa kepemiluan.

“Ini bagus kita bahas lebih awal. Pak Prabowo dan Pak Bahlil telah memulainya. Pemikiran beliau berkesesuaian. Bagaimanapun Pak Prabowo adalah Presiden yang memegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Hati dan pikirannya bagus,” ungkap Irawan.

“Inti dari pernyataannya yang saya baca adalah bagaimana kita memperbaiki Pemilu kita. Makanya kita mendorong revisi UU Paket Politik lebih awal agar tidak bias. Jadi kualitas undang-undang kita bisa lebih bagus,” tambahnya.

Senada dengan Irawan, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menyatakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan usulan gubernur dipilih oleh DPRD sebagai bahan dalam menyusun paket undang-undang terkait politik melalui mekanisme omnibus law.

"Bagi komisi II DPR RI hal ini menjadi penting sebagai salah satu bahan untuk kami melakukan revisi terhadap omnibus law politik," kata Rifqi, saat dikonfirmasi, Minggu (15/12/2024).

Dia menjelaskan, omnibus law paket UU politik itu nantinya berisi bab terkait pilkada serta pemilu. Kemudian, bab tentang partai politik dan bab tentang hukum acara sengketa kepemiluan.

Rifqi pun menekankan, usulan kepala daerah dipilih legislatif masih konstitusional. Dengan catatan, memiliki derajat dan legitimasi demokratis dalam pemilihannya.

"Hal yang paling mendasar yang harus menjadi acuan kita bersama adalah terkait ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi kabupaten/kota, dipilih secara demokratis," jelas Rifqi.

Politikus Partai NasDem ini memahami bahwa munculnya usulan DPRD memilih kepala daerah karena beberapa faktor. Salah satunya karena menguatnya politik uang.

"Usul agar budaya dan kultur politik kita tidak barbarian termasuk soal money politics menjadi juga salah satu pertimbangan penting kenapa pemilihan itu tidak lagi dilakukan secara langsung," ujar dia.

Rifqi pun menuturkan perlu juga membahas formula aturan terkait wacana tersebut. Khususnya agar korupsi dan politik uang justru tak beralih ke partai serta DPRD.

"Kita harus mencari formula yang tepat agar korupsi dan money politics itu tidak beralih ke partai politik dan DPRD, agar traumatika politik kita berdasarkan ketentuan Undang-Undang 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang dulu mengamanatkan pemilihan ketua wali kota di DPRD itu tidak lagi terjadi. Karena dulu diwarnai oleh aksi premanisme politik dan politik uang di berbagai daerah," papar Rifqi.

 

4 dari 6 halaman

Respons Parpol

Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay mengapresiasi pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke DPRD masing-masing dan pemikiran serupa sudah lama dibahas di internal PAN.

"Kalau Presiden yang memulai mengangkat wacana ini, kelihatannya akan lebih mudah untuk ditawarkan kepada seluruh partai politik yang ada," kata Saleh di Jakarta, Jumat (13/12/2024) seperti dilansir Antara.

Menurut dia, PAN secara umum mendukung pemilihan kepala daerah yang lebih simpel dan sederhana, apalagi sudah pernah diterapkan.

Saleh mengatakan bahwa hasilnya pun tidak jauh berbeda dengan kepala-kepala daerah yang ada saat ini. Mereka yang dipilih melalui DPRD banyak juga yang berprestasi. Bahkan, banyak yang legendaris dan masih dikenang sampai sekarang.

"Soal kinerja kepala daerah, tidak diukur dari mekanisme pemilihannya, tetapi justru lebih pada hasil kerja dan pelayanannya kepada masyarakat," ujarnya.

Kepala daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat kalau tidak bisa bekerja, menurut dia, malah tidak ada gunanya.

"Hari ini kami menemukan banyak tipe kepala daerah yang seperti ini," tuturnya.

Meski demikian, perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah ini dinilai tidak mudah. Pasalnya, ada UU dan peraturan-peraturan turunannya yang perlu direvisi.

Kalau mau mudah, lanjut Saleh, semua pihak harus melakukan pemetaan terhadap aspek-aspek pemilu yang perlu diubah. Sebelum membahas UU, pemetaan tersebut telah selesai dan dipahami semua pihak.

"Karena ini dari Presiden, paling tidak persetujuan akan perubahan itu telah didapat 50 persen. Tinggal menunggu persetujuan partai-partai di DPR. Itu juga mungkin tidak sulit sebab hampir semua parpol ada bersama koalisi pemerintah," katanya.

Saleh menambahkan, "Yang jelas PAN akan ikut mengkaji dan melakukan simulasi. PAN juga tidak mau cost politics menjadi sangat tinggi dengan sistem yang ada saat ini. Tidak sehat dalam menjaga kualitas demokrasi."

PDIP Ingin Kedaulatan di Tangan Rakyat 

Sementara itu, PDI Perjuangan (PDIP) tidak mau terburu-buru menyikapi keinginan Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah dipilih oleh DPRD. PDIP menegaskan akan lebih dulu melakukan kajian mendalam atas wacana tersebut.

"Soal pemilu dipilih DPRD, saya kira kami di PDI Perjuangan tidak akan terburu-buru," ujar Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat malam (13/12/2024).

"Nanti kita periksa apakah memang usulan dari Presiden itu betul-betul bisa dilaksanakan dan mau dilaksanakan atau tidak," imbuhnya.

Deddy menuturkan, pada prinsipnya PDIP menginginkan pemilihan umum digelar secara langsung, di mana kedaulatan diserahkan kepada rakyat.

"Tapi pada prinsipnya kami tetap ingin pemilu langsung dan kedaulatan di tangan rakyat. One man, one vote," ucap Deddy.

Terkait dalih pilkada berbiaya tinggi yang melatarbelakangi wacana kepala daerah dipilih DPRD, menurut Deddy, tidak akan terjadi apabila partai politik memiliki basis dukungan di akar rumput yang kuat.

Anggota Komisi II DPR ini menilai, politik berbiaya tinggi terjadi karena ada pihak-pihak yang serakah mencari kekuasaan.

"Karena yang menaburkan uang itu kan memang dari elite politik sendiri, kan gitu. Partai-partai membangun basis dukungan di bawah pasti tidak perlu uang besar-besar, kan begitu logikanya," kata Deddy.

Deddy mengatakan masih banyak cara lainnya untuk menurunkan tingginya biaya pilkada. Tinggal keseriusan pemerintah, mau atau tidak membuat pesta demokrasi berjalan jujur, adil dan sportif. Tidak ugal-ugalan seperti yang terjadi belakangan ini, kata Deddy.

Di sisi lain, menurutnya, PDIP akan melakukan kajian mendalam apabila revisi Undang-Undang Pilkada digulirkan.

"Bahkan kita sendiri sedang melakukan kajian terhadap pilkada asimetris, di mana daerah-daerah yang memang dengan seluruh indikator-indikatornya siap melaksanakan pemilu langsung. Misalnya, itu kan ada berbagai kajian, teori yang bisa dipakai untuk menentukan itu," pungkasnya.

5 dari 6 halaman

Prabowo Soroti Ongkos Pilkada yang Sangat Mahal

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto ingin adanya perubahan sistem politik dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurutnya, dengan sistem ini bisa menghemat uang negara.

Hal ini disampaikan Prabowo Subianto saat pidato dalam HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Jawa Barat, Kamis malam (12/12/2024). Turut hadir sejumlah ketua umum partai politik, termasuk Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP Puan Maharani.

"Ketua Umum Partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol. Apalagi ada Mbak Puan, kawan-kawan dari PDIP. Kawan-kawan partai-partai lain mari kita berpikir," kata Prabowo saat pidato.

Prabowo menilai, dengan sistem yang berjalan sekarang anggaran negara terkuras puluhan triliun.

"Apa sistem ini? Berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing, ya kan," ujar Prabowo.

Prabowo mencontohkan Malaysia, Singapura, India yang lebih efisien memakai anggaran lantaran hanya memilih anggota DPRD. Sedangkan DPRD itu nantinya memilih calon kepala daerah.

"Sekali milih anggota DPRD, DPRD itulah yang milih gubernur milih bupati. Efisien, enggak keluar duit, efisien, kayak kita kaya," ucapnya.

Prabowo menilai, jika ini diterapkan di Indonesia, maka anggaran negara bisa untuk memberi makan anak-anak, memperbaiki sekolah, hingga irigasi.

Prabowo lantas mengajak para ketua umum partai politik memikirkan hal ini dan segera mengambil keputusan.

"Ini sebetulnya banyak ketua umum ini. Sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga, bagaimana?" ucapnya disambut riuh hadirin.

"Kalau saya, jangan terlalu dengarkan konsultan-konsultan asing. Sekali lagi saya tidak mau mengajak, kita anti orang asing, tidak, tapi belum tentu mereka mikirin kita kok," pungkasnya.

Demokratis Tak Harus Pemilihan Langsung

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan wacana kepala daerah dipilih DPRD. Dia menyampaikan Pilkada 2024 memang harus dipilih dengan demokratis, namun tak harus dilakukan secara langsung.

"Saya rasa itu wacana yang baik yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, pemilihan kepala daerah di undang-undang dasar maupun di undang-undang pemilu itu kan diksinya adalah dipilih secara demokratis. Dipilih secara demokratis itu kan tidak berarti harus semuanya pilkada langsung," kata Supratman di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (13/11/2024).

Selain itu, kata dia, mekanisme penyelenggaraan Pilkada juga menimbulkan gejolak di masyarakat. Dia mengungkapkan adanya inefisiensi Pilkada di mana uang negara habis, namun hasilnya tidak maksimal.

"Yang kedua, juga menyangkut soal efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada. Belum lagi aspek sosial, kemudian kerawanan. Dan saya pikir ini menjadi wacana yang patut dipertimbangkan," ujarnya.

Supratman menuturkan wacana tersebut sudah bergulir dari pemerintahan Presiden ketujuh RI, Joko Widodo atau Jokowi dan dipertimbangkan oleh partai-partai politik. Dia menyampaikan wacana tersebut kembali bergulir karena Pilkada Serentak 2024 baru saja selesai.

Menurut dia, Prabowo juga menyambut baik wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Supratman menilai wacana tersebut patut dipertimbangkan sebagai upaya memperbaiki demokrasi di Indonesia.

"Sesungguhnya usulan ini sudah lama dibicarakan di tingkat partai politik ya. Dan hari ini saya melihat trennya positif sambutan dari masyarakat. Saya berharap ini akan terus bergulir untuk kita mencari sebuah pola demokrasi memang yang sesuai dengan pendiri bangsa," tuturnya.

Kendati begitu, Supratman menekankan wacana tersebut belum diputuskan. Dia mengatakan pemerintah akan mengkaji wacana tersebut secara mendalam.

"Nah karena itu beri kesempatan kepada pemerintah dan termasuk kepada partai-partai politik untuk melakukan kajian dan ini saya pikirkan masih lama. Pilkada kita maupun pemilu kita di tahun 2029. Masih panjang ya," pungkas Supratman.

6 dari 6 halaman

Infografis Plus Minus Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD

Video Terkini