Liputan6.com, Jakarta - Pernyataan Menko Hukum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Isa Mahendra dalam acara Rakernas PERADI yang berlangsung di Bali baru-baru ini menimbulkan polemik baru diantara para advokat dan praktisi hukum. Pada kesempatan itu Menko Yusril menyatakan bahwa PERADI adalah Organisasi Advokat tunggal sedangkan yang lainnya adalah ormas.
Hal ini memicu perdebatan dan protes dari banyak praktisi hukum dan advokat pada organisasi yang lain.
Baca Juga
Direktur Eksekutif AWAL INSTITUTE Alexander Waas memberikan pandangan bahwa satu-satunya cara menghentikan polemik mengenai Single Bar atau Multi Bar ialah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Advokat karena melihat situasi pada saat ini. Hal tersebut dirasakan perlu dan semakin mendesak.
Advertisement
Dia menilai, perubahan dalam undang-undang ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa kedudukan organisasi advokat sebagai organ negara harus jelas dan tidak multitafsir apalagi opini belaka, kemudian bagaimana menyatukan perbedaan pandangan dari banyak organisasi yang ada saat ini.
“Revisi Undang-Undang diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas, demi kepentingan masyarakat dan juga advokat itu sendiri. Saya mengimbau para pemangku kepentingan, senior-senior agar lebih bijaksana, guyub rukun duduk bersama untuk memecahkan persoalan ini,” kata dia dalam keterangannya.
“Munculnya banyak organisasi pada saat ini kan akibat dari segudang persoalan yang belum tuntas, mulai dari perbedaan penafsiran hukum, politik organisasi, kepentingan segelintir atau sekelompok orang tertentu,” imbuh Alexander.
Usulan yang perlu dikaji dalam revisi UU Advokat adalah peningkatan standar kompetensi advokat sejak pendidikan, ujian dan pengangkatan juga pendidikan lanjutan dan uji kompetensi berkala.
Selain itu, usia minimal dan maksimal pengangkatan Advokat pun perlu diperhatikan. Tujuannya adalah memastikan bahwa setiap advokat memiliki kemampuan dan pengetahuan terkini untuk memberikan pelayanan hukum yang berkualitas serta mengeliminasi sumber daya yang tidak layak.
Kemudian, lanjut Alexnder, pembentukan dewan etik profesi advokat yang terintegrasi, independen dan representatif juga harus diperhatikan. Dewan ini diharapkan dapat mengawasi praktik yang dilakukan oleh para advokat, memberikan sanksi etik kepada oknum advokat nakal dan juga perlindungan hukum bagi advokat yang menjalankan tugas profesi secara benar.
"Sehingga tidak ada lagi oknum advokat nakal 'kutu loncat' yang dipecat pada organisasi satu lalu pindah ke organisasi lainnya," ujarnya.
Hal ini karena praktik kriminalisasi dan intimidasi terhadap profesi advokat juga marak ditemui. Di mana hak imunitas terhadap profesi advokat tidak betul-betul dilaksanakan oleh aparat penegak hukum lainnya, padahal UU No 18/2003 tentang Advokat telah sangat jelas mengatur hal tersebut.
Berkontribusi Aktif Penyusunan RUU Advokat
Alexander sebagai seorang advokat dan bagian dari komunitas hukum di Indonesia, mendorong semua pihak terkait untuk berkontribusi aktif dalam proses pembahasan dan penyusunan revisi Undang-Undang Advokat ini. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga legislatif, institusi pendidikan hukum, dan organisasi advokat diperlukan untuk menciptakan regulasi yang komprehensif dan responsif.
"Revisi undang-undang harus memperkuat integritas profesi advokat dan memastikan bahwa marwah profesi advokat tetap terjaga sebagai penegak hukum yang setara dengan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman," pungkasnya.
Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia dan menjadikan profesi advokat sebagai pilar penting dalam perlindungan hukum serta keadilan sosial di negeri ini.
Advertisement