Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto memberikan kesempatan kepada para koruptor untuk bertobat dan mengembalikan uang rakyat yang telah dicuri. Prabowo mengatakan, dirinya akan memaafkan para koruptor apabila mereka mengembalikan uang rakyat.
"Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi apa istilahnya tuh memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong," kata Prabowo saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar Mesir, dilihat di Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (19/12/2024).
Baca Juga
"Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya enggak ketahuan, mengembalikan lho ya, tapi kembalikan," ujarnya.
Advertisement
Selain itu, Prabowo juga meminta pihak-pihak yang telah menerima fasilitas dari negara untuk membayar kewajibannya. Dia berjanji tak akan mengungkit masalah ini apabila mereka taat hukum dan kewajiban.
"Kemudian hai kalian-kalian yang sudah menerima fasilitas dari bangsa dan negara, bayarlah kewajibanmu. Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah kita menghadap masa depan. Kita tidak ungkit-ungkit yang dulu," ujar Prabowo Subianto.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mempertanyakan efektifitas pernyataan Prabowo. Ia mengatakan korupsi sekarang dilakukan dengan cara-cara cerdas. Bahkan yang disidangkan saja, kata dia, masih mengaku tidak korupsi.
"Nah, bagaimana caranya kemudian koruptor seakan-akan diambil hatinya supaya mengembalikan uang yang dicuri. Itu kan gak mungkin rasanya mereka akan mengaku dan menyerahkan kepada pemerintah sesuai anjuran Pak Prabowo. Wong diproses hukum saja, mereka masih mangkir," kata Boyamin kepada Liputan6.com, Jumat (20/12/2024).
Ia menjelaskan, secara hukum, gagasan Prabowo memang memungkinkan. Namun, pelaksanaannya bakal sulit.
"Saya tidak pada posisi mendukung atau menolak, tapi sebagai upaya itu boleh, karena memang kita harus maju ke depan kalau memang ada yang bertobat dan kembalikan uangnya diampuni, boleh, gak masalah, itu kan strategi mengembalikan uang yang telah dicuri. Karena kalau nanti disidangkan, belum tentu uang pengganti maksimal, malah kita kehabisan biaya untuk menangani perkara pemberantasan korupsi dan penegakan hukumnya," tambah Boyamin.
Ia melanjutkan, pasal 4 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi dengan tegas mengatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Tapi, Presiden melalui Kejaksaan bisa tidak meneruskan penuntutan.
"Itu kan punya diskresi istilah pemerintah, kalau Kejaksaan Agung deponering masih dimungkinkan itu. Kalau diketahui mereka melakukan korupsi dengan niat jahatnya sudah kelihatan dengan mens reanya, istilahnya begitu, tidak diampuni, tapi kalau mereka hanya kesalahanan prosedur atau apapun berkaitan dengan keperdataan, sebenarnya susah, pasal itu ada orang korupsi itu pasti ada niat jahatnya. Tapi, masih ada beberapa kasus kemudian dinyatakan perbuatan perdata. Artinya dikembalikan barangnya," ucap Boyamin.
Ide Prabowo Patut Dicoba
Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap menilai tidak ada yang salah dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto, karena ini merupakan suatu ide.
Menurutnya, dengan kebuntuan pemberantasan korupsi saat ini, ide seperti adanya kemungkinan Amnesty asal mengembalikan uang yang dikorupsi serta adanya penalti tentu patut dicoba sebagai terobosan. Apalagi korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Tentu ide ini akan aplikasi dengan syarat dan ketentuan berlaku. Misal harus jujur, mengakui perbuatannya, membongkar modus korupsi yang lebih besar dan yang terpenting bukan pelaku utama.
"Fakta pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini memang menyedihkan, KPK juga mengalami pelemahan walau di sisi lain Kejaksaan meraih prestasi bagus dan kepolisian mempunyai lembaga kortas," kata Yudi kepada Liputan6.com, Jumat (20/12/2024).
Di bidang penindakan koruptor, kata dia, saat ini kita bisa melihat bagaimana hukuman koruptor yang ringan, itu pun mendapat remisi dan pembebasan bersyarat. Sehingga penjara mereka hanya sebentar.
"Sementara mereka tidak bisa dimiskinkan karena belum ada UU Perampasan aset. Sehingga keluar dari penjara, mereka tetap kaya."
Sementara di bidang pencegahan, reformasi birokrasi, digitalisasi, dan perbaikan sistem terhambat dengan rendahnya integritas aparat yang masih tetap melakukan korupsi.
Harus Dibuat Payung Hukumnya
"Ide Presiden ini tentu akan banyak pro dan kontra, apalagi saat ini masih ada aturan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pemidanaan. Sehingga tentu jika ide tersebut ingin diaplikasikan, maka harus dibuat aturan baik hukum maupun teknisnya. Termasuk juga pasca amnesty jika masih melakukan korupsi, maka hukumannya harus sangat berat," tambahnya.
"Tentu mitigasi risiko juga perlu dilakukan seperti misal kejujuran koruptor ketika mengakui melakukan korupsi agar jangan sampai korupsi 5 kali, hanya ngaku 2 kali atau korupsi Rp10 miliar, hanya ngaku Rp3 miliar. Termasuk juga bagaimana pengklasifikasikan, koruptor kecil, sedang atau besar."
Terakhir, kata Yudi, untuk merumuskan ini diperlukan pemikiran dan pembahasan mendalam agar bisa komprensif bagaimana idealnya pelaksanaannya.
Advertisement
Sebaiknya Dorong RUU Perampasan Aset
Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan ketimbang berwacana untuk memaafkan koruptor, Presiden Prabowo sebaiknya fokus untuk mendorong percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset sebagaimana telah tertuang dalam dokumen astacita terkait komitmen untuk memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Langkah konkret yang bisa dilakukan Prabowo adalah segera mengirimkan Surat Presiden (Surpres) untuk menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas utama untuk segera dibahas di DPR," kata Agus kepada Liputan6.com, Jumat (20/12/2024).
Selain itu, ketika RUU ini disahkan juga dapat memulihkan aset negara untuk kemudian dimanfaatkan dalam mendukung percepatan sejumlah program prioritas pemerintah.
Sementara Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan jika pemberantasan korupsi mau dikonkretkan, maka RUU Perampasan Aset harus didorong.
"Tapi sayangnya itu tidak masuk prolegnas. Jadi, komitmen ini bertolak belakang dan saya tidak tahu apakah presiden tahu prioritas dari UU kita tahun depan. Karena kalau statement beliau tersebut seiring dengan perampasan aset, maka undang-undang itu seharusnya masuk ke dalam prolegnas," kata Charles kepada Liputan6.com, Jumat (20/12/2024).
Jadi, kata dia, mudah-mudahan ini menjadi pengingat untuk jajaran di bawah Prabowo. "Karena biasanya kan presiden itu perintahnya politik yang umum, tapi menurut saya untuk bangsa itu harus konkret."
Sehingga implementasi dan arahan yang mengatakan akan menindak tegas, yang tidak mengaku akan dikejar secara normatif, satu-satunya jalan adalah UU Perampasan Aset.
Penjelasan Partai Gerindra
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memberi kesempatan bagi para koruptor untuk bertobat bila mengembalikan hasil curiannya itu merupakan bentuk asset recovery.
"Soal pernyataan Pak Prabowo saya baru belum baca detail, tapi kalau yang dimaksud beliau pastinya ini nih, pastinya terkait dengan asset recovery," kata Habiburokhman kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (19/12).
Menurutnya, tujuan utama pemberantasan korupsi yakni memaksimalkan pengembalian kerugian keuangan negara atau asset recovery. Kemudian, dirinya menyinggung kinerja KPK dulu yang kerap melakukan OTT tetapi tak maksimal dalam melakukan asset recovery.
"Nah itu yang selama ini menjadi misteri, dulu ya KPK dipuji-puji memang, karena banyak mengungkap melakukan OTT, tapi kritikannya banyak. Bahwa dari OTT-OTT tersebut barang buktinya kok cuma sedikit-sedikit katanya kan, cuma Rp50 juta, cuma Rp100 juta, asset recovery-nya seperti apa?," jelasnya.
Dirinya menilai, pernyataan Prabowo soal asset recovery itu disampaikan dalam gaya bahasa populer agar mudah dipahami masyarakat. Ia pun menegaskan, pernyataan itu bukan ditujukan untuk membebaskan para koruptor.
"Itu yang disampaikan Pak Prabowo, Pak Prabowo bicara dengan gaya pop ya kan mungkin kita akan bukan dalam konteks akan membebaskan, tentu saja mereka akan sangat paham," ujarnya.
Ketua Komisi III DPR ini menyebut, aparat penegak hukum telah memahami bilamana ada pihak yang terlibat kasus korupsi dan mengembalikan hasil kejahatannya akan menjadi pertimbangan meringankan dalam pemberian hukuman.
"Itu hal yang sangat teoretis sekali dalam ilmu hukum pidana. Jadi jangan dipelintir, jangan diframing dengan jahat bahwa Pak Prabowo akan membebaskan koruptor. Enggak mungkin lah itu ya," pungkasnya.
Advertisement
Bagian Rencana Amnesti dan Abolisi
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra merespon pernyataan Presiden Prabowo Subianto, yang akan memaafkan koruptor jika mengembalikan uang hasil korupsi.
Menurutnya, hal itu merupakan salah satu strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara atau asset recovery, dan sejalan dengan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi.
"Apa yang dikemukakan Presiden itu sejalan dengan pengaturan UN Convention Againts Corruption yang sudah kita ratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan Konvensi tersebut, Namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya,” tutur Yusril dalam keterangannya, Kamis (19/12/2024).
"Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara," sambungnya.
Prabowo sendiri menyatakan, orang yang diduga dan disangka melakukan korupsi, serta telah divonis karena terbukti melakukan rasuah dapat dimaafkan, jika mereka dengan sadar mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya.
Yusril menilai, pernyataan Prabowo itu menjadi gambaran dari perubahan filosofi penghukuman dalam penerapan KUHP Nasional, yang akan diberlakukan awal tahun 2026 yang akan datang.
"Penghukuman bukan lagi menekankan balas dendam dan efek jera kepada pelaku, tetapi menekankan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi haruslah membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi bangsa dan negara, bukan hanya menekankan pada penghukuman kepada para pelakunya,“ jelas dia.
"Kalau hanya para pelakunya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kalau uang hasil korupsi mereka kembalikan, pelakunya dimaafkan, uang tersebut masuk ke APBN untuk mensejahterakan rakyat,” lanjutnya.
Terhadap pelaku korupsi di dunia usaha misalnya, kata Yusril, dipersilahkan meneruskan usahanya dengan cara yang benar dan tidak mengulangi praktek rasuah lagi. Dengan begitu, usaha yang digeluti tidak tutup ataupun bangkrut.
Negara pun mendapatkan manfaat dengan tetap menerima pajak, tenaga kerja yang tidak menganggur, serta pabrik yang tidak menjadi besi tua.
Penegakan hukum dalam menangani korupsi menurutnya harus dikaitkan dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan bertujuan hanya untuk memenjarakan pelaku.
Yusril mengatakan, Prabowo sebagai kepala negara dan pemerintahan memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apapun, termasuk tindak pidana korupsi. Sebagaimana amanat konstitusi, bahwa sebelum memberikan amnesti dan abolisi, presiden pun akan meminta pertimbangan DPR.
Para menteri juga siap memberikan penjelasan ke DPR, jika nanti Presiden telah mengirim surat meminta pertimbangan.
"Presiden mempunyai beberapa kewenangan terkait dengan apa yang beliau ucapkan di Mesir, terkait penanganan kasus-kasus korupsi, yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara," ungkap Yusril.
Adapun Kementerian Koordinator Kumham Imipas sejak sebulan yang lalu telah mengoordinasikan rencana pemberian amnesti dan abolisi, termasuk terhadap kasus-kasus korupsi.
Langkah itu merupakan bagian dari rencana pemberian amenesti kepada total 44 ribu narapidana yang sebagian besar merupakan narapidana kasus narkoba.
Sementara itu, khusus untuk narapidana kasus korupsi, ada beberapa syarat yang sedang dibahas.
"Hal-hal yang sedang dikoordinasikan itu antara lain terkait dengan perhitungan berapa besar pengembalian kerugian negara yang diduga atau telah terbukti dikorupsi, termasuk pula pengaturan teknis pelaksanaan dalam pemberian amnesti dan abolisi tersebut. Ini perlu koordinasi yang sungguh-sungguh,“ Yusril menandaskan.