Sukses

Kenaikan HJE Dinilai Tak Efektif Tekan Konsumsi Rokok

Meski HJE mengalami kenaikan, namun tidak dibarengi dengan kenaikan tarif cukai.

Liputan6.com, Jakarta - Center of Human Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) menggelar diskusi terkait Harga Jual Eceran (HJE) rokok.

Dengan tema "Kebijakan HJE Rokok 2025: Dilematisasi Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia", diskusi ini mengupas tantangan yang dihadapi dalam upaya pengendalian konsumsi rokok.

Dalam diskusi tersebut, para ahli menyoroti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024, yang menetapkan batasan HJE dan tarif cukai hasil tembakau. Meski HJE mengalami kenaikan, namun tidak dibarengi dengan kenaikan tarif cukai. Kondisi ini, menurut para pakar, dikhawatirkan tidak mampu secara efektif menekan konsumsi rokok di masyarakat.

Salah satu isu utama yang diangkat adalah potensi munculnya efek negatif seperti down trading, di mana konsumen beralih ke produk rokok yang lebih murah. Selain itu, maraknya peredaran rokok ilegal juga menjadi ancaman serius yang dapat mengurangi efektivitas kebijakan ini.

Sudibyo Markus selaku Advisor Indonesia Institute for Social Development (IISD) menyoroti pentingnya pengendalian konsumsi rokok dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs).

"Tembakau bukanlah komoditas unggulan perkebunan, melainkan tanaman semusim yang telah menjadi tradisi turun-temurun. Dalam sistem usaha yang monopsoni, petani tembakau selalu berada di posisi yang paling dirugikan karena seluruh rantai usaha tani sepenuhnya bergantung pada industri, khususnya tengkulak dan bandol yang menjadi perpanjangan tangan industri tembakau," ujar Sudibyo Markus.

"Situasi ini menciptakan paradoks di seluruh mata rantai industri produk tembakau, baik pada tingkat makro, meso, maupun mikro. Di tingkat makro, pemerintah yang sedang memacu kualitas SDM menuju Indonesia Emas 2045 justru tidak konsisten dalam kebijakan fiskalnya dengan membatalkan kenaikan cukai produk tembakau pada tahun 2025."

Pada tingkat meso, di tengah menurunnya daya beli masyarakat dan kelas menengah akibat beban utang pemerintah, alih-alih menerapkan strategi fiskal dan non-fiskal yang komprehensif, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan PMK No. 97 Tahun 2024 yang hanya mengatur harga jual rokok secara eceran," tambah Sudibyo.

"Di tingkat mikro, klaim industri tembakau sebagai 'soko guru' perekonomian nasional terasa ironis, karena mereka terus mengeksploitasi petani tembakau yang selalu dirugikan. Lebih jauh, dengan inovasi produk seperti rokok generasi baru dan pave, posisi rokok tradisional, yang menjadi tumpuan utama petani, semakin terpinggirkan," pungkasnya.

Mukhaer Pakkanna selalu Senior advisor CHED ITB-AD menganalisis kebijakan HJE ini adalah kebijakan yang setengah hati dalam menekan prevalensi perokok, khususnya di kalangan masyarakat miskin dan remaja.

"Sayangnya, kebijakan ini tidak menyentuh Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang selama ini menjadi instrumen strategis dalam pengendalian konsumsi rokok. Lebih ironis lagi, penetapan HJE tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya pro-kesehatan. Tarif dan harga rokok yang diproduksi massal melalui mesin tetap rendah dibandingkan dengan rokok manual, sehingga membuka peluang bagi beredarnya rokok murah yang terjangkau oleh masyarakat bawah," tambah Mukhaer.

Ia menegaskan bahwa dengan pendekatan seperti ini, tujuan untuk menekan prevalensi perokok akan sulit tercapai. "Kebijakan ini lebih menguntungkan industri rokok besar ketimbang menjadi solusi bagi masalah kesehatan masyarakat. Jika pemerintah ingin serius, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dan konsisten dalam melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari bahaya rokok," pungkasnya.

Roosita Meilani Dewi (Direktur CHED ITB Ahmad Dahlan Jakarta) menjelaskan perspektif mikro ekonomi dalam pengendalian tembakau dan menghitung harga transaksi pasar kesehatan masyarakat.

“Bagi Pengendalian kenaikan HJE cukup penting untuk menaikkan Harga transaksi pasar, sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat rentan yaitu masyarakat miskin dan remaja. Kenaikan Harga Jual Eceran rokok tahun 2025 yang diatur dalam PMK 97 tahun 2024, diperkirakan tidak mampu menekan konsumsi. Karena Rokok jenis SKM dan SPM yang memiliki pangsa pasar tertinggi hanya naik 5-7%, sedangkan SKT yang masih memiliki pangsa pasar rendah justru naik 18,6%. Padahal fakta lapangan menunjukkan bahwa rokok dengan jenis SKM dan SPM banyak dikonsumsi remaja dan perokok pemula" tegasnya.

Lily S. Sulistyowati selalu perwakilan Vital Strategies menekankan urgensi pengendalian konsumsi rokok melalui kenaikan harga rokok dengan penyesuaian pajak dan harga jual eceran (HJE), selain dapat mengurangi daya beli dan konsumsi rokok, juga penting untuk kesehatan masyarakat.

"Langkah ini tidak hanya bertujuan menurunkan prevalensi perokok, tetapi juga memperkuat perlindungan terhadap kalangan masyarakat prasejahtera dan kelompok rentan, termasuk anak-anak, serta mempromosikan gaya hidup sehat di masyarakat. Selain itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong alokasi pengeluaran ke kebutuhan yang lebih mendukung kesehatan dan kesejahteraan, sekaligus mengurangi beban kesehatan masyarakat akibat penyakit terkait rokok," jelas Lily.

Lily juga menekankan bahwa pendapatan negara dari sektor cukai dapat dimanfaatkan untuk mendanai program kesehatan, seperti kampanye edukasi bahaya merokok, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), pengendalian iklan rokok, hingga upaya prioritas lainnya seperti percepatan penurunan stunting, peningkatan vaksinasi dan imunisasi, serta peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak.

"Melalui strategi ini, kita dapat mempercepat penanganan penyakit terkait rokok, seperti kanker, TB, dan penyakit paru lainnya, serta meningkatkan kualitas fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia," pungkasnya.

Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah menyatakan sikap mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok yang komprehensif.

"MPKU PP Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk melarang penjualan rokok secara eceran, meningkatkan cukai hingga harga rokok sebanding dengan negara-negara tetangga, dan memperketat regulasi rokok konvensional maupun elektronik. Selain itu, edukasi dan kampanye bahaya rokok harus diperluas untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda. Muhammadiyah siap berkontribusi dalam upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif demi mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas dari korban rokok," terang Emma Rachmawati selaku Wakil Ketua MPKU PP Muhammadiyah.

“Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) mengapresiasi kenaikan HJE rokok sebagai langkah maju dalam pengendalian tembakau, namun menyayangkan tidak adanya kenaikan cukai rokok. IPM mendorong pemerintah melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan ini, mengingat potensi peningkatan rokok ilegal. IPM berkomitmen aktif dalam pengendalian tembakau melalui edukasi sebaya dan mendesak pemerintah untuk lebih tegas dalam pengawasan rokok ilegal, pelarangan sponsor rokok di media sosial, dan penegakan hukum terkait pelanggaran dalam pengendalian tembakau. IPM juga mengusulkan peningkatan alokasi anggaran untuk pengendalian tembakau agar isu ini mendapat perhatian serius dari pemerintah. IPM berharap pemerintah baru tetap berkomitmen pada isu pengendalian tembakau dan bersinergi dengan berbagai pihak untuk mewujudkan generasi muda yang sehat dan bebas rokok,” jelas Affan Fitrahman Youth Ambassador Tobacco Control Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

 

2 dari 2 halaman

Perlu Diikuti Kebijakan Lain yang Lebih Komprehensif

Diskusi ini menegaskan bahwa pengendalian konsumsi rokok merupakan agenda penting yang harus terus didukung oleh semua pihak. Kenaikan HJE rokok merupakan langkah awal yang baik, namun perlu diikuti dengan kebijakan lain yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Pemerintah diminta untuk meningkatkan tarif cukai rokok secara signifikan, melakukan penyederhanaan golongan tarif cuki, memperkuat penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal, dan memperluas cakupan program kesehatan masyarakat.

 

Video Terkini