Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama (Dirut) PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta divonis hukuman pidana 8 tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022.
Dalam putusannya, Hakim juga memerintahkan Suparta untuk membayar kerugian negara sebesar Rp4.571.438.592.562,56 atau Rp4,57 triliun dalam jangka waktu satu bulan.
Baca Juga
Menanggapi putusan tersebut, tim penasihat hukum Suparta, Andi Ahmad mengungkapkan keberatan terkait ganti rugi yang harus ditanggung kliennya.
Advertisement
Mereka menilai perlu pertimbangan lebih lanjut, mengingat untuk menghasilkan bijih timah juga membutuhkan biaya eksplorasi maupun pengolahan.
"Hasilnya itu adalah biji timah. Tidak mungkin biji timah keluar langsung dari perut bumi tanpa ada biaya operasional. Yang menikmati hasilnya kan PT Timah, bukan hanya klien kami," ujarnya usai sidang, Senin (23/12/2024).
Andi menegaskan, diperlukan vonis yang adil dalam kasus dugaan korupsi timah ini, termasuk menyangkut denda dan kewajiban uang pengganti. Apalagi, menurut dia, Suparta bekerja sebagai dirut di perusahaan dengan IUP yang resmi, bukan penambang ilegal.
“Namun yang pasti ada satu poin yang kami tangkap bahwa PT RBT bukanlah penambang ilegal,” ucapnya.
Belum Tentukan Sikap
Adapun, terkait penyitaan harta, tim pengacara juga menyebutkan bahwa sebagian besar harta yang dipermasalahkan telah dimiliki Suparta sebelum periode perkara dimulai pada 2015.
"Kami perlu membaca pertimbangannya lebih lanjut. Ada aset yang sudah diperoleh sejak 2010 dan 2012. Ini harus kami kaji," tambahnya.
Penasihat hukum dan Suparta belum menentukan sikap terkait putusan tersebut. Mereka memiliki tenggat waktu tujuh hari untuk memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak.
"Kami belum menerima salinan putusan. Setelah ini, kami akan berdiskusi untuk menentukan langkah hukum selanjutnya," ujar Andi.
Advertisement