Sukses

Kata Prabowo soal Banyak Kritik Kenaikan PPN 12 Persen

Presiden Prabowo Subianto menanggapi santai soal banyaknya kritikan terkait kebijakan pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto menanggapi santai soal banyaknya kritikan terkait kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Prabowo menyebut kritikan tersebut merupakan hal wajar.

"Biasalah, biasa," kata Prabowo kepada wartawan di Indonesia Arena Jakarta, Sabtu (28/12/2024).

Prabowo mengatakan pemerintahannya baru berjalan dua bulan. Namun, kata dia, banyak pihak yang menggoreng dan membuat isu negatif terkait pemerintahannya..

"Tapi kita lumayan kita tadi 2 bulan 8 hari saya lihat lumayan, ada di sana-sini yang goreng-goreng ya," ujarnya.

Dia tak mau ambil pusing terkait banyaknya kritikan kepada pemerintahannya. Prabowo meyakini masyarakat dapat memilah informasi yang benar dan tidak.

"Itu sudahlah udah biasa kita ya kan. Rakyat mengerti siapa yang benar siapa yang ngarang rakyat mengerti, betul?" tutur Prabowo Subianto.

Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen merupakan upaya pemerintah dalam melindungi rakyat, khususnya masyarakat di kelas menengah ke bawah.

"Itu kan ranahnya kementerian lain. Tapi dulu saya ikut di dalam, masih saya di DPR waktu itu. Ini kebijakan yang harus diambil oleh Bapak Presiden akibat sebuah Undang-Undang, harmonisasi Peraturan Perpajakan yang dilahirkan tahun 2021," tutur Andi di Kementerian Hukum, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024).

Hasil dari Peraturan Perpajakan itu menentukan bahwa pada tanggal 2 Januari 2025 nanti PPN akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen.

"Tapi Presiden tentu tidak sekadar hanya menaikkan, tapi bagaimana kemudian untuk melindungi kelas menengahnya, kelas masyarakat yang terdampak langsung, yang kemiskinan," jelas dia.

Oleh karena itu, kata Andi, pemerintah lewat berbagai macam program maupun alokasi APBN, termasuk stimulus yang terakhir yakni memberikan ruang untuk UMKM hingga berkelanjutan ke masyarakat terdampak, terutama yang rakyat miskin.

"Tapi jangan lupa bahwa di luar itu kan sebagian besar kebutuhan pokok kita kan tidak, tidak kena PPN. Bahan pokok tidak kena PPN. Kemudian yang kedua, sekolah tidak kena PPN, kecuali sekolah-sekolah premium, sekolah-sekolah internasional mungkin. Kemudian transportasi tidak kena PPN," Andi menandaskan.

Baca juga Dampak Rencana PPN 12 Persen, Waspada PHK di Hotel Wilayah Jakarta

2 dari 2 halaman

Gerindra Bantah Salahkan PDIP Soal Kenaikan PPN 12 Persen

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani membantah pihaknya menyalahkan kritik PDIP terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen. Namun, dia mengingatkan rencana kenaikan PPN 12 persen sudah menjadi kesepakatan bersama oleh mayoritas fraksi di DPR, termasuk PDIP.

"Enggak, saya baca semuanya, saya ikutin semuanya. Cuma teman-teman Gerindra ingin mengatakan bahwa ini kan undang-undang yang juga disetujui bersama, diinisiasi bersama," kata Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (23/12/2024).

Muzani meminta semua parpol untuk tidak saling menyalahkan. Menurutnya, Presiden RI Prabowo Subianto akan menerima seluruh masukan terkait PPN 12 persen.

"Kesannya ya ini kan produk bersama, gitu loh kira-kira. Kalau mau beri pandangan ya pandangan saja gitu, kira-kira seperti itu," ujar Muzani.

Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menegaskan partainya bukan inisiator kenaikan PPN menjadi 12 persen.

Dia menjelaskan rencana kenaikan PPN 12 persen itu sebelumnya diusulkan oleh pemerintah ketika Presiden ke-7 RI Jokowi menjabat. Kemudian, Fraksi PDIP di DPR RI ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) untuk membahas rencana itu.

"Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan," kata Deddy dikutip Senin (23/12/2024).

Deddy menjelaskan, undang-undang tersebut pada saat itu disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan global sedang dalam kondisi aman.

Namun, dia menyebut kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dilihat dari daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang terus naik.

"Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya," ujar Deddy.