Sukses

Prabowo Sebut Pihak Asing Anggap Remeh Indonesia, Tak Mungkin Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Presiden Prabowo Subianto mencanangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8 persen. Namun begitu, pihak asing disebutnya menganggap remeh dan yakin hal tersebut tidak akan berhasil.

Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto mencanangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 8 persen. Namun begitu, pihak asing disebutnya menganggap remeh dan yakin hal tersebut tidak akan berhasil.

"Saya optimis, saya yakin dan kita akan bikin kaget semua pihak, pihak-pihak luar negeri. Saya malah ditantang, mereka yakin kita tidak mungkin 8 persen," tutur Prabowo dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2025-2029 di Gedung Bapennas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).

Menurut Prabowo, ada pihak asing yang memberikan tantangan dengan taruhan makan malam. Namun, dia berseloroh mesti menurunkan berat badan sehingga malah jadi pikiran jika memenangkan taruhan tersebut.

"Kalau mencapai saya akan ditraktir makan malam, saya akan pilih menu makan yang paling mahal. Tapi karena saya mau kurangi berat badan, ya gimana," kata Prabowo disambut tawa hadirin.

Presiden Prabowo mencanangkan target ambisius pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen. Target ini menjadi perhatian karena selama beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung stagnan di kisaran 5 persen.

Menanggapi target tersebut, menurut Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede, pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan hal yang mustahil untuk dicapai.

"Bukan hal mustahil. Target harus dibuat ambisius supaya kita bisa bekerja keras," kata Raden dalam acara Sarasehan 100 Ekonom INDEF, Selasa (3/12/2024).

Ia mengingatkan Indonesia pernah mencapai tingkat pertumbuhan yang serupa pada era 1986-1987, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,3 persen, bahkan mencapai 8,2-8,3 persen di beberapa tahun tersebut. Hal ini menjadi bukti historis dengan upaya maksimal, target tersebut bisa terwujud.

Menurut Raden, pencapaian target tersebut membutuhkan optimalisasi semua mesin pertumbuhan ekonomi. Investasi menjadi salah satu pendorong utama yang harus terus didorong lebih tinggi dari posisi saat ini. Untuk itu, Indonesia perlu menarik berbagai sumber pembiayaan guna melaksanakan program-program pembangunan.

Namun, ia menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga harus diiringi dengan peningkatan efisiensi investasi. Salah satu indikator yang disoroti adalah rasio Incremental Capital Output Ratio (I-Corp), yang mengukur efisiensi penggunaan modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Kita perlu menurunkan I-Corp ini di dalam rencana Bapak Presiden, yaitu dari sekitar 6,96 persen atau sebetulnya kalau dirata-ratakan sekitar 6,4 persen di tahun 2025, menjadi di kisaran 4,5 persen. Dan kalau ini kita tidak turunkan, maka kebutuhan kapital itu menjadi sangat-sangat besar sekali," jelas Raden.

Peningkatan kualitas investasi juga harus difokuskan pada sektor-sektor yang lebih produktif dan memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja. Raden menekankan pentingnya program hilirisasi dan industrialisasi yang harus berjalan beriringan.

"Program hilirisasi dan industrialisasi. Kali ini kita gabung bukan hanya hilirisasi, tetapi hilirisasi dan industrialisasi adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan," tuturnya.

2 dari 3 halaman

Gejolak Ekonomi Global Sulitkan RI Capai Target Pertumbuhan 5% di 2025

Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, mengingatkan bahwa faktor eksternal akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin terbatas, karena faktor ekspor-impor dan perekonomian global yang memburuk.

"Tensi di Timur Tengah dan ekonomi Eropa bisa membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih lambat lagi. Target pertumbuhan ekonomi 5 persen menjadi tidak relevan," ujar Huda kepada Liputan6.com di Jakarta, dikutip Rabu (25/12/2024).

Sebagai catatan, Bank Indonesia (BI) memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 4,8–5,6% pada 2025 mendatang.

Sedangkan untuk 2024 ekonomi RI diprakirakan berada dalam kisaran 4,7–5,5%. BI juga mengakui, ekspor nonmigas diperkirakan melambat dipengaruhi ekonomi global yang belum kuat.

Krisis Sejumlah Negara

Seperti diketahui, sejumlah negara di dunia tengah dihadapi krisis politik dan perdagangan yang memicu kekhawatiran pada perekonomian menjelang tahun 2025. BI memperkirakan ekonomi global akan melambat menjadi 3,1% di 2025 dari sebesar 3,2% pada 2024.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Prancis mengalami keruntuhan menyusul mosi tidak percaya yang bersejarah yang dipicu oleh perselisihan anggaran yang memaksa Perdana Menteri Michel Barnier dan anggota Kabinetnya mengundurkan diri, langkah pertama sejak 1962.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2024, Presiden Prancis Emmanuel Macron menunjuk pemimpin sentris Francois Bayrou sebagai perdana menteri baru dalam upaya mengakhiri krisis politik di negara itu.

Adapun ekonomi terbesar di Eropa, yakni Jerman yang diproyeksi akan melihat pertumbuhan tahun 2025 hanya sebesar 0,3%, menurut Goldman Sachs.

Bundesbank memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Jerman yang lebih lemah sebesar 0,2%, sementara Kiel Institute memperkirakan stagnasi total sebesar 0,0%, seperti dikutip dari Euro News, Rabu (25/12/2024).

3 dari 3 halaman

Ancaman Perdagangan Global

Tak hanya itu, sektor perdagangan juga dibayangi oleh rencana kebijakan perdagangan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump yang akan menaikkan tarif impor pada barang-barang hingga komoditas dari China, Kanada, dan Meksiko. Adapun konflik Israel-Palestina di Timur Tengah yang belum menunjukkan tanda akan mereda.

Namun, jika dilihat dampaknya pada ekonomi domestik, Nailul Huda melihat konflik di Timur Tengah tidak akan menjadi faktor utama lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Kondisi domestik Indonesia tengah memburuk. Pertama, terjadi perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tahun 2014 mencapai 5,15 persen," jelasnya.

"Sedangkan tahun 2023, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,8 persen. Padahal klaim Pemerintahan Jokowi, inflasi berada di situasi terkendali rendah. Namun konsumsi rumah tangga kita terus merosot yang menandakan masyarakat enggan mengonsumsi barang lebih banyak," imbuh Huda.