Sukses

NasDem: Tidak Terbayang Pilpres Tanpa Threshold

Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai NasDem Hermawi Taslim menyatakan bahwa ambang batas tetap diperlukan sebagai aturan mencari pemimpin yang kredibel.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermawi Taslim menyatakan bahwa ambang batas tetap diperlukan sebagai aturan mencari pemimpin yang kredibel.

"Presidential threshold diperlukan sebagai bagian dari aturan permainan sekaligus seleksi awal untuk mencari pemimpin yang kredibel. Threshold ini merupakan aturan main yang sangat biasa, lumrah dan berlaku universal," ujar Hermawi kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

Bahkan, kata Hermawi, baik dalam pemilihan-pemilihan ketua organisasi maupun pemilihan di lingkungan pemerintahan, bahkan di level yang paling rendah dalam hal ini kelurahan diperlukan threshold.

"Tidak terbayangkan bagaimana pilpres tanpa threshold, khusus bagi NKRI dengan ratusan juta rakyat, sungguh tidak terbayangkan," ucap Hermawi.

Karena itu, Hermawi menilai, putusan MK kurang memperhatikan berbagai konsekuensi yang akan membawa kerumitan dan kesulitan dalam praktiknya kelak.

"Kalau dengan alasan kesadaran politik rakyat semakin tinggi dan atau tingkat pendidikan semakin tinggi, yang relevan adalah meninjau presentasi presiden threshold, bukan menghapus sama sekali," ucap Hermawi.

"Pemilihan ketua kelas saja ada threshold-nya," pungkas Hermawi.

Setelah melalui perjalanan panjang dan menghadapi 27 kali gugatan, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk menghapus ketentuan presidential threshold 20 persen.

 

2 dari 4 halaman

PKS dan Demokrat Apresiasi Putusan MK Hapus Presidential Threshold

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.

Mardani menyebut, putusan ini membuka jalan bagi setiap partai di parlemen untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden sendiri.

"Apresiasi MK. Selaras dengan tuntutan selama ini. Semua partai yang masuk DPR bisa mencalonkan pasangan capres dan cawapres," kata Mardani kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

Namun, putusan MK itu perlu ditindaklanjuti dengan merevisi Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Mardani menilai bakal terjadi tarik-menarik kepentingan saat merevisi ambang batas dalam undang-undang itu.

Mardani mengatakan, bagi PKS ambang batas parlemen tetap ada, tapi diturunkan di bawah 20 persen.

"Tapi tentu perlu ditindak lanjuti dengan revisi UU 7 2017. Peluang terjadi kompromi atau tarik menarik kepentingan mesti dijaga. Tapi bagusnya turun tidak 20 persen," pungkasnya.

Begitu juga Partai Demokrat, yang menghormati putusan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden 20 persen. Demokrat menilai, putusan MK ini bersifat mengikat.

"Putusan MK bersifat final dan mengikat. Sikap kami selama ini selalu sama dalam menyikapi putusan MK. Kami menghormati apa pun putusan MK itu," kata Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

Herzaky meyakini, setiap putusan MK sudah melalui proses mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek, dengan mengedepankan keadilan dan kebenaran.

Dia menuturkan, Indonesia merupakan negara hukum, dan merupakan kewajiban semua untuk menghormati setiap produk hukum dari lembaga peradilan.

"Apalagi ini produk hukum dari Mahkamah Konstitusi. Lembaga tinggi negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan," ucap Herzaky.

Dia berharap, putusan MK ini bisa berkontribusi dan membantu demokrasi Indonesia semakin berkembang dan tumbuh semakin matang.

"Mendekatkan kita ke tujuan menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang menjadi komitmen kami, Demokrat, selama ini, terus berkontribusi dan berjuang bersama rakyat untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi kita," pungkasnya.

3 dari 4 halaman

MK Hapus Ketentuan Presidential Threshold

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

MK berpendapat, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut MK, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Suhartoyo.

Putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.

Dia berharap semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik akan tercipta di awal tahun 2025.

4 dari 4 halaman

Pertimbangan Hakim MK Hapus Presidential Threshold

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.

Akan Terjebak pada Calon Tunggal

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi," sebut Saldi.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com