Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto sudah membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%, terhadap semua jenis kategori barang dan jasa. Di mana hanya berlaku untuk kategori barang mewah.
Namun, sejumlah masyarakat masih mengeluhkan lantaran masih ada yang tetap dikenakan tagihan PPN 12% pada transaksi digital, meski tidak tergolong barang dan jasa mewah.
Baca Juga
Terkait hal ini, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengkritisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dinilai lamban dalam membuat aturan pelaksanaannya sehingga membuat binggung dan terkesan tak segera mengimplementasikan kebijakan Prabowo tersebut.
Advertisement
"Perintah (Presiden Prabowo) yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga aturan pelaksanaannya di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak bisa menerapkan PPN dengan multitarif," kata dia dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).
Menurut Politikus Golkar ini, Pasal 7 UU HPP tidak ada larangan soal multitarif PPN sehingga penerapan tarif PPN 11% dan PPN 12% bisa diterapkan bersamaan sekaligus. Tarif PPN 11% untuk yang tidak naik, sedangkan tarif PPN 12% hanya untuk barang dan jasa mewah.
"Namun, ketika PMK Nomor 131 Tahun 2024 Tentang Pemberlakukan PPN membuat dasar perhitungan penerapan PPN 11% yang tidak naik membingungkan dunia usaha karena menggunakan istilah dasar pengenaan lain, maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak, khususnya Dirjen Pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas," jelas dia.
Misbakhun juga menuturkan, persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.
"Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT Masa PPN, tetapi PMK itu tetap membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya," kata dia.
Â
Diminta Buat Aturan Sederhana
Misbahkhun mengatakan, sudah seharusnya Kementerian Keuangan RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.
"Apakah Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak, telah menterjemahkan intruksi Presiden dengan tepat? Tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya," jelas dia.
"Kalau Dirjen Pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo, karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat menimbulkan pelaksanaan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha," tutupnya.
Â
Advertisement
Penjelasan DJP
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak apabila sudah terlanjur melakukan pembayaran pajak dengan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12%.
Hal ini menanggapi keluhan sejumlah masyarakat yang tetap dikenakan tagihan PPN 12% pada transaksi digital, meski tidak tergolong barang dan jasa mewah.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo mengatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan skema untuk memproses pengembalian kelebihan pembayaran pajak PPN tersebut.
"Ini yang sedang kita atur transisinya. Kalau sudah kelebihan dipungut ya dikembalikan dengan caranya yang beragam. Dikembalikan kepada yang bersangkutan bisa, kalau tidak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan juga bisa," ungkap Suryo dalam Konferensi Pers di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Senada, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal juga menegaskan bahwa pihaknya memastikan hak Wajib Pajak akan dijamin sepenuhnya.
"Haknya wajib pajak tidak ada yang dikurangi. Jadi kalau memang ternyata seharusnya membayar 11% tetapi terlanjur dipungut 12% kita akan kembalikan," ujar Yon.
"Mekanisme pengembaliannya sedang kita siapkan," bebernya.
Dia juga memperkirakan, hanya sedikit Wajib Pajak yang membayar pajak dengan tarif PPN 12%. Hal ini mengingat tarif tersebut hanya dikenakan pada barang kategori mewah dan sudah diumumkan lebih awal pada 31 Desember 2024 lalu.
"Karena ini sudah diumumkan, maka hanya beberapa (kategori) tertentu saja yang sudah terlanjur memungut tarif PPN 12%," imbuhnya.
Â