Sukses

Cak Imin soal Maju Pilpres 2029 Usai Putusan MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen: Trauma Kalah

Ketum PKB Muhaimin Iskandar mengaku belum berpikir maju di Pilpres 2029 usai putusan Mahkamah Konstitusi (putusan MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (Ketum PKB) Muhaimin Iskandar mengaku belum berpikir maju di Pemilihan Presiden 2029 (Pilpres 2029) usai putusan Mahkamah Konstitusi (putusan MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin Iskandar menyebut, kekalahannya di Pilpres 2024 masih menimbulkan trauma.

"Nanti maju enggak tau, masih panjang. Trauma enggak itu. Trauma kalah. Belum tau rasain kalah sih," kata Cak Imin di Istana Kepresidenan Bogor Jawa Barat, Jumat (3/1/2025).

Dia mengatakan, Pilpres 2029 masih panjang dan lama. Cak Imin pun belum mau membahas kemungkinannya maju sebagai calon presiden 2029.

"Masih panjang, masih lama. Jangan dibahas sekarang," ucap dia.

Cak Imin pun membuka peluang PKB mengusung kader sendiri di Pilpres 2029. Terlebih, kata dia, PKB merupakan salah satu partai politik yang memiliki jumlah kursi terbanyak di parlemen.

"Pasti semua menyambut tapi kan keputusan MK bersifat mengikat (dan) final," papar Cak Imin.

Dia menuturkan tak ada yang tidak senang dengan putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Namun, Cak Imin menilai tak realistis apabila banyak calon presiden yang maju pada Pilpres 2029.

"Semua menyambut cairnya demokrasi tapi kita juga punya pengalaman kalau terlampau banyak calon, enggak realistis, buang-buang," tandas Cak Imin.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk seluruhnya.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis 2 Januari 2025.

 

2 dari 4 halaman

Kata Mahkamah Konstitusi

MK berpendapat, kata Suhartoyo, Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut MK, kata dia, Pasal 222 yang mengatur terkait persyaratan ambang batas pencalonan capres-cawapres hanya dapat dicalonkan oleh parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tegas Suhartoyo.

Sebagai informasi, putusan tersebut dibacakan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024. Diketahui, uji materi itu akhirnya dikabulkan MK setelah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima.

 

3 dari 4 halaman

Terbatasnya Hak Konstitusional

Sebelumnya, Pegiat Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini menyampaikan permohonan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Pasal 222 UU 7/2017) Perkara No.101/PUU-XXII/2024 merupakan perjuangan panjang setelah dua permohonan sebelumnya ditolak MK.

Dia berharap semoga putusan atas permohonan kali ini menjadi sejarah baik akan tercipta di awal tahun 2025.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah telah mencermati beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini didominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon.

Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi mengancam kebhinekaan Indonesia.

 

4 dari 4 halaman

Jika Dibiarkan, Bisa Muncul Calon Tunggal

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal.

Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” sebut Saldi.