Sukses

Pakar Bicara soal Kerugian Ekologis Pasca 5 Korporasi Jadi Terangka Kasus Timah

Ufran mencatat, dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga menimbulkan ketidakpastian hukum.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus dugaan korupsi timah yang melibatkan Harvey Moeis disebut merugikan negara sebesar Rp300 triliun. Namun hitungan kerugian yang dihitung pihak Kejaksaan dipertanyakan, sebab hingga akhir putusan sidang tidak ada pembuktian nyata.

“Klaim kerugian tersebut sejak awal cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya. Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu,” kata Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa dalam keterangan diterima, Senin (6/1/2025).

Ufran pun mempertanyakan, sebab jumlah kerugian itu tak dapat dibuktikan, maka saat ini lima korporasi ditetapkan sebagai tersangka yang diduga ikut berkontribusi dalam kerugian negara tersebut dengan sangkaan kerugian ekologis dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014.

“Tetapi hingga saat ini belum ada argumentasi yang kuat untuk menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. Sehingga kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi," jelas dia.

Ufran menyarankan, kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi.

Meski setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional," jelasnya.

 

2 dari 2 halaman

Ketidakpastian Hukum

Karena itu, Ufran mencatat, dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Hal ini diperparah dengan upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit,” dia menandasi.

Sebagi informasi, berikut lima korporasi yang ditetapkan tersangka oleh pihak Kejaksaan, PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

Diketahui, PT RBT dianggap membuat kerugian negara sekira Rp38,5 triliun, PT SBS sebesar Rp23,6 triliun, PT SIP senilai Rp24,3 triliun, CV VIP sekira Rp42 triliun, dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun.

Video Terkini