Liputan6.com, Jakarta: Sejumlah alumnus Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, mengecam tindak kekerasan yang dilakukan sejumlah mahasiswa STPDN hingga menimbulkan korban jiwa. Para lulusan angkatan pertama hingga ke-11 itu juga mendesak pengelola sekolah pamong praja itu mengungkap kasus tersebut secara transparan. Terutama mempertanggungjawabkannya secara hukum. Pernyataan sikap ini mengemuka dalam pertemuan Ikatan Alumni STPDN dengan mantan Menteri Dalam Negeri Rudini di Aula Institut Ilmu Pemerintahan, Jalan Ampera Raya, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (9/9) pagi [baca: Murka di Kampus STPDN].
Menurut para alumnus, kekerasan siswa senior terhadap juniornya yang mengakibatkan tewasnya Wahyu Hidayat bertentangan dengan visi dan misi sekolah yang menciptakan kader pamong praja itu. Mereka juga mendesak agar pihak STPDN menjelaskan secara kronologis kasus kematian Wahyu. Dalam kesempatan yang sama, Rudini yang juga pendiri STPDN menilai telah terjadi bias dalam pelaksanaan teknis pembentukan kader pamong praja. Padahal, mereka seharusnya mengedepankan sikap pamong dan mengayomi dalam memimpin masyarakat. Rudini menambahkan, tindak kekerasan tersebut sekaligus menunjukkan para mahasiswa senior lebih mementingkan kekuasaan tanpa peduli terhadap yang dipimpin.
Seorang alumnus STPDN, Rahman Hadi saat berdialog dengan Rosianna Silalahi di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, petang ini, turut menyesali kejadian tersebut dan menyatakan belasungkawa secara mendalam terhadap keluarga korban. Menurut Rahman, peraturan yang diterapkan di STPDN, tak ada yang mengatur soal kekerasan dan penganiayaan. "Tidak ada aturan yang menyatakan mereka [praja senior] harus mendidik dengan cara kasar," ucap Rahman. Apalagi, kejadian yang cukup mengejutkan banyak kalangan itu terjadi di luar kegiatan resmi atau pengawasan. Tepatnya, terjadi sekitar pukul 23.00 WIB pada Selasa pekan silam.
Rahman menjelaskan, sebenarnya materi pendidikan di STPDN lebih diutamakan untuk mengembangkan sumber daya manusia. Termasuk melatih kepribadian melalui asuhan praja senior terhadap adik-adik kelasnya. "Porsi pendidikan meliputi pengajaran untuk membentuk segi intelektual dan pelatihan dalam bentuk keterampilan, serta pengasuhan. Masing-masing porsi sekitar 40, 30, dan 40 persen," ungkap Rahman.
Belum jadi lurah, kok, sudah berani berbuat kekerasan? Jangan-jangan memang ada pendidikan yang mengadopsi militeristik? "Tidak ada pendidikan militer. Itu juga terjadi di luar jam pengawasan. Itu juga perlakuan dari oknum. [Sebab] tak ada aturan yang mengatakan mereka harus mendidik dengan jalur kasar. Artinya sudah terjadi pergeseran terhadap kontrol," ucap Rahman.
Lebih jauh Rahman mengungkapkan, dulu, seorang praja membimbing dan mengasuh 30 praja madya. Sekarang berbeda karena secara kuantitas jumlah mahasiswa STPDN meningkat. Makanya, Rahman tak heran bila terjadi suatu penurunan secara kuantitas dan kualitas dari para praja pengasuh atau senior. Lantaran itulah, menurut Rahman, para alumnus atau purnapraja mengusulkan agar cara pengasuhan segera diubah. "Kita juga berniat merubah segi pengasuhan. Terutama cara merekrut praja," kata Rahman. Apalagi, seleksi penerimaan mahasiswa baru STPDN telah melalui proses seleksi yang ketat, seperti psikotes dan fisik.
Kendati demikian, Rahman mengakui ada suatu proses yang terjadi di STPDN. "Bila ada tendensi pribadi atau kelompok, itu juga terjadi di mana-mana," ucap Rahman, lirih. Itulah sebabnya, Rahman mengusulkan agar seleksi penerimaan yang ketat juga diberlakukan untuk para pengajar dan pengasuh. Dan, bukan mempekerjakan para pengajar atau pendidik yang pernah mengecap pendidikan di STPDN. Dengan demikian, kualitas pendidikan dan pengajaran di STPDN tetap bisa terjaga.(ANS/Arfan Yap Bano dan Satya Pandia)
Menurut para alumnus, kekerasan siswa senior terhadap juniornya yang mengakibatkan tewasnya Wahyu Hidayat bertentangan dengan visi dan misi sekolah yang menciptakan kader pamong praja itu. Mereka juga mendesak agar pihak STPDN menjelaskan secara kronologis kasus kematian Wahyu. Dalam kesempatan yang sama, Rudini yang juga pendiri STPDN menilai telah terjadi bias dalam pelaksanaan teknis pembentukan kader pamong praja. Padahal, mereka seharusnya mengedepankan sikap pamong dan mengayomi dalam memimpin masyarakat. Rudini menambahkan, tindak kekerasan tersebut sekaligus menunjukkan para mahasiswa senior lebih mementingkan kekuasaan tanpa peduli terhadap yang dipimpin.
Seorang alumnus STPDN, Rahman Hadi saat berdialog dengan Rosianna Silalahi di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, petang ini, turut menyesali kejadian tersebut dan menyatakan belasungkawa secara mendalam terhadap keluarga korban. Menurut Rahman, peraturan yang diterapkan di STPDN, tak ada yang mengatur soal kekerasan dan penganiayaan. "Tidak ada aturan yang menyatakan mereka [praja senior] harus mendidik dengan cara kasar," ucap Rahman. Apalagi, kejadian yang cukup mengejutkan banyak kalangan itu terjadi di luar kegiatan resmi atau pengawasan. Tepatnya, terjadi sekitar pukul 23.00 WIB pada Selasa pekan silam.
Rahman menjelaskan, sebenarnya materi pendidikan di STPDN lebih diutamakan untuk mengembangkan sumber daya manusia. Termasuk melatih kepribadian melalui asuhan praja senior terhadap adik-adik kelasnya. "Porsi pendidikan meliputi pengajaran untuk membentuk segi intelektual dan pelatihan dalam bentuk keterampilan, serta pengasuhan. Masing-masing porsi sekitar 40, 30, dan 40 persen," ungkap Rahman.
Belum jadi lurah, kok, sudah berani berbuat kekerasan? Jangan-jangan memang ada pendidikan yang mengadopsi militeristik? "Tidak ada pendidikan militer. Itu juga terjadi di luar jam pengawasan. Itu juga perlakuan dari oknum. [Sebab] tak ada aturan yang mengatakan mereka harus mendidik dengan jalur kasar. Artinya sudah terjadi pergeseran terhadap kontrol," ucap Rahman.
Lebih jauh Rahman mengungkapkan, dulu, seorang praja membimbing dan mengasuh 30 praja madya. Sekarang berbeda karena secara kuantitas jumlah mahasiswa STPDN meningkat. Makanya, Rahman tak heran bila terjadi suatu penurunan secara kuantitas dan kualitas dari para praja pengasuh atau senior. Lantaran itulah, menurut Rahman, para alumnus atau purnapraja mengusulkan agar cara pengasuhan segera diubah. "Kita juga berniat merubah segi pengasuhan. Terutama cara merekrut praja," kata Rahman. Apalagi, seleksi penerimaan mahasiswa baru STPDN telah melalui proses seleksi yang ketat, seperti psikotes dan fisik.
Kendati demikian, Rahman mengakui ada suatu proses yang terjadi di STPDN. "Bila ada tendensi pribadi atau kelompok, itu juga terjadi di mana-mana," ucap Rahman, lirih. Itulah sebabnya, Rahman mengusulkan agar seleksi penerimaan yang ketat juga diberlakukan untuk para pengajar dan pengasuh. Dan, bukan mempekerjakan para pengajar atau pendidik yang pernah mengecap pendidikan di STPDN. Dengan demikian, kualitas pendidikan dan pengajaran di STPDN tetap bisa terjaga.(ANS/Arfan Yap Bano dan Satya Pandia)