Sukses

Stop Penggusuran Rumah!

Kasus pembongkaran rumah di berbagai wilayah di Indonesia acap menghiasi kolom media massa. Pemerintah terlampau kaku menerjemahkan peraturan. Kepentingan ekonomi kalangan berduit terkadang lebih menguasai.

Liputan6.com, Jakarta: "Saya lihat gubuk saya dicakar-cakar dan dirubuhkan Tramtib [petugas Ketentraman dan Ketertiban]," kata Tati, warga Tambora, Jakarta Barat. Tak banyak yang dapat dilakukan Tati untuk mempertahankan haknya. Rumah perempuan berbadan subur itu dan puluhan rumah warga lainnya dibongkar tanpa ampun. Kejam. Kecaman itulah yang muncul dari bibir para korban penggusuran. Mereka mungkin bersalah karena tak memiliki sertifikat tanah. Namun anehnya, tagihan retribusi tetap datang, setiap bulan. Ironis bukan?

Nasib Tati dan warga Tambora yang tergusur bukanlah persoalan baru. Soal penggusuran rumah di Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya cukup sering menghiasi media massa. Tapi, hingga kini, solusinya belum jua berjalan efektif. Masalah tersebut diangkat SCTV dalam Topik Minggu Ini bertajuk "Gusur Menggusur Tanah Perumahan", Rabu (10/9) malam, dengan menghadirkan pembicara Direktur Jenderal Permukiman Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah Aca Sugandi serta Ketua Masyarakat Miskin Kota (UPC) Wardah Hafidz. Staf Dinas Tramtib DKI Jornal Effendi Siahaan, Tati dan Peta Dewi, dua orang korban penggusuran juga hadir saat berdialog dengan reporter Indiarto Priyadi.

Jornal membantah penggusuran rumah dilaksanakan tanpa pemberitahuan. Dia mengaku sudah mengirim surat peringatan sebagai langkah pendahuluan. Warga yang hendak digusur biasanya diberi tempo untuk pindah dalam tiga tahap: 1X14 hari, 3X24 jam, dan 1X24 jam. Petugas juga menggelar pertemuan dengan perwakilan penduduk untuk membahas langkah antisipasi plus pembagian uang kerohiman atau ganti rugi.

"Inilah yang sering tak dimunculkan," sesal Jornal. Lumrahnya, uang kerohiman itu berkisar Rp 500 ribu untuk rumah nonpermanen dan Rp 1,1 juta untuk rumah permanen per kepala keluarga. Dalam pandangan Jornal, keberadaan Tati saat eksekusi diartikan bahwa yang bersangkutan menolak uang kerohiman. Namun, ia tak menampik kemungkinan penyaluran dana kurang merata karena pertemuan hanya dihadiri perwakilan penduduk. "Cuma denger doang ada uang kerohiman," aku Tati.

Persoalan Tati mungkin tak serumit nasib Dewi Peta. Dewi sempat mendekam di penjara gara-gara menghalangi proses eksekusi rumahnya di sebuah kawasan di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum kejadian, Dewi mengaku mendapat surat panggilan dari pengadilan setempat. Dia diminta segera meninggalkan rumah yang sudah puluhan tahun didiami dengan alasan pemilik sahnya memenangkan perkara sengketa tanah itu.

"Kita dianggap nyerobot, padahal kita beli. Lawan saya [Muis Harmonis] pada `96-an datang pake aparat," kisah Dewi. "Jika tidak mau keluar, ditimbun dengan tanah," lanjut dia, mengutip ancaman petugas. Kekasaran demikian membuat Dewi tak mampu melawan. Menurut perempuan paruh baya ini, binatang pun masih layak diberi tempat tinggal, apalagi manusia.

Aca Sugandi mengamini masalah perumahan dan pemukiman bagi masyarakat marginal atau strata bawah selalu mendapat sorotan. Dia mengakui pemerintah terlampau kaku menerjemahkan peraturan. Contoh kasus, seseorang yang mendiami tanah bukan haknya haruslah digusur. "Padahal, mereka punya hak untuk tinggal," tegas Aca. Dia menyimpulkan, "Banyak tekanan dan kepentingan ekonomi yang mempunyai kemampuan modal dan bisa membuat keputusan dan mengorbankan warga tak mampu." Jika dibiarkan, besar kemungkinan, kaum marginal terus mencari tanah kosong untuk dimanfaatkan.

Perkara kebijakan soal pemukiman sebenarnya tergantung pemerintah daerah. Sejauh ini, menurut Aca, pemda disarankan memberdayakan para warga yang bermukim di tempat kumuh. Caranya, merehabilitasi lingkungan fisik di sekitar areal perumahan. Pemda juga disarankan membuat peraturan khusus untuk kasus sengketa tanah demi pertimbangan keadilan.

Upaya lain yakni menawari warga untuk menyewa rumah susun. Alasannya, kawasan rusun lebih indah dipandang mata dan aman bagi penghuninya. Sedangkan mentransmigrasikan warga seperti yang disarankan Azwar, penelepon dari Lampung yang urun berbincang, juga bukan solusi yang mudah. "Itu semua kembali kepada will (kebijakan) pemda. Upaya pemerintah pusat percuma tanpa dukungan pemda," ujar Aca.

Wardah Hafiz pesimistis usaha tersebut bakal berjalan efektif. Menurut Wardah, pemerintah harus menyetop penggusuran dan membuat moratorium [langkah awal untuk perbaikan menyeluruh] khusus untuk mengatasi hal itu seperti di Thailand dan Filipina. Sayang, Wardah tak sempat merinci contoh kasus yang diajukan.

Bagi Wardah, kehadiran petugas Tramtib pun justru membuat warga semakin tak nyaman. "Jangan merasa berpihak pada hukum, uang berkuasa di tangan penguasa dan preman," tandas perempuan berambut cepak itu. Wardah sepakat dengan usulan Dodi, penelepon dari Jakarta, yang meminta agar rumah elite di atas kawasan kanal banjir-lah misalnya, yang digusur.

Usulan tersebut ditentang Aca. "Kita tak bisa frontal mengkonflikkan antara kalangan bawah dan atas. Yang penting kemitraan," kata Aca, berasumsi. Kendati begitu, Aca menyepakati usulan Wardah membangun lokasi penampungan sementara bagi para korban penggusuran. "Agar mereka tak menjadi seperti binatang," sambung Wardah, mengakhiri perbincangan.(KEN)
    Produksi Liputan6.com