Sukses

Jual Ginjal Demi Ijazah Anak, Sugiyanto `Dagang` di Bundaran HI

Sugiyanto rela menjual ginjalnya demi menebus ijazah SMP dan SMA anaknya, Sarah Melanda Ayu (19), di Bundaran HI.

Sugiyanto rela menjual ginjalnya demi menebus ijazah SMP dan SMA anaknya, Sarah Melanda Ayu (19). Sejak pukul 10.20 WIB, pria berusia 45 tahun itu mulai menjajakan ginjalnya di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2013).

Sugiyanto bersama Ayu 'berjualan' dengan membawa satu poster bertuliskan "Kepada Saudara yg Butuh Ginjal Kami Siap Jual. Tubuh Kami Siap Dibelah Demi Untuk Menebus Ijazah".

Sugiyanto juga berorasi sambil menawarkan diri ke mobil-mobil yang berhenti karena lampu merah. Bahkan ia juga menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan gitar dan harmonika.

Sugiyanto mengatakan, biaya 2 ijazah sang anak yang harus ditebusnya itu sebesar Rp 17 juta. Sementara ada biaya lain untuk administrasi sebesar Rp 20 ribu per hari sejak 2005. Sehingga total biaya yang harus dia tebus sebanyak Rp 70 juta.

"Dan saya tidak mampu untuk menebus semuanya," kata Sugiyanto.

Anaknya, Ayu, menempuh pendidikan SMP dan SMA di Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman di kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat. Menurut Sugiyanto, awalnya semua biaya pendidikan tersebut gratis. Namun, berubah ketika pemilik pondok pesantren meninggal dunia.

"Sejak itu diambil alih istrinya, dan semua harus bayar. Ini bukan cuma anak saya saja yang tidak bisa tebus ijazah, tapi santri-santri lainnya juga," ungkap Sugiyanto.

Dalam aksinya di Bundara HI, tidak terlihat penjagaan dari petugas kepolisian. Namun, aksi tersebut sempat beberapa kali menarik perhatian para pengguna jalan. Meski sampai saat ini belum ada satu pun yang tertarik untuk membeli ginjal Sugiyanto.

Sebelumnya, Sugiyanto memaparkan, Ayu, anak keduanya sejak SMP hingga melanjutkan ke perguruan tinggi dititipkan di sekolah Islam Al Ashryyah Nurul Iman. Di sekolah itu juga ada kampus STAI milik yayasan yang sama. Di kampus ini Ayu kemudian melanjutkan pendidikannya selepas menamatkan pendidikan SMA.

"Tapi, karena ada prahara di kampus itu dan banyak anak-anak yang mondok dipukulin sama orang dekat pemilik kampus, maka akhirnya banyak santri dan siswa yang kabur, termasuk anak saya," tutur Sugiyanto.

Sejak Januari lalu, Sugiyanto sudah berusaha untuk meminta agar ijazah SMP dan SMA anaknya bisa didapat agar Ayu dapat melanjutkan kuliah di kampus lain. Namun, pihak STAI Nurul Iman tak bersedia, kecuali Sugiyanto membayar uang tebusan.

"Saya sudah bawa surat keterangan miskin juga, tapi tidak diterima, tetap harus bayar Rp 17 juta. Padahal di awal tidak ada perjanjian harus menebus ijazah seperti itu. Karena itu saya nekat mau jual ginjal," jelas Sugiyanto. (Mut)