Komisioner Komnas HAM Siane Indriani mengaku prihatin dengan kondisi Sugiyanto yang berniat menjual ginjal untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan oleh sekolah. Dia membantah lembaganya mengabaikan aduan yang pernah disampaikan Sugiyanto ke Komnas HAM.
"Dalam kasus ini bukan Komnas HAM yang cuek, kami akan cek apakah memang ada laporan terkait kasus ini apa tidak," kata Siane saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Dia menambahkan, sebenarnya kasus ini lebih menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pihak sekolah. Harusnya, pihak sekolah punya kebijaksanaan terhadap Sugiyanto yang akan mengambil ijazah anaknya.
"Di sini kami belum melihat ada pelanggaran HAM, ini lebih pada meminta kebijakan sekolah. Jadi sebaiknya bisa diselesaikan ke sekolah dulu, kami imbau pihak sekolah punya kepedulian," tutur dia.
Meski demikian, Siane berjanji, Komnas HAM akan memantau kasus ini dan berusaha melekukan mediasi antara Sugiyanto dengan sekolah yang menahan ijazah anaknya. "Tadi saya sudah telepon Pak Sugiyanto, saya tunggu di Komnas HAM siang ini dan Beliau bersedia," ujar Siane.
Sugiyanto berniat menjual ginjalnya untuk menebus ijazah anaknya seharga Rp 17 juta. Sugiyanto merasa tidak mampu membayar uang sebesar itu, sehingga dia melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, Kemendikbud, dan Kementerian Agama. Namun, Sugiyanto merasa ketiga lembaga tersebut tak menggubris laporannya.
Tukang jahit baju ini menyekolahkan anaknya, Ayu, di sebuah sekolah Islam di Bogor, Jawa Barat, dengan pola mondok atau tinggal di lingkungan sekolah tersebut sejak masuk SMP hingga SMA. Bahkan, Ayu juga sempat kuliah di kampus yayasan yang sama.
Karena ada masalah kampus, banyak santri yang keluar. Ayu menjadi salah satu santriwati yang ingin keluar dari kampus tersebut dan akan melanjutkan ke kampus lain. Namun, ketika Sugiyanto ingin meminta ijazah yang ditahan, pihak sekolah justru meminta tebusan uang. (Eks/Ism)
"Dalam kasus ini bukan Komnas HAM yang cuek, kami akan cek apakah memang ada laporan terkait kasus ini apa tidak," kata Siane saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Dia menambahkan, sebenarnya kasus ini lebih menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pihak sekolah. Harusnya, pihak sekolah punya kebijaksanaan terhadap Sugiyanto yang akan mengambil ijazah anaknya.
"Di sini kami belum melihat ada pelanggaran HAM, ini lebih pada meminta kebijakan sekolah. Jadi sebaiknya bisa diselesaikan ke sekolah dulu, kami imbau pihak sekolah punya kepedulian," tutur dia.
Meski demikian, Siane berjanji, Komnas HAM akan memantau kasus ini dan berusaha melekukan mediasi antara Sugiyanto dengan sekolah yang menahan ijazah anaknya. "Tadi saya sudah telepon Pak Sugiyanto, saya tunggu di Komnas HAM siang ini dan Beliau bersedia," ujar Siane.
Sugiyanto berniat menjual ginjalnya untuk menebus ijazah anaknya seharga Rp 17 juta. Sugiyanto merasa tidak mampu membayar uang sebesar itu, sehingga dia melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, Kemendikbud, dan Kementerian Agama. Namun, Sugiyanto merasa ketiga lembaga tersebut tak menggubris laporannya.
Tukang jahit baju ini menyekolahkan anaknya, Ayu, di sebuah sekolah Islam di Bogor, Jawa Barat, dengan pola mondok atau tinggal di lingkungan sekolah tersebut sejak masuk SMP hingga SMA. Bahkan, Ayu juga sempat kuliah di kampus yayasan yang sama.
Karena ada masalah kampus, banyak santri yang keluar. Ayu menjadi salah satu santriwati yang ingin keluar dari kampus tersebut dan akan melanjutkan ke kampus lain. Namun, ketika Sugiyanto ingin meminta ijazah yang ditahan, pihak sekolah justru meminta tebusan uang. (Eks/Ism)