Sugianto nekat menawarkan ginjalnya kepada semua orang di Bundaran Hotel Indonesia. Perjuangan ini dia lakukan demi mendapatkan uang untuk menebus ijazah anaknya, Sarah Melanda Ayu (19), yang ditahan oleh pihak sekolah.
Dengan ditemani Ayu, pria 45 tahun itu mendekati mobil-mobil yang berhenti di lampu merah di Bundaran HI. Bak pedagang asongan, dia menawarkan ginjalnya ke pengendara-pengendara mobil yang berhenti itu. Sugianto menawarkan ginjalnya sambil menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan gitar dan harmonika.
Sugiyanto tidak membuka harga berapa rupiah ginjal itu akan dia jual. Jika ada yang tertarik membeli dengan harga setara tebusan Rp 17 juta ijazah anaknya, maka ginjal itu akan dijualnya.
"Kalau bukan karena untuk menebus ijazah, uang Rp 1 miliar pun ditawarkan ke saya, saya takkan jual ginjal saya," kata Sugiyono di sela-sela aksinya di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Dalam aksi di Bundaran HI itu, Sugianto dan Ayu terus 'berjualan' ginjal. Sugiyanto berorasi. Sebuah poster bertuliskan "Kepada Saudara yg Butuh Ginjal Kami Siap Jual. Tubuh Kami Siap Dibelah Demi Untuk Menebus Ijazah" juga mereka bentangkan.
Dalam aksinya di Bundaran HI, tidak terlihat penjagaan dari petugas kepolisian. Namun, aksi tersebut sempat beberapa kali menarik perhatian para pengguna jalan. Meski sampai saat ini belum ada satu pun yang tertarik untuk membeli ginjal Sugiyanto.
Sugiyanto menyekolahkan Ayu di SMP dan SMA Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman di kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat. Awalnya semua biaya pendidikan tersebut gratis. Namun, berubah ketika pemilik pondok pesantren meninggal dunia.
"Sejak itu diambil alih istrinya, dan semua harus bayar. Ini bukan cuma anak saya saja yang tidak bisa tebus ijazah, tapi santri-santri lainnya juga," ungkap Sugiyanto.
Menurut Sugiyanto, anak keduanya ini bersekolah di yayasan itu sejak SMP hingga ke perguruan tinggi. Namun karena ada masalah, banyak santri yang keluar dari sekolah tersebut, salah satunya adalah Ayu.
Sejak Januari lalu, Sugiyanto sudah berusaha untuk meminta agar ijazah SMP dan SMA Ayu, agar anaknya dapat melanjutkan kuliah di kampus lain. Namun, pihak STAI Nurul Iman tak bersedia, kecuali Sugiyanto membayar uang tebusan.
"Saya sudah bawa surat keterangan miskin juga, tapi tidak diterima, tetap harus bayar Rp 17 juta. Padahal di awal tidak ada perjanjian harus menebus ijazah seperti itu. Karena itu saya nekat mau jual ginjal," jelas Sugiyanto. (Eks/Sss)
Dengan ditemani Ayu, pria 45 tahun itu mendekati mobil-mobil yang berhenti di lampu merah di Bundaran HI. Bak pedagang asongan, dia menawarkan ginjalnya ke pengendara-pengendara mobil yang berhenti itu. Sugianto menawarkan ginjalnya sambil menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan gitar dan harmonika.
Sugiyanto tidak membuka harga berapa rupiah ginjal itu akan dia jual. Jika ada yang tertarik membeli dengan harga setara tebusan Rp 17 juta ijazah anaknya, maka ginjal itu akan dijualnya.
"Kalau bukan karena untuk menebus ijazah, uang Rp 1 miliar pun ditawarkan ke saya, saya takkan jual ginjal saya," kata Sugiyono di sela-sela aksinya di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Dalam aksi di Bundaran HI itu, Sugianto dan Ayu terus 'berjualan' ginjal. Sugiyanto berorasi. Sebuah poster bertuliskan "Kepada Saudara yg Butuh Ginjal Kami Siap Jual. Tubuh Kami Siap Dibelah Demi Untuk Menebus Ijazah" juga mereka bentangkan.
Dalam aksinya di Bundaran HI, tidak terlihat penjagaan dari petugas kepolisian. Namun, aksi tersebut sempat beberapa kali menarik perhatian para pengguna jalan. Meski sampai saat ini belum ada satu pun yang tertarik untuk membeli ginjal Sugiyanto.
Sugiyanto menyekolahkan Ayu di SMP dan SMA Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman di kawasan Parung, Bogor, Jawa Barat. Awalnya semua biaya pendidikan tersebut gratis. Namun, berubah ketika pemilik pondok pesantren meninggal dunia.
"Sejak itu diambil alih istrinya, dan semua harus bayar. Ini bukan cuma anak saya saja yang tidak bisa tebus ijazah, tapi santri-santri lainnya juga," ungkap Sugiyanto.
Menurut Sugiyanto, anak keduanya ini bersekolah di yayasan itu sejak SMP hingga ke perguruan tinggi. Namun karena ada masalah, banyak santri yang keluar dari sekolah tersebut, salah satunya adalah Ayu.
Sejak Januari lalu, Sugiyanto sudah berusaha untuk meminta agar ijazah SMP dan SMA Ayu, agar anaknya dapat melanjutkan kuliah di kampus lain. Namun, pihak STAI Nurul Iman tak bersedia, kecuali Sugiyanto membayar uang tebusan.
"Saya sudah bawa surat keterangan miskin juga, tapi tidak diterima, tetap harus bayar Rp 17 juta. Padahal di awal tidak ada perjanjian harus menebus ijazah seperti itu. Karena itu saya nekat mau jual ginjal," jelas Sugiyanto. (Eks/Sss)