Demi menebus ijazah anak tercintanya seharga Rp 17 juta, Sarah Melanda Ayu (19), Sugiyanto rela menjual ginjalnya. Bersama sang anak ia menjajakan ginjalnya kepada semua orang yang melintas di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2013).
Dengan membawa poster bertuliskan 'Kepada Saudara yg Butuh Ginjal Kami Siap Jual. Tubuh Kami Siap Dibelah Demi U/ Menebus Ijazah', Sugiyanto dan Ayu menawarkan ginjalnya ke beberapa pengendara mobil dan motor yang berhenti karena lampu merah.
Bahkan, mereka sempat keluar masuk bus kota untuk menawarkan kepada seluruh penumpang di dalam bus. Namun, hingga pukul 11.15 WIB, belum ada satu pun yang tertarik untuk membelinya.
Sugiyanto bercerita, penghasilannya sebulan tak cukup untuk menebus ijazah SMP dan SMA milik Ayu yang ditahan pihak Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman, Parung, Bogor, Jawa Barat.
"Saya tak menebusnya. Karena penghasilan saya sebagai penjahit sebulan tak seberapa," lirih Sugiyanto.
Ia mengaku sudah menjadi single parent sejak 12 tahun silam tatkala sang istri tercinta meninggal dunia. Ia pun harus bisa menafkahi kelima anaknya seorang diri dengan menjadi tukang jahit di dekat rumah.
Penghasilannya dari menjahit pakaian berkisar antara Rp 70-80 ribu per hari atau sekitar Rp 2 juta per bulan. "Itu kalau lagi ramai. Kalau lagi sepi bisa kurang dari segitu. Nggak pasti sih," kata warga yang tinggal di rumah kontrakan di kawasan Tegal Alur, Kamal, Kali Deres, Jakarta Barat ini.
Rumah kontrakannya tersebut, ia sewa dengan harga Rp 600 ribu per bulannya. Alhasil, penghasilannya yang Rp 2 juta harus pintar-pintar ia kelola dengan baik. Lantaran ia juga harus menghidupi kelima anaknya.
Tak Ada Sampingan
Ia sendiri mengaku tidak memiliki pekerjaan sampingan lain. Namun, anak pertamanya, Tisna (20) sudah bekerja untuk membantu mengurangi beban hidup di pundaknya. Sedangkan, tiga anaknya, yakni Dewa (16), Kidung Asmara Nindewi (12), dan Gadung (10) masih ia usahakan untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan.
"Anak pertama sudah kerja. Jadi masih bisa bantu-bantu buat keperluan sehari-hari. Adiknya Ayu kan juga masih sekolah," ungkap Sugiyanto.
Untuk itu, ia mau berkorban menawarkan ginjal yang sangat berharga untuk kelancaran hidupnya itu demi dapat menebus 2 ijazah Ayu. "Saya nggak bisa menebusnya. Makanya saya rela menjual ginjal saya. Kalau bukan karena ijazah anak saya, uang Rp 1 miliar pun tidak akan saya jual," ucapnya.
Awal 'Derita'
Ayu menempuh pendidikan SMP dan SMA di sekolah Islam Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman, Parung, Bogor, Jawa Barat. Menurut Sugiyanto, awalnya semua biaya pendidikan tersebut gratis. Namun, berubah ketika pemilik pondok pesantren meninggal dunia pada 2010 lalu.
"Sejak itu pondok pesantren diambil alih istrinya, dan semua harus bayar. Ini bukan cuma anak saya saja yang tidak bisa tebus ijazah, tapi santri-santri lainnya juga," ungkap Sugiyanto.
Sugiyanto memaparkan, Ayu sempat melanjutkan ke perguruan tinggi di Kampus STAI yang satu yayasan dengan Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman.
"Tapi, karena ada prahara di kampus itu dan banyak anak-anak yang mondok dipukuli sama orang-orang dekat pemilik kampus, akhirnya banyak santri dan siswa yang kabur, termasuk anak saya," tutur Sugiyanto.
Sejak Januari 2013 lalu, Sugiyanto sudah berusaha meminta agar ijazah SMP dan SMA anaknya itu bisa diambil agar Ayu dapat melanjutkan kuliah di kampus lain. Namun, pihak Kampus STAI tidak bersedia. Kecuali Sugiyanto membayar uang tebusan.
"Saya sudah bawa surat keterangan miskin juga, tapi tidak diterima, tetap harus bayar Rp 17 juta. Padahal di awal tidak ada perjanjian harus menebus ijazah seperti itu. Karena itu saya nekat mau jual ginjal," papar Sugiyanto. (Mut)
Dengan membawa poster bertuliskan 'Kepada Saudara yg Butuh Ginjal Kami Siap Jual. Tubuh Kami Siap Dibelah Demi U/ Menebus Ijazah', Sugiyanto dan Ayu menawarkan ginjalnya ke beberapa pengendara mobil dan motor yang berhenti karena lampu merah.
Bahkan, mereka sempat keluar masuk bus kota untuk menawarkan kepada seluruh penumpang di dalam bus. Namun, hingga pukul 11.15 WIB, belum ada satu pun yang tertarik untuk membelinya.
Sugiyanto bercerita, penghasilannya sebulan tak cukup untuk menebus ijazah SMP dan SMA milik Ayu yang ditahan pihak Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman, Parung, Bogor, Jawa Barat.
"Saya tak menebusnya. Karena penghasilan saya sebagai penjahit sebulan tak seberapa," lirih Sugiyanto.
Ia mengaku sudah menjadi single parent sejak 12 tahun silam tatkala sang istri tercinta meninggal dunia. Ia pun harus bisa menafkahi kelima anaknya seorang diri dengan menjadi tukang jahit di dekat rumah.
Penghasilannya dari menjahit pakaian berkisar antara Rp 70-80 ribu per hari atau sekitar Rp 2 juta per bulan. "Itu kalau lagi ramai. Kalau lagi sepi bisa kurang dari segitu. Nggak pasti sih," kata warga yang tinggal di rumah kontrakan di kawasan Tegal Alur, Kamal, Kali Deres, Jakarta Barat ini.
Rumah kontrakannya tersebut, ia sewa dengan harga Rp 600 ribu per bulannya. Alhasil, penghasilannya yang Rp 2 juta harus pintar-pintar ia kelola dengan baik. Lantaran ia juga harus menghidupi kelima anaknya.
Tak Ada Sampingan
Ia sendiri mengaku tidak memiliki pekerjaan sampingan lain. Namun, anak pertamanya, Tisna (20) sudah bekerja untuk membantu mengurangi beban hidup di pundaknya. Sedangkan, tiga anaknya, yakni Dewa (16), Kidung Asmara Nindewi (12), dan Gadung (10) masih ia usahakan untuk tetap bisa melanjutkan pendidikan.
"Anak pertama sudah kerja. Jadi masih bisa bantu-bantu buat keperluan sehari-hari. Adiknya Ayu kan juga masih sekolah," ungkap Sugiyanto.
Untuk itu, ia mau berkorban menawarkan ginjal yang sangat berharga untuk kelancaran hidupnya itu demi dapat menebus 2 ijazah Ayu. "Saya nggak bisa menebusnya. Makanya saya rela menjual ginjal saya. Kalau bukan karena ijazah anak saya, uang Rp 1 miliar pun tidak akan saya jual," ucapnya.
Awal 'Derita'
Ayu menempuh pendidikan SMP dan SMA di sekolah Islam Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman, Parung, Bogor, Jawa Barat. Menurut Sugiyanto, awalnya semua biaya pendidikan tersebut gratis. Namun, berubah ketika pemilik pondok pesantren meninggal dunia pada 2010 lalu.
"Sejak itu pondok pesantren diambil alih istrinya, dan semua harus bayar. Ini bukan cuma anak saya saja yang tidak bisa tebus ijazah, tapi santri-santri lainnya juga," ungkap Sugiyanto.
Sugiyanto memaparkan, Ayu sempat melanjutkan ke perguruan tinggi di Kampus STAI yang satu yayasan dengan Pondok Pesantren Al Ashryyah Nurul Iman.
"Tapi, karena ada prahara di kampus itu dan banyak anak-anak yang mondok dipukuli sama orang-orang dekat pemilik kampus, akhirnya banyak santri dan siswa yang kabur, termasuk anak saya," tutur Sugiyanto.
Sejak Januari 2013 lalu, Sugiyanto sudah berusaha meminta agar ijazah SMP dan SMA anaknya itu bisa diambil agar Ayu dapat melanjutkan kuliah di kampus lain. Namun, pihak Kampus STAI tidak bersedia. Kecuali Sugiyanto membayar uang tebusan.
"Saya sudah bawa surat keterangan miskin juga, tapi tidak diterima, tetap harus bayar Rp 17 juta. Padahal di awal tidak ada perjanjian harus menebus ijazah seperti itu. Karena itu saya nekat mau jual ginjal," papar Sugiyanto. (Mut)