Sukses

DPR: Kolektif Kolegial Sangat Diperlukan KPK

KPK perlu menggunakan landasan kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan oleh para pimpinannya.

Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP Muhammad Nurdin menyatakan, KPK perlu menggunakan landasan kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan. Hal itu untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, akuntabel, transparan, serta menjunjung tinggi hukum tanpa sedikitpun toleransi atas penyimpangan.

Untuk itu, Nurdin menilai, prinsip-prinsip itu masih sangat diperlukan dalam proses penegakan hukum yang ditangani KPK. "Bahwa pemerintah dan DPR membuat UU itu dalam kaitannya memberikan kewenangan yang penuh kepada KPK untuk memberantas korupsi," ujar Nurdin saat memberi keterangan dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/6/2013).

Pernyataan itu terkait dengan permohonan uji materi materi Pasal 21 ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), yang dimohonkan advokat Farhat Abbas dan Narliz Wandi Piliang.

Menurut Nurdin, norma yang tercantum dalam Pasal 21 UU KPK tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Frasa 'bekerja secara kolektif' dalam Pasal 21 UU a quo keberadaannya sangat diperlukan.

Lama atau tidaknya KPK menangani suatu perkara korupsi, jelasnya, tidak serta merta menyebabkan ketentuan Pasal 21 ayat 5 UU KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan konstitusi. "Justru hal itu terkait dengan pelaksanaan norma UU KPK oleh KPK," katanya.

Oleh karenanya, sambung Nurdin, tidak ada pertentangan antara Pasal 21 ayat 5 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Mengingat, DPR dalam setiap memproduksi UU tentu dengan mempertimbangkan segala aspek.

"Kita membuat UU itu tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan yang kita buat dan ada batasannya juga," ucap Nurdin. Ia menegaskan, wewenang yang diberikan UU kepada KPK untuk bekerja secara koletif adalah untuk menghindari penyalahgunaan wewenang para pimpinan KPK.

Farhat Abbas selaku Pemohon I dan Narliz Wandi Piliang sebagai Pemohon II merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 21 ayat 5 dalam UU KPK. Para Pemohon menilai pasal tersebut inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.

Inkonstitusional yang dimaksud adalah pengambilan keputusan yang disyaratkan secara kolektif kolegial oleh para pimpinan KPK mengakibatkan penanganan suatu perkara suap dan korupsi jadi terhambat lantaran memakan waktu yang lama. Oleh karena itu para Pemohon menilai keberadaan Pasal 21 UU KPK itu melanggar hak konstitusional mereka, karena tidak memberikan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Para Pemohon kemudian mendalilkan perkara suap Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang sebagai contoh terhambatnya penanganan hukum sebagai akibat keputusan yang diambil secara kolektif kolegial oleh para pimpinan KPK. (Mut/Ism)