Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta Presiden SBY tak hanya meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia atas kabut asap dari kebakaran hutan di Riau. SBY juga harus memohon maaf kepada masyarakat Riau yang menjadi korban.
Menurut Din, dampak kebakaran hutan di Riau bukan hanya dirasakan oleh negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia, tapi juga menerpa masyarakat Indonesia di Riau.
"Jangan cuma ke mereka (Singapura dan Malaysia) tapi juga ke masyarakat (Riau)," kata Din di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Selain itu, Din juga menyarankan agar SBY meminta maaf ke masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah yang telah menyengsarakan. Salah satu kebijakan itu misalnya keputusan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi.
"Minta maaf lah sudah menaikan BBM. Juga untuk dosa-dosa pemerintah," ujar Din.
Menurutnya, meminta maaf merupakan tindakan terpuji, hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan setiap orang yang bersalah mesti meminta maaf. Namun begitu, sebaiknya permintaan maaf tidak dilakukan secara parsial tapi mesti menyeluruh ke pihak-pihak yang dirugikan.
"Meminta maaf sikap yang dianjurkan Islam. Tapi jangan parsial," ucap Din.
Selain Din, Sekretaris Konferensi Wali Gereja Indonesia Benny Susetyo juga punya pendapat yang sama. Menurutnya, SBY harus meminta maaf terlebih dahulu ke masyarakat sebelum ke Singapura dan Malaysia. "Masyarakat kita sudah menjadi korban asap selama bertahun-tahun," ungkap dia.
Benny mengatakan, permintaan maaf seorang Presiden ke negara lain bukan hal sepele. Ini menyangkut kedaulatan politik negara atas negara lain. Sehingga, dia menilai permintaan maaf SBY ke Singapura dan Malaysia sebagai cermin hilangnya kemandirian politik penguasa.
"Ini menunjukan penguasa kita tidak mandiri di bidang politik," ungkap Benny.
Permintaan maaf Presiden menjadi legitimasi kuat terhadap ketidakbecusan mengelola negara. Sehingga, Benny mengatakan kebakaran hutan bukanlah persoalan yang baru kali ini terjadi. Kebakaran hutan sudah hampir menjadi persoalan rutin di Riau, ketika musim kemarau menjelang.
"Minta maaf itu simbol pemerintah tidak mampu mengatasi persoalannya sendiri," imbuh Benny.
Ia pun mendesak pemerintah secara gamblang melihat persoalan kebakaran hutan di Riau. Dia yakin pemerintah mengetahui keterlibatan perusahaan-perusahaan kelapa sawit asal Malaysia dan Singapura terhadap kebakaran hutan di Riau.
"Tinggal bagaimana penegakan hukum ditegakan. Ada kemauan politik tidak dari presiden menyeret pengusaha sawit asing itu ke pengadilan," tegas Benny. (Mut/Ism)
Menurut Din, dampak kebakaran hutan di Riau bukan hanya dirasakan oleh negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia, tapi juga menerpa masyarakat Indonesia di Riau.
"Jangan cuma ke mereka (Singapura dan Malaysia) tapi juga ke masyarakat (Riau)," kata Din di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6/2013).
Selain itu, Din juga menyarankan agar SBY meminta maaf ke masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah yang telah menyengsarakan. Salah satu kebijakan itu misalnya keputusan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi.
"Minta maaf lah sudah menaikan BBM. Juga untuk dosa-dosa pemerintah," ujar Din.
Menurutnya, meminta maaf merupakan tindakan terpuji, hal itu sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan setiap orang yang bersalah mesti meminta maaf. Namun begitu, sebaiknya permintaan maaf tidak dilakukan secara parsial tapi mesti menyeluruh ke pihak-pihak yang dirugikan.
"Meminta maaf sikap yang dianjurkan Islam. Tapi jangan parsial," ucap Din.
Selain Din, Sekretaris Konferensi Wali Gereja Indonesia Benny Susetyo juga punya pendapat yang sama. Menurutnya, SBY harus meminta maaf terlebih dahulu ke masyarakat sebelum ke Singapura dan Malaysia. "Masyarakat kita sudah menjadi korban asap selama bertahun-tahun," ungkap dia.
Benny mengatakan, permintaan maaf seorang Presiden ke negara lain bukan hal sepele. Ini menyangkut kedaulatan politik negara atas negara lain. Sehingga, dia menilai permintaan maaf SBY ke Singapura dan Malaysia sebagai cermin hilangnya kemandirian politik penguasa.
"Ini menunjukan penguasa kita tidak mandiri di bidang politik," ungkap Benny.
Permintaan maaf Presiden menjadi legitimasi kuat terhadap ketidakbecusan mengelola negara. Sehingga, Benny mengatakan kebakaran hutan bukanlah persoalan yang baru kali ini terjadi. Kebakaran hutan sudah hampir menjadi persoalan rutin di Riau, ketika musim kemarau menjelang.
"Minta maaf itu simbol pemerintah tidak mampu mengatasi persoalannya sendiri," imbuh Benny.
Ia pun mendesak pemerintah secara gamblang melihat persoalan kebakaran hutan di Riau. Dia yakin pemerintah mengetahui keterlibatan perusahaan-perusahaan kelapa sawit asal Malaysia dan Singapura terhadap kebakaran hutan di Riau.
"Tinggal bagaimana penegakan hukum ditegakan. Ada kemauan politik tidak dari presiden menyeret pengusaha sawit asing itu ke pengadilan," tegas Benny. (Mut/Ism)