Sukses

PLTA Mrica Banjarnegara Krisis Air

Debit air di waduk Panglima Besar Soedirman, Banjarnegara, Jateng, yang menjadi pasokan PLTA Mrica menyusut. Di Rembang, Jatim, warga terpaksa menggali sumur baru untuk mendapatkan air bersih.

Liputan6.com, Banjarnegara: Debit air di Waduk Panglima Besar Soedirman Banjarnegara, Jawa Tengah, makin kritis menyusul kemarau panjang tahun ini. Buntutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Air Mrica yang mengandalkan pasokan air dari waduk itu kehilangan dua juta kilowatt hour. Sebab debit air di waduk tersebut turun drastis hingga 11,40 meter kubik per detik. Demikian hasil pemantauan SCTV, baru-baru ini.

Kondisi di atas tentu mengancam kelangsungan produktivitas PLTA Mrica yang dikelola Indonesia Power. Dari data pengelola proyek sampai Maret 2003, debit air PLTA Mrica masih ideal: 123,34 meter kubik per detik. Tapi sejak Mei sampai Agustus, in-flow waduk melorot tinggal 51 m3 per detik hingga 11,40 m3 per detik. Bila kondisi ini terus berlangsung, bukan tak mungkin produktivitas PLTA Mrica benar-benar mati.

Sekarang turbin PLTA Mrica cuma beroperasi enam jam dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Penurunan produksi listrik ini harus terjadi karena sebagian air waduk harus mengisi jaringan irigasi untuk menyelamatkan lebih dari 6.000 hektare lahan persawahan di kabupaten itu.

Kekeringan juga membuat susah warga Rembang, Jawa Timur. Warga di sana sulit mendapat air bersih. Dan untuk mendapatkan komoditi ini, sebagian warga Rembang mencoba membuat sumur di berbagai tempat. Sayangnya usaha mereka kerap tak berbuah hasil. Contohnya seperti yang dialami keluarga Sukawi. Kini dia terpaksa menggunakan air laut untuk keperluan mandi dan cuci.

Nasib Sukawi dialami sebagian besar warga Rembang lainnya. Alhasil, jumlah sumur yang digali makin banyak. Apalagi, warga tak menutup kembali sumur yang tak mengeluarkan air. Sekarang mereka hanya bisa berharap pemerintah setempat menyalurkan bantuan. Di samping itu, mereka juga meminta pemda setempat segera merealisasikan pembangunan proyek irigasi waduk atau empang yang pernah digembar-gemborkan.

Kesulitan air bersih pun dirasakan penduduk Desa Pucuk, Brejel Lor dan Desa Randengan, Mojokerto, Jatim. Kini untuk memenuhi kekurangan akan kebutuhan pokok itu, sebagian penduduk mengambil air di sebuah gua yang berjarak sekitar dua kilometer dari perumahan mereka [baca: Sebagian Warga Mojokerto Mengkonsumsi Air Gua].

Kemarau rupanya tak hanya monopoli manusia, sejumlah jenis hewan pun kelabakan. Belum lama berselang, puluhan kera ekor panjang atau Cervus timorensis menyerang warga Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Banyumas, Jateng. Padahal sebelumnya, kawanan kera tersebut sudah menjarah tanaman kelapa dan nira atau bahan dasar pembuat gula merah milik para penderes gula (penyadap nira) di daerah itu.

Menurut warga setempat, serangan kera sudah terjadi sejak awal musim kemarau. Kawanan binatang ini mengamuk karena cadangan makanan di hutan menipis. Apalagi pemerintah daerah setempat juga sudah menyetop pasokan makanan untuk hewan ini. Akibatnya, tiap hari ratusan kera keluar hutan untuk mencari makanan.

Tak jarang, kawanan kera masuk ke rumah penduduk. Alhasil, penduduk desa yang berjumlah sekitar 500 kepala keluarga ini kelimpungan. Nira mereka yang terdapat di 19 ribu batang kelapa sering hilang dan merugi cukup besar. Kenyataan itu bisa dimengerti, karena saat ini harga gula kelapa sedang tinggi: Rp 3.000 per kilogram.(ICH/Tim Liputan 6 SCTV)
    EnamPlus