Sukses

M Nuh: Ada 1001 Cara Urus Ijazah, Sugiyanto Tak Perlu Jual Ginjal

Pak Menteri menegaskan bahwa "menyandera" ijazah bukanlah tradisi di dunia pendidikan. "Tidak boleh sekolah menahan ijazah."

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh tergugah hatinya untuk membantu Sugiyanto (45) yang berniat menjual ginjalnya . Meski demikian, Nuh tidak memberitahu cara 'menebus' ijazah Sarah Melanda Ayu, anak kedua Sugiyanto.

"Nanti kementerian akan selesaikan urusan itu, cara seperti apa tidak begitu penting. Kami punya 1001 cara," ungkap Mendikbud M Nuh di ruangannya, Gedung Kemendikbud, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2013).

Nuh yang berpakaian kemeja batik berwarna kuning juga menuturkan, soal ini adalah perkara yang mudah. "Ini perkara relatif mudah. Bisa jadi kami ketemuan dengan pimpinan sekolahnya atau mereka yang  ke mari," ujar dia.

Mantan Retor ITS ini juga menegaskan bahwa "menyandera" ijazah bukanlah tradisi di dunia pendidikan. "Tidak boleh sekolah menahan ijazah. Itu bukan tradisi pendidikan," ucapnya.

Setelah ini, lanjut Nuh, pihaknya tidak akan berhenti untuk menyelesaikan masalah serupa yang dialami oleh Sugiyanto dan Ayu. "Kami serahkan bab ini dulu, baru selesaikan bab tambahan (masalah serupa lainnya)," pungkasnya.

Sugiyanto dan Ayu mengucap syukur atas bantuan M Nuh, yang mau menyelesaikan masalah ijazah yang ditahan sekolah. "Sugiyanto tak lupa mengucapkan jutaan terima kasih kepada M Nuh. "Karena sudah  bantu ijazah anak kami yang berbulan-bulan sudah diusahakan. Pak Menteri juga akan bantu, dan lanjut kuliah tanpa biaya," ujar Sugiyanto.

Ayu pun tidak lupa mengucapkan rasa syukurnya. "Makasih Pak Menteri, dengan begini Bapak tidak perlu jual ginjal," ucapnya.

Sugiyanto (45) nekat menjual ginjalnya di Bundaran Hotel Indonesia demi mendapatkan uang untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan pihak sekolah. Total biaya yang harus ditebusnya mencapai Rp 70 juta karena sejak 2005, ada biaya administrasi yang dikenakan sebesar Rp 20 ribu per harinya.

Penjualan ginjal sendiri sebenarnya sudah diatur oleh UU Kesehatan, dimana yang melanggar bisa dikenakan hukuman penjara dan denda maksimal mencapai Rp 1 miliar. (Ein/Ism)