Sukses

Penyiksaan Masih Marak, Kontras Desak DPR Rampungkan Revisi KUHP

Kontras menilai, kekerasan terjadi salah satunya karena masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, setidaknya ada 100 peristiwa penyiksaan yang terjadi selama kurun waktu tahun 2013. Kontras menilai, hal itu disebabkan salah satunya oleh masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

"Yakni masih didominasi oleh absennya penegakkan hukum yang jujur dan adil terhadap pelaku penyiksaan," ujar Haris dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/6/2013)

Padahal, lanjut Haris, akibat tak maksimalnya penegakan hukum itu sangat memengaruhi kondisi korban dan keluarga. "Padahal, aparat keamanan menjadi aktor dominan yang melakukan penyiksaan," jelas dia.

Haris menilai, ketiadaan hukuman yang efektif bagi pelaku penyiksaan, disertai tak ada instrumen perundang-undangan nasional yang spesifik menegaskan penuntutan terhadap praktik penyiksaan, juga menjadi faktor perilaku itu masih saja terjadi di Indonesia.

Karena itu, lanjut Haris, Kontras mendesak DPR segera menyelesaikan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). "Serta secara khusus memasukkan pasal penuntutan terhadap praktik penyiksaan," jelas Haris.

Lebih jauh, kata Haris, Kontras mendesak DPR segera meratifikasi protokol optional tentang Konvensi Anti Penyiksaan. Hal ini sebagaimana ditegaskan, direkomendasikan, dan diterima pemerintah Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) putaran kedua pada 2012 lalu.

"Pemerintah Indonesia juga seharusnya mengoptimalkan UUD 1945, khususnya Pasal 28G ayat 2 yang secara jelas dan tegas melarang praktik penyiksaan," ujar Haris. (Ali)