Selain tuntutan dan vonis, aparat penegak hukum dan koruptor kini punya mainan baru. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi kini menjadi objek permainan baru antara koruptor dan penegak hukum.
Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, temuan ICW menyebutkan, wilayah permainan terdakwa kasus korupsi dengan para penegak hukum sudah bukan tuntutan dan vonis, melainkan besaran uang pengganti dan aset yang akan disita.
"Tadinya Rp 10 miliar jadi hanya Rp 4 miliar. Aset awalnya terlihat pas diujung tiba-tiba hilang. Ini yang harus jadi perhatian MA (Mahkamah Agung)," katanya dalam diskusi di Gedung MA, Jakarta, Selasa (2/7/2013).
ICW menilai, saat ini para koruptor itu lebih takut miskin ketimbang hukuman pidana berat. Pihak kejaksaan pun tidak pernah mengecek apakah terpidana yang sudah menyelesaikan masa tahanan sudah membayar uang pengganti atau belum.
"Tahun 2009 ICW pernah mempermasalahkan uang pengganti senilai Rp 6 triliun hasil audit BPK belum ada yang disita kejaksaan, ini juga jadi perhatian," lanjut Emerson.
Hakim juga diminta proaktif untuk menanyakan kepada jaksa terkait kejelasan uang pengganti atau aset yang disita dari terdakwa kasus korupsi.
"Hakim selain mencari kebenaran materil, peran aktif dari hakim bertanya apakah aset sudah disita, atau dijatuhi uang pengganti. Menyita aset dan segera lelang aset yang hasilnya untuk negara," papar Emerson.
Untuk itu, sambung Emerson, perlu ada diskusi lebih mendalam antara MA, polisi, jaksa, dan instansi penegak hukum lainnya guna menyusun skema terbaik penerapan uang pengganti bagi terdakwa korupsi. (Mut)
Peneliti ICW Emerson Yuntho mengatakan, temuan ICW menyebutkan, wilayah permainan terdakwa kasus korupsi dengan para penegak hukum sudah bukan tuntutan dan vonis, melainkan besaran uang pengganti dan aset yang akan disita.
"Tadinya Rp 10 miliar jadi hanya Rp 4 miliar. Aset awalnya terlihat pas diujung tiba-tiba hilang. Ini yang harus jadi perhatian MA (Mahkamah Agung)," katanya dalam diskusi di Gedung MA, Jakarta, Selasa (2/7/2013).
ICW menilai, saat ini para koruptor itu lebih takut miskin ketimbang hukuman pidana berat. Pihak kejaksaan pun tidak pernah mengecek apakah terpidana yang sudah menyelesaikan masa tahanan sudah membayar uang pengganti atau belum.
"Tahun 2009 ICW pernah mempermasalahkan uang pengganti senilai Rp 6 triliun hasil audit BPK belum ada yang disita kejaksaan, ini juga jadi perhatian," lanjut Emerson.
Hakim juga diminta proaktif untuk menanyakan kepada jaksa terkait kejelasan uang pengganti atau aset yang disita dari terdakwa kasus korupsi.
"Hakim selain mencari kebenaran materil, peran aktif dari hakim bertanya apakah aset sudah disita, atau dijatuhi uang pengganti. Menyita aset dan segera lelang aset yang hasilnya untuk negara," papar Emerson.
Untuk itu, sambung Emerson, perlu ada diskusi lebih mendalam antara MA, polisi, jaksa, dan instansi penegak hukum lainnya guna menyusun skema terbaik penerapan uang pengganti bagi terdakwa korupsi. (Mut)