Sukses

Menjelang Pesta Perang Suku Dani

Pesta perang suku Dani membutuhkan persiapan yang cukup panjang. Mulai dari berburu binatang hingga menari untuk membangkitkan semangat perang diatur secara ketat.

Liputan6.com, Jaya Wijaya: Di punggung sebuah bukit di Lembah Baliem, Kabupaten Jaya Wijaya, Papua, sekelompok lelaki Suku Dani berkumpul. Di bawah langit petang yang memerah, mereka memainkan alat musik tradisional tikon. Selain bersantai, sejumlah pria yang cuma memakai koteka ini membahas persiapan pesta perang.

Saat rapat berakhir, Yani Mabela, sang ketua suku memerintahkan empat pria berburu binatang, malam nanti. Di ladang, kaum wanita memanen ubi. Makanan pokok Suku Dani sejak ribuan tahun silam ini akan dihidangkan sebagai pelengkap pesta perang. Selain mengurus anak, kaum perempuan Suku Dani memang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan. Sedangkan laki-laki mengurus masalah adat, perang, dan berburu.

Empat pria dewasa yang ditunjuk pergi meninggalkan kampung menuju hutan, saat malam tiba. Ditemani seekor anjing pemburu, Marianus memimpin perburuan. Sinar bulan purnama membantu mereka mencapai lokasi. Setelah beberapa jam menelusuri hutan, Marianus melihat ada yang bergerak di atas sebuah ranting pohon. Buru-buru Marianus menembakkan panahnya. Dari balik dedaunan, sejenis binatang pengerat keluar sambil mengerang. Seekor kus-kus (Tarsius bancanus) rupanya. Anak panah kembali dilepaskan tempat menembus dada kus-kus. Misi berhasil. Tarian kegembiraan pun dimainkan.

Keesokan harinya, saat matahari belum begitu tinggi, pria dewasa Suku Dani berkumpul lengkap dengan berbagai atribut kebesaran di tengah permukiman. Seekor babi ditangkap dari kandangnya. Dari jarak satu kaki, Yani memanah babi tepat ke jantung. Sesuai tradisi, kepala sukulah yang berhak membunuh babi yang kelak akan dihidangkan dalam pesta.

Lelaki lain menyiapkan api dan tungku untuk membakar batu-batu kecil. Tak boleh ada perempuan yang terlibat sebelum api menyala. Kecuali mereka yang sudah menopause. Mereka baru sibuk menyiapkan ubi, babi, dan kus-kus hasil perburuan setelah api menyala.

Batu yang dibakar kemudian dipindahkan ke tungku. Di tungku inilah panasnya batu akan mematangkan makanan. Seraya menunggu makanan masak, kaum perempuan menyanyikan beberapa kidung yang mengisahkan penciptaan ubi dan babi yang membuat mereka bertahan hidup. Hal yang sama juga dilakukan pria di tempat terpisah. Bedanya, kidung yang dinyanyikan berisi doa-doa kepada arwah leluhur.

Setelah matang, daging dan ubi dipindahkan. Makanan tidak disantap hari itu, melainkan keesokan harinya saat puncak acara. Persiapan pesta yang berakhir petang itu ditutup dengan tari-tarian untuk menambah semangat dan keberanian.

Perang sudah menjadi tradisi bagi suku Dani dan suku lain seperti Mek, Moni, dan Ekagi yang menghuni Lembah Baliem. Peperangan biasanya dipicu masalah wanita dan mas kawin. Mereka tidak selamanya bermusuhan. Sebagian suku bahkan berhubungan erat membentuk aliansi perang. Namun, di antara penghuni lembah seluas 45 kilometer persegi itu, Suku Dani-lah yang dominan. Kelihaian Suku Dani berperang membuat kelompok ini mengumpulkan banyak wanita untuk diperistri. Adat suku Dani memang memperkenankan kaum laki-laki punya istri banyak. Mereka mengawini wanita suku lain untuk menghindari incest.

Berdasarkan bukti arkeologis, Suku Dani diperkirakan sudah mengenal cara bercocok tanam umbi-umbian, beternak babi, dan sistem permukiman sejak 7.000 tahun silam. Budaya suku Dani juga memiliki aturan adat yang ketat dan jelas. Saat ini, jumlah warga Suku Dani mencapai 200 ribu jiwa. Mereka tersebar dalam kelompok permukiman kecil yang disebut silimo. Yani, misalnya. Dia tinggal di Silimo Mabela atau disingkat Silimabel. Sebuah silimo dibagi lagi menjadi honai silimo dan honai edeai. Honai silimo diperuntukkan buat pria dewasa. Sedangkan honai edeai buat wanita dan anak-anak.(ZAQ/Tim Potret)