Seorang janda beranak 8, hidup sulit di atas lahan seluas 2x6 meter. Zaitun namanya. Meski tergolong warga miskin, bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) tak kunjung mampir. Hanya dalam mimpi, BLSM bisa dinikmati Zaitun.
Rumah perempuan berusia 60 tahun ini berada di gang menyerupai goa yang hanya selebar bahu di Jalan Sindang, Koja, Jakarta Utara. Dengan luas 2x6 meter, rumah itu dihuni 9 anggota keluarga, termasuk Zaitun. Posisi rumahnya lebih rendah dari jalanan.
Tak perlu menunggu musim hujan datang, setiap kali saluran air meluap rumahnya pasti kebanjiran. Tapi Zaitun dan keluarga tak punya cukup uang untuk meninggikan rumahnya. Untuk mengakalinya, mereka berinisiatif mengumpulkan tanah bekas kerukan proyek galian, salah satunya yang dilakukan Perusahaan Air Minum (PAM).
"Di sini kan banjir, saya mau salat saja rembes. Awalnya, anak saya setiap ada galian PAM, ambil buat urukan. Nah nanti pas ada galian lagi, diambil lagi sama anak saya," tutur Zaitun kepada Liputan6.com di rumahnya, Jakarta, Kamis (4/7/2013).
"Ya, dulu kan waktu pas banjir, bantuan datang dari mana-mana buat bangun rumah. Tapi itu lewat doang. Waktu itu rumah saya cuma plester ditutup tiker dan pada pecah, jadi tanah liatnya naik," ucapnya.
Hidup dalam keprihatinan seperti ini, BLSM tak juga diterimanya. Padahal pihak kelurahan pernah mampir ke rumah untuk mendatanya. Ketika bertanya pada Ketua RW, Zaitun malah disuruh tahajud. Tapi dia tak putus asa. Meski kesulitan berjalan, Zaitun pergi ke kelurahan untuk menanyakan status BLSM-nya.
"Saya kan nggak bisa jalan, dan saya usahain ke kelurahan, 'Pak, bagaimana?'. Dijawab malah suruh langsung ke Walikota. Padahal puluhan tahun saya tinggal disini," lirihnya.
"Saya sampai mimpi. Dalam mimpi saya orang kelurahan datang berikan BLSM di pagi hari," ujar Zaitun. (Ndy/Mut)
Rumah perempuan berusia 60 tahun ini berada di gang menyerupai goa yang hanya selebar bahu di Jalan Sindang, Koja, Jakarta Utara. Dengan luas 2x6 meter, rumah itu dihuni 9 anggota keluarga, termasuk Zaitun. Posisi rumahnya lebih rendah dari jalanan.
Tak perlu menunggu musim hujan datang, setiap kali saluran air meluap rumahnya pasti kebanjiran. Tapi Zaitun dan keluarga tak punya cukup uang untuk meninggikan rumahnya. Untuk mengakalinya, mereka berinisiatif mengumpulkan tanah bekas kerukan proyek galian, salah satunya yang dilakukan Perusahaan Air Minum (PAM).
"Di sini kan banjir, saya mau salat saja rembes. Awalnya, anak saya setiap ada galian PAM, ambil buat urukan. Nah nanti pas ada galian lagi, diambil lagi sama anak saya," tutur Zaitun kepada Liputan6.com di rumahnya, Jakarta, Kamis (4/7/2013).
"Ya, dulu kan waktu pas banjir, bantuan datang dari mana-mana buat bangun rumah. Tapi itu lewat doang. Waktu itu rumah saya cuma plester ditutup tiker dan pada pecah, jadi tanah liatnya naik," ucapnya.
Hidup dalam keprihatinan seperti ini, BLSM tak juga diterimanya. Padahal pihak kelurahan pernah mampir ke rumah untuk mendatanya. Ketika bertanya pada Ketua RW, Zaitun malah disuruh tahajud. Tapi dia tak putus asa. Meski kesulitan berjalan, Zaitun pergi ke kelurahan untuk menanyakan status BLSM-nya.
"Saya kan nggak bisa jalan, dan saya usahain ke kelurahan, 'Pak, bagaimana?'. Dijawab malah suruh langsung ke Walikota. Padahal puluhan tahun saya tinggal disini," lirihnya.
"Saya sampai mimpi. Dalam mimpi saya orang kelurahan datang berikan BLSM di pagi hari," ujar Zaitun. (Ndy/Mut)