Sukses

Pengadilan Jalan Terbaik Penyelesaian Kasus Ajinomoto

Proses hukumlah yang paling tepat untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa bumbu masak produk Ajinomoto layak disantap kalangan Muslim. Berdebat saja tak menyelesaikan persoalan.

Liputan6.com, Jakarta: Proses hukum adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan kasus PT. Ajinomoto. Sebab, bila polemik tentang haram-halalnya produk bumbu masak asal Jepang itu berhenti di tengah jalan, justru akan menimbulkan berbagai kecurigaan di masyarakat. Akibatnya, masyarakat akan bertambah bingung. Demikian intisari yang mengemuka dari Debat SCTV Minggu ini yang dipandu Indiarto Priyadi, Sabtu (12/1).

Hadir sebagai pembicara Kuasa Hukum PT. Ajinomoto Amir Syamsuddin, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Profesor Aisyah Girindra, Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Indah Suksmaningsih, dan Direktur Jenderal Pengawasan Obat-obatan dan Makanan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Sampurno.

Menurut Amir Syamsuddin, posisi kliennya dilematis. Di satu sisi harus mengadapi fatwa MUI, di sisi lain menghadapi laporan YLKI kepada polisi. Namun, lanjut Amir, antara fatwa sebagai kewenangan MUI dan laporan YLKI sebagai proses hukum tak terintegrasi. "Ini akan berdampak pada citra produk Ajinomoto secara keseluruhan, meskipun proses hukum berpihak pada Ajinomoto," kata Amir.

Di mata Indah Suksmaningsih maupun Aisyah Girindra, itu adalah risiko yang harus ditanggung Ajinomoto. Indah melihat kasus tersebut sebagai sikap ketidakhati-hatian perusahaan tersebut. Sedangkan Aisyah Girindra yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor mengatakan, kesalahan fatal yang dilakukan Ajinomoto adalah pemakaian bakteri bacto-soytone yang digunakan dalam proses fermentasi dalam proses pembuatan monosodium glutamat yang mengandung porcine (enzim babi).

Bahkan, lebih jauh Indah menduga, ada upaya dari perusahaan yang mendapat sertifikat halal MUI sejak 1998 itu untuk mengabaikan rasa ketidakadilan umat Islam. Indikasinya, yang melihat perubahan enzim tersebut adalah MUI, bukan Ajinomoto. "Padahal ada perubahan sedikit pun Ajinomoto wajib melapor kepada MUI," kata Indah.

Sementara itu, Dirjen POM Depkes dan Kessos Sampurno melihat biaya dan sanksi sosial yang diderita Ajinomoto cukup besar. Itu sebabnya, kata dia, Ajinomoto memerlukan keadilan. Singkat kata, Sampurno ingin mengatakan masyarakat jangan menghakimi produk tersebut sebelum ada keputusan hukum dari pengadilan.

Pernyataan Sampurno tersebut diamini Amir Syamsuddin dengan usulan perlunya Undang-undang Produsen atau mengubah Undang-undang Konsumen. Alasannya, dalam UU Konsumen juga harus ada keberpihakan pada kepentingan produsen. Hal ini penting, lanjut Amir, bila uji materil atau laboratorium membuktikan bahwa Ajinomoto tak bersalah. "Tetapi karena citra sudah jelek, Ajinomoto sulit diterima masyarakat," kata Amir.

Mengenai perubahan UU, menurut Indah, itu sangat mungkin. Sebab, menurut dia, tidak ada UU yang sempurna. Tetapi yang lebih penting, lanjut Indah, bukan hanya sekadar perubahan. Paling penting sekarang biarkan proses hukum berjalan, sehingga kekhawatiran yang mendera Ajinomoto dapat dibuktikan secara hukum. Indah memberi alasan bahwa laporan yang dilakukan YLKI kepada Polisi tak akan terjadi bila tak ada Fatwa MUI, Undang-undang Konsumen, Surat Dirjen POM, pengaduan masyarakat, dan Ajinomoto tetap mencantumkan label halal pada produknya yang diproses menggunakan porcine. "Nanti masyarakat akan melihat sendiri siapa yang benar," kata Indah, berapi-api.

Benar yang dikatakan Sampurno: untuk menyelesaikan kasus Ajinomoto harus ada keinginan baik (good will) semua komponen. Amir Syamsuddin mengakui bahwa PT Ajinomoto mempunyai komitmen untuk menarik semua produk yang dikeluarkan sejak 13 Oktober hingga 24 November 2000. Ajinomoto juga berkomitmen untuk memberikan rasa keadilan bagi konsumen, khususnya bagi umat Muslim. Termasuk yang paling penting, sambung Amir, adalah membantah pemberitaan bahwa Ajinomoto akan menarik investasinya dari Indonesia. "Ini akan merugikan Ajinomoto. Seolah-olah keadilan konsumen dapat ditukar dengan materi," kata Amir Syamsuddin.

Upaya yang dilakukan Ajinomoto mendapat tanggapan positif dari nara sumber lain. MUI, misalnya, hanya mempersoalkan produk yang diproduksi seperti yang disebutkan dalam fatwa. Menurut Aisyah Girindra, bila semua produk tersebut sudah ditarik, bagi MUI sudah tak ada masalah. "Semua produk yang haram ditarik dari pasaran, bagi MUI itu sudah cukup," kata Aisyah Girindra.(YYT)