Gang Kingkit I. Begitu nama jalan sempit itu. Terselip di antara warung-warung penggoyang lidah di Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat. Perlu usaha lebih untuk mencari alamat ini, karena letaknya memang menyempil. Kondisinya kumuh.
Pagi ini, Jumat (5/7/2013), rintik hujan membasahi gang itu. Di depan gang itulah Yati menjajakan nasi uduk. Pagi-pagi, dagangannya sudah hampir habis. "Mari, nasi uduknya, penglaris-penglaris, habisin," sapa wanita berjilbab itu kepada para pelanggananya.
Tak berselang lama, habislah nasi uduk dagangan Yati. Raut sumringah terpancar dari kerut-kerut wajah perempuan 58 tahun ini. Dihitungnya hasil penjualan hari ini. Namun, setelah dihitung, lembaran-lembaran uang itu tak dia masukkan ke dalam dompet.
Yati menyerahkan duit itu ke orang lain. Rupa-rupanya, dagangan nasi uduk itu bukan miliknya. Dari berlembar-lembar uang itu, Yati hanya menerima Rp 15 ribu saja. Setelah laporan keuangan selesai, Yati beranjak pulang. Menuju rumahnya di Gang Kingkit itu.
Di ujung gang, langkah Yati terhenti di depan rumah kusam. Catnya sudah pada mengelupas. Di sinilah Yati tinggal. Dia memang tergolong masyarakat kurang mampu. Sangat berat baginya untuk bertahan hidup dengan penghasilan Rp 15 ribu per hari.
"Saya ditinggal suami, jadi janda itu sudah dari 2003. Sampai sekarang, belum pernah menerima bantuan, apalagi BLSM," kata Yati saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (5/7/2013).
Ya, Yati tidak merasakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat oleh pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Yati tinggal di salah satu gang kawasan wisata kuliner Pecenongan. Jaraknya tak sampai 1 kilometer dari Istana. Tak jauh dari tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkantor. Selama 10 tahun hidup menjanda, sama sekali belum menerima bantuan sosial termasuk Bantuan Langsung Tunai atau BLT.
Di tengah hiruk-pikuk pembagian BLSM di Tanah Air, Yati mengaku tak pernah didatangi petugas kelurahan maupun kantor pos setempat untuk pendataan penerima BLSM. "Tidak ada yang kemari. Malah saya dengar, ada orang yang punya motor di RT 07 terima BLSM," ungkapnya.
Dalam sebulan, Yati menghabiskan sekitar Rp 400 ribu untuk kebutuhan hidup. Kenaikan harga BBM pun dirasakannya cukup berat. "BBM naik, ya sembako naik. Saya pusing kalau mikirin itu," tuturnya.
Beruntung, dia punya 3 anak yang sudah dewasa dan berkeluarga. Tiap bulan, Yati mendapat bantuan keuangan dari anak-anaknya itu. "Dibantu sih ada, tapi namanya juga ibu ya, lihat anak sendiri empot-empotan (kesusahan), mending uangnya buat mereka," imbuhnya dengan suara yang lirih.
Di dalam rumah sederhana berukuran 5 x 4 meter itu, tidak terlihat perabotan mewah. Bahkan, penerangan rumah pun tidak begitu baik, hanya ada 1 buah lampu menggantung di langit-langit. Untuk mengusir rasa bosan, Yati hanya ditemani sebuah televisi berukuran 12 inci.
Di benak Yati, uang BLSM sebesar Rp 600 ribu dapat membantunya. Namun, itu sebatas angan-angan. Dia sangat berharap pemerintah mau turun ke lapangan, melihat langsung siapa orang-orang yang pantas menerima bantuan tersebut.
"Kalau dapat, saya bersyukur sekali. Pemerintah ini harusnya turun langsung. Saya ini kan tinggalnya tidak jauh dari tempat Presiden, kok masih tidak dapat BLSM," ujar wanita yang sudah tinggal di Jakarta sejak 1981 ini.
Ada janda, ada pula duda yang rumahnya tidak jauh dari rumah Yati. Duda yang dikenal dengan nama panggilan Pak Uni, tinggal di Gang Kingkit IV. Pria tersebut juga tidak menerima BLSM. Padahal, dirinya sudah tidak lagi bekerja. Ketika didatangi Liputan6.com, Uni menolak secara halus untuk diwawancarai.
"Pak Uni itu dulu tukang ojek, agak tertutup. Sekitar 2 atau 3 tahun lalu, dia kecelakaan, kakinya patah, sehingga tidak bisa ngojek lagi karena kakinya yang patah itu tidak kuat seperti dulu," cerita Yati. (Eks/Ism)
Pagi ini, Jumat (5/7/2013), rintik hujan membasahi gang itu. Di depan gang itulah Yati menjajakan nasi uduk. Pagi-pagi, dagangannya sudah hampir habis. "Mari, nasi uduknya, penglaris-penglaris, habisin," sapa wanita berjilbab itu kepada para pelanggananya.
Tak berselang lama, habislah nasi uduk dagangan Yati. Raut sumringah terpancar dari kerut-kerut wajah perempuan 58 tahun ini. Dihitungnya hasil penjualan hari ini. Namun, setelah dihitung, lembaran-lembaran uang itu tak dia masukkan ke dalam dompet.
Yati menyerahkan duit itu ke orang lain. Rupa-rupanya, dagangan nasi uduk itu bukan miliknya. Dari berlembar-lembar uang itu, Yati hanya menerima Rp 15 ribu saja. Setelah laporan keuangan selesai, Yati beranjak pulang. Menuju rumahnya di Gang Kingkit itu.
Di ujung gang, langkah Yati terhenti di depan rumah kusam. Catnya sudah pada mengelupas. Di sinilah Yati tinggal. Dia memang tergolong masyarakat kurang mampu. Sangat berat baginya untuk bertahan hidup dengan penghasilan Rp 15 ribu per hari.
"Saya ditinggal suami, jadi janda itu sudah dari 2003. Sampai sekarang, belum pernah menerima bantuan, apalagi BLSM," kata Yati saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (5/7/2013).
Ya, Yati tidak merasakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat oleh pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Yati tinggal di salah satu gang kawasan wisata kuliner Pecenongan. Jaraknya tak sampai 1 kilometer dari Istana. Tak jauh dari tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkantor. Selama 10 tahun hidup menjanda, sama sekali belum menerima bantuan sosial termasuk Bantuan Langsung Tunai atau BLT.
Di tengah hiruk-pikuk pembagian BLSM di Tanah Air, Yati mengaku tak pernah didatangi petugas kelurahan maupun kantor pos setempat untuk pendataan penerima BLSM. "Tidak ada yang kemari. Malah saya dengar, ada orang yang punya motor di RT 07 terima BLSM," ungkapnya.
Dalam sebulan, Yati menghabiskan sekitar Rp 400 ribu untuk kebutuhan hidup. Kenaikan harga BBM pun dirasakannya cukup berat. "BBM naik, ya sembako naik. Saya pusing kalau mikirin itu," tuturnya.
Beruntung, dia punya 3 anak yang sudah dewasa dan berkeluarga. Tiap bulan, Yati mendapat bantuan keuangan dari anak-anaknya itu. "Dibantu sih ada, tapi namanya juga ibu ya, lihat anak sendiri empot-empotan (kesusahan), mending uangnya buat mereka," imbuhnya dengan suara yang lirih.
Di dalam rumah sederhana berukuran 5 x 4 meter itu, tidak terlihat perabotan mewah. Bahkan, penerangan rumah pun tidak begitu baik, hanya ada 1 buah lampu menggantung di langit-langit. Untuk mengusir rasa bosan, Yati hanya ditemani sebuah televisi berukuran 12 inci.
Di benak Yati, uang BLSM sebesar Rp 600 ribu dapat membantunya. Namun, itu sebatas angan-angan. Dia sangat berharap pemerintah mau turun ke lapangan, melihat langsung siapa orang-orang yang pantas menerima bantuan tersebut.
"Kalau dapat, saya bersyukur sekali. Pemerintah ini harusnya turun langsung. Saya ini kan tinggalnya tidak jauh dari tempat Presiden, kok masih tidak dapat BLSM," ujar wanita yang sudah tinggal di Jakarta sejak 1981 ini.
Ada janda, ada pula duda yang rumahnya tidak jauh dari rumah Yati. Duda yang dikenal dengan nama panggilan Pak Uni, tinggal di Gang Kingkit IV. Pria tersebut juga tidak menerima BLSM. Padahal, dirinya sudah tidak lagi bekerja. Ketika didatangi Liputan6.com, Uni menolak secara halus untuk diwawancarai.
"Pak Uni itu dulu tukang ojek, agak tertutup. Sekitar 2 atau 3 tahun lalu, dia kecelakaan, kakinya patah, sehingga tidak bisa ngojek lagi karena kakinya yang patah itu tidak kuat seperti dulu," cerita Yati. (Eks/Ism)