Perbedaan dalam penetapan awal Ramadan sering terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Umat Muslim di tanah air pun kerap dibuat bingung kapan harus memulai puasa Ramadannya. Untuk itu, Nahdlatul Ulama (NU) mengimbau umat Muslim untuk mengikuti keputusan sidang isbat yang ditetapkan pemerintah.
"Manusia dan teknologi itu bisa saja salah. Tapi jangan lupa ada kekuatan di balik itu, Tuhan yang menentukan. Maka itu harus melihat bulan (hilal). Yang harus didorong, yang sudah dapat hasil kepastian, ayo dibuktikan!" ujar Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A Ghazalie Masroeri kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (6/7/2013).
Menurut Ghazalie, perbedaan penetapan awal Ramadan selalu muncul karena berbagai pihak menggunakan cara yang berbeda. Namun NU dalam menetapkan awal Ramadan selama ini, selain menggunakan metode hisab (penghitungan), juga selalu menggunakan metode ruqyah (observasi) terhadap hilal (bulan).
"Sebenarnya, di dalam lokakarya sudah ada keputusan kesepakatan bahwa perhitungan hisab harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Artinya, kalau kurang dari kriteria jangan ditetapkan. Ruqyah itu ilmiah," tuturnya.
"Karena kalau soal menetapkan, NU juga bisa. Dan pemerintah adalah pemegang amanat konstitusi. Jadi kalau soal perbedaan bukan karena soal mau tak mau, tapi beda cara perhitungan," ujarnya.
Â
Bahkan, Ghazalie mengklaim, pihaknya dapat membuat perhitungan awal Ramadan hingga ratusan tahun ke depan. Namun untuk melakukan itu, diperlukan hisab hilal dan juga ruqyat. "Kalau untuk hisab, kami menggunakan kitab yang menggunakan metode mutakhir agar tingkat akurasinya tinggi. Karena Rasulullah mengajarkan untuk melakukan hisab dan juga rukyat," ujarnya.
Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan pada 9 Juli. PBNU pun telah menghisab alias menghitung awal Ramadan jatuh pada 10 Juli. Namun Ghazalie berharap, umat Muslim dapat mengikuti ketetapan pemerintah yang akan diputuskan pada 8 Juli mendatang.
"Imbauan kami, mari umat Islam di dalam mengawali Ramadan ini megikuti cara Rasulullah SAW dan sidang isbat. Saya tidak mengatakan mengikuti kami, tidak. Pemerintah pemilik otoritas tunggal," pungkas Ghazalie. (Ndy)
"Manusia dan teknologi itu bisa saja salah. Tapi jangan lupa ada kekuatan di balik itu, Tuhan yang menentukan. Maka itu harus melihat bulan (hilal). Yang harus didorong, yang sudah dapat hasil kepastian, ayo dibuktikan!" ujar Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A Ghazalie Masroeri kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (6/7/2013).
Menurut Ghazalie, perbedaan penetapan awal Ramadan selalu muncul karena berbagai pihak menggunakan cara yang berbeda. Namun NU dalam menetapkan awal Ramadan selama ini, selain menggunakan metode hisab (penghitungan), juga selalu menggunakan metode ruqyah (observasi) terhadap hilal (bulan).
"Sebenarnya, di dalam lokakarya sudah ada keputusan kesepakatan bahwa perhitungan hisab harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Artinya, kalau kurang dari kriteria jangan ditetapkan. Ruqyah itu ilmiah," tuturnya.
"Karena kalau soal menetapkan, NU juga bisa. Dan pemerintah adalah pemegang amanat konstitusi. Jadi kalau soal perbedaan bukan karena soal mau tak mau, tapi beda cara perhitungan," ujarnya.
Â
Bahkan, Ghazalie mengklaim, pihaknya dapat membuat perhitungan awal Ramadan hingga ratusan tahun ke depan. Namun untuk melakukan itu, diperlukan hisab hilal dan juga ruqyat. "Kalau untuk hisab, kami menggunakan kitab yang menggunakan metode mutakhir agar tingkat akurasinya tinggi. Karena Rasulullah mengajarkan untuk melakukan hisab dan juga rukyat," ujarnya.
Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadan pada 9 Juli. PBNU pun telah menghisab alias menghitung awal Ramadan jatuh pada 10 Juli. Namun Ghazalie berharap, umat Muslim dapat mengikuti ketetapan pemerintah yang akan diputuskan pada 8 Juli mendatang.
"Imbauan kami, mari umat Islam di dalam mengawali Ramadan ini megikuti cara Rasulullah SAW dan sidang isbat. Saya tidak mengatakan mengikuti kami, tidak. Pemerintah pemilik otoritas tunggal," pungkas Ghazalie. (Ndy)