Nasib tragis menimpa seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Indramayu, Jawa Barat, Danu (33). Danu yang bekerja sebagai anak buah kapal di perusahaan Taiwan ini terlunta-lunta di negeri orang. Janji upah dolar selama 2 tahun pun tak dibayar. Nahasnya lagi, dia ditinggal kawin oleh istrinya karena tak berkomunikasi dan tak mampu memberikan nafkah lagi.
Petualangan Danu itu bermula pada 2011. Melalui perusahaan pengerah TKI PT Karlwei Multi Global (Kartigo), dia menjadi Anak Buah Kapal atau ABK di PT Kwo-Jeng yang berkedudukan Taiwan. Danu dikontrak selama 2 tahun dengan US$ 180 per bulan. Di atas kapal milik PT Kwo-Jeng itulah Danu dan 200 temannya bertahan hidup dengan penuh derita.
"Kami sampai ambil kayu dek untuk masak di atas kapal. Tidak ada air, tidak ada makanan, cuma makan ikan," ujar Danu saat berunjuk rasa di depan Kantor Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jakarta, Selasa (9/7/2013).
Berbulan-bulan berkelana di samudera, sampailah kapal yang membawa Danu dan rekan-rekannya di Trinidad, tanah di kawasan Karibia. Danu dan puluhan ABK lain ditangkap polisi Trinidad saat mendarat. Peristiwa apes sekaligus berkah bagi bapak satu anak ini.
"Kami masuk televisi dan koran. Dari sana bantuan mulai datang. Kami tidak lagi makan nasi sepiring berlima. Banyak yang memberi bantuan makanan sampai kami dideportasi," katanya.
Pada 8 Juli 2013, Danu dan ratusan ABK lainya dideportasi ke Indonesia setelah bekerja di perairan Trinidad dan Tobago itu. Gembira memuncak karena bisa pulang ke kampung halaman. Bisa berkumpul kembali dengan istrinya, Umroh (30) dan anaknya. Namun, bayang gembira itu pudar, berubah muram saat dia sampai di depan pintu rumahnya.
"Saya pas pulang yang buka pintu laki-laki, tidak saya kenal. Saya tanya, dijawab suami baru dari istri saya. Sakit rasanya, udah terlantar di kapal, kelaparan, nggak digaji, pulang ke rumah istri diambil orang," tutur Danu sambil menatap kosong, mengenang kesuramannya itu.
Danu sempat marah kepada Umroh dan suami barunya. Namun dia dicegah tetangganya. Danu memang sudah tidak berkomunikasi dengan Umroh selama 2 tahun itu. Selama terombang-ambing di lautan, Danu memang dilarang berkomunikasi dengan dunia luar. "Saya memang tidak komunikasi, tidak punya uang. Telepon 5 menit saja sama biayanya gaji satu bulan. Terus kita mau pulang didenda Rp 50 juta," ungkapnya.
Derita Danu tak hanya sampai di situ. Sudah kehilangan istri dan anak, dia harus menanggung utang belasan juta kepada saudaranya. "Gaji US$ 180 per bulan sampai sekarang tidak pernah dibayar sepeser pun, ya saya tidak bisa bayar utang. Utang saya sampai Rp 10 juta lebih. Utang sama saudara dan mertua. Terus utang buat berangkat Rp 5 juta. Malu saya belum bisa bayar," katanya lirih.
Danu pun menghitung-hitung uang yang seharusnya dia miliki dari jerih payahnya selama mejadi ABK kapal Taiwan itu. Dalam kontrak kerja selama 2 tahun, Danu dijanjikan upah US$ 180 per bulan, uang sandar US$ 400, dan bonus tahunan US$ 1000. "Kalau pakai aturan, hak saya yang belum dibayar perusahaan sekitar US$ 13.000 ini belum termasuk asuransi," ujar Danu.
Nasib malang ini ternyata tak hanya dialami Danu, tetapi juga dialami puluhan ABK lain yang bekerja di tempat yang sama. Oleh sebab itulah mereka berunjuk rasa di depan Kantor BNP2TKI untuk memperjuangkan hak mereka. "Ada sekitar 40 orang yang keluarganya berantakan gara-gara tidak digaji," ujar Kordinator Solidaritas ABK, Imam Safii. (Eks/Ism)
Petualangan Danu itu bermula pada 2011. Melalui perusahaan pengerah TKI PT Karlwei Multi Global (Kartigo), dia menjadi Anak Buah Kapal atau ABK di PT Kwo-Jeng yang berkedudukan Taiwan. Danu dikontrak selama 2 tahun dengan US$ 180 per bulan. Di atas kapal milik PT Kwo-Jeng itulah Danu dan 200 temannya bertahan hidup dengan penuh derita.
"Kami sampai ambil kayu dek untuk masak di atas kapal. Tidak ada air, tidak ada makanan, cuma makan ikan," ujar Danu saat berunjuk rasa di depan Kantor Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jakarta, Selasa (9/7/2013).
Berbulan-bulan berkelana di samudera, sampailah kapal yang membawa Danu dan rekan-rekannya di Trinidad, tanah di kawasan Karibia. Danu dan puluhan ABK lain ditangkap polisi Trinidad saat mendarat. Peristiwa apes sekaligus berkah bagi bapak satu anak ini.
"Kami masuk televisi dan koran. Dari sana bantuan mulai datang. Kami tidak lagi makan nasi sepiring berlima. Banyak yang memberi bantuan makanan sampai kami dideportasi," katanya.
Pada 8 Juli 2013, Danu dan ratusan ABK lainya dideportasi ke Indonesia setelah bekerja di perairan Trinidad dan Tobago itu. Gembira memuncak karena bisa pulang ke kampung halaman. Bisa berkumpul kembali dengan istrinya, Umroh (30) dan anaknya. Namun, bayang gembira itu pudar, berubah muram saat dia sampai di depan pintu rumahnya.
"Saya pas pulang yang buka pintu laki-laki, tidak saya kenal. Saya tanya, dijawab suami baru dari istri saya. Sakit rasanya, udah terlantar di kapal, kelaparan, nggak digaji, pulang ke rumah istri diambil orang," tutur Danu sambil menatap kosong, mengenang kesuramannya itu.
Danu sempat marah kepada Umroh dan suami barunya. Namun dia dicegah tetangganya. Danu memang sudah tidak berkomunikasi dengan Umroh selama 2 tahun itu. Selama terombang-ambing di lautan, Danu memang dilarang berkomunikasi dengan dunia luar. "Saya memang tidak komunikasi, tidak punya uang. Telepon 5 menit saja sama biayanya gaji satu bulan. Terus kita mau pulang didenda Rp 50 juta," ungkapnya.
Derita Danu tak hanya sampai di situ. Sudah kehilangan istri dan anak, dia harus menanggung utang belasan juta kepada saudaranya. "Gaji US$ 180 per bulan sampai sekarang tidak pernah dibayar sepeser pun, ya saya tidak bisa bayar utang. Utang saya sampai Rp 10 juta lebih. Utang sama saudara dan mertua. Terus utang buat berangkat Rp 5 juta. Malu saya belum bisa bayar," katanya lirih.
Danu pun menghitung-hitung uang yang seharusnya dia miliki dari jerih payahnya selama mejadi ABK kapal Taiwan itu. Dalam kontrak kerja selama 2 tahun, Danu dijanjikan upah US$ 180 per bulan, uang sandar US$ 400, dan bonus tahunan US$ 1000. "Kalau pakai aturan, hak saya yang belum dibayar perusahaan sekitar US$ 13.000 ini belum termasuk asuransi," ujar Danu.
Nasib malang ini ternyata tak hanya dialami Danu, tetapi juga dialami puluhan ABK lain yang bekerja di tempat yang sama. Oleh sebab itulah mereka berunjuk rasa di depan Kantor BNP2TKI untuk memperjuangkan hak mereka. "Ada sekitar 40 orang yang keluarganya berantakan gara-gara tidak digaji," ujar Kordinator Solidaritas ABK, Imam Safii. (Eks/Ism)