Sukses

Pemberlakuan Darurat Militer Tergantung Pemerintah Pusat

Kendati darah masih terus bercucuran di Aceh, Pangdam belum akan mengusulkan darurat militer. Pemberlakukan darurat militer masih tergantung pemerintah pusat.

Liputan6.com, Aceh: Aksi kekerasan masih terus mewarnai Serambi Mekah. Sebab tiga orang dilaporkan tewas dan belasan lainnya luka-luka dalam sebuah insiden bentrokan bersenjata, Jumat (12/1), di Blang Mangsat, Nisam, Muara dua Aceh Utara. Ketiga korban tewas tersebut di antaranya anggota TNI Angkatan Darat dan Marinir. Sedangkan seorang lagi adalah seorang wanita yang tercatat sebagai warga setempat.

Dalam insiden tersebut, menurut Panglima Angkatan Bersenjata kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka Wilayah Pase Abu Sofyan Daud, aparat keamanan menembak dua bocah bersaudara, Muh Kasem dan Ramli Kasem, warga Desa Blang Dalam. Sedangkan enam korban lain mengaku dikasari aparat keamanan pascakontak senjata. Selain itu, seorang wanita bernama Anita dilaporkan tewas ketika aparat keamanan mencari pelaku penghadangan di kawasan Line Pipa Muara Dua, Aceh Utara.

Kendati korban terus berjatuhan, Komandan Rayon Militer Teuku Umar Kolonel Syarifudin Tippe menyatakan masih belum berencana memberlakukan status darurat militer di Aceh. Ia mengatakan, TNI hanya memposisikan diri sebagai pendukung penuh tugas Kepolisian untuk menegakkan hukum dan memulihkan keamanan di Aceh. Syarifuddin juga berpendapat Jeda Kemanusiaan Tahap I dan II di Aceh lebih banyak merugikan TNI dan Polri. Itu sebabnya, ia menyarankan agar agenda tersebut tak usah diperpanjang.

Sementara Ketua Komite Bersama Modalitas Keamanan Komisaris Besar Polisi Ridwan Karim ketika diwawancarai Arief Suditimo di SCTV, Sabtu (13/1) petang, berpendapat lain. Menurut dia, Panglima Komando Daerah Militer dan Kepolisian Daerah Aceh tak berwenang menentukan status yang berlaku di Aceh, termasuk status darurat militer. Sebab, menurut dia, keputusan tersebut berada di tangan pemerintah pusat. Itupun, kata dia, harus ada syarat-syarat khusus.

Saat ini, menurut Karim, pemerintah RI dan GAM telah bersepakat untuk menerapkan minggu tenang setelah Jeda Kemanusiaan berakhir 16 Januari mendatang. Kesepakatan tersebut adalah serangkaian keputusan yang dihasilkan RI dan GAM pada saat berunding di Swiss. Kendati demikian, seluruh hasil kesepakatan tersebut baru berlaku setelah diratifikasi pemerintah pusat. Meski demikian, Karim berpendapat penerapan berbagai kesepakatan tersebut sangat tergantung pada komitmen GAM untuk bersama-sama mengamankan Aceh. Selain itu, kata dia, efektifitas kesepakatan sangat tergantung dari lembaga pengawas yang ada Swiss.

Sepanjang pengetahuan Karim, GAM menolak mentah-mentah pemberlakukan darurat militer di Tanah Rencong. Itu sebabnya, GAM masih menginginkan dialog. Saat ini, menurut Karim, keinginan GAM tersebut masih sama dengan pemerintah Indonesia. Sebab, dialog masih dianggap lebih baik daripada tindakan militer.(AWD/Tim Liputan 6 SCTV)
    Video Terkini