Sukses

PPP: Presidential Threshold 20% Inkonstitusional

PPP menyatakan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold itu inkonstitusional.

PPP menyatakan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold itu inkonstitusional.

"Berapa pun angka persentasenya tak sejalan dengan hakekat Pasal 6A UUD yang menegaskan selama parpol itu sah sebagai peserta pemilu, maka dia berhak mengusulkan capres atau cawapres," kata Wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (10/7/2013).

Menurut Lukman, Pasal 6A UUD sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara. "Maka UU Pilpres seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di konstitusi terkait pemilihan presiden," ujarnya.

Dia mengatakan, argumen yang menyatakan penurunan atau penghilangan ambang batas itu bisa mengusik posisi presiden di DPR, adalah cara pikir yang tak mendasar.

Baginya, penetapan syarat minimal perolehan kursi atau suara bagi parpol untuk mengusung capres dan cawapres adalah bentuk pemasungan hak parpol dan hak masyarakat umum yang menghendaki adanya alternatif capres.

"Kenapa tidak sekalian saja Presidential Threshold 50 persen lebih, itu baru benar-benar aman," imbuhnya.
"Tapi apakah kita mau kembali terapkan calon tunggal? Kembali ke masa 'Kebulatan-Tekad' seperti dulu?" lanjut dia.

Penetapan syarat minimal perolehan kursi atau suara bagi parpol yang bisa usulkan capres atau cawapres, menurutnya, tak hanya memasung hak parpol, tapi juga hak sejumlah capres lain dan masyarakat umum yang menghendaki adanya alternatif atau opsi capres yang beragam.

Dalam pembahasan revisi UU Pilpres terus menuai polemik. Dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR yang digelar pada Selasa 9 Juli kemarin, pembahasannya dihentikan. Dilanjutkan dalam masa sidang selanjutnya, setelah Lebaran.

Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono mengatakan, setelah mendengarkan pandangan 9 fraksi, parlemen tidak mencapai kata sepakat.

Ada 5 fraksi yang menolak perubahan UU Pilpres, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB.

Sementara fraksi yang mendukung revisi UU Pilpres adalah Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura.

Pembahasan revisi UU Pilpres ini sudah berkali-kali ditunda lantaran persoalan 1 pasal, yakni pada Pasal 9 UU Pilpres. Di dalam pasal itu disebutkan, pasangan capres dan cawapres hanya bisa diajukan parpol dan gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di parlemen dan 25 persen suara nasional. (Frd)