Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amril mengatakan terjadinya kerusuhan di LP Tanjung Gusta tidak terlepas adanya budaya penjara (prison culture). Hal itu dikarenakan banyaknya kekerasan yang terjadi di dalam penjara. Ini terjadi bukan hanya di Indoesia.
"Prison culture manifestasi budaya kekerasan di dalam penjara, seperti adanya gang di dalam penjara. Sehingga masalah ini akan pecah sampai kita menunggu faktor pemicunya saja," ujar Reza dalam diskusi Polemik bertema Gelap Mata di Tanjung Gusta, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/7/2013).
Ia menjelaskan, lembaga pembasyarakatan (lapas) dalam tataran realistik tempat untuk orang bermasalah. Dalam konteks negara adalah orang bersalah, hukumannya atau konsekuensinya berupa pengasingan masyarakat.
"Maka itu, jika di penjara mendapat perlakuan tak humanis maka ini potensi mempuk kekerasan mereka," ujarnya.
Potensi kekerasan ini dalam sebuah lapas ini mendasar kemudian ditambah faktor lain seperti jumlah napi melebihi kapasitas, tidak ada pasokan air dan listrik menimbulkan potensi napi agresif. "Masalah sepperti ini akhirnya merajalela di lingkungan ini, jadi hanya menggu faktor pemicu," ujarnya.
Kendati ia melihat peristiwa Tanjung Gusta bukan peristiwa normal, tapi juga bukan peristiwa yang luar biasa. "Karena ini terjadi juga di seluruh dunia. Karena kita sedang bicara untuk mencegah yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi, hanya menunggu waktu," tandasnya. (Ary)
"Prison culture manifestasi budaya kekerasan di dalam penjara, seperti adanya gang di dalam penjara. Sehingga masalah ini akan pecah sampai kita menunggu faktor pemicunya saja," ujar Reza dalam diskusi Polemik bertema Gelap Mata di Tanjung Gusta, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/7/2013).
Ia menjelaskan, lembaga pembasyarakatan (lapas) dalam tataran realistik tempat untuk orang bermasalah. Dalam konteks negara adalah orang bersalah, hukumannya atau konsekuensinya berupa pengasingan masyarakat.
"Maka itu, jika di penjara mendapat perlakuan tak humanis maka ini potensi mempuk kekerasan mereka," ujarnya.
Potensi kekerasan ini dalam sebuah lapas ini mendasar kemudian ditambah faktor lain seperti jumlah napi melebihi kapasitas, tidak ada pasokan air dan listrik menimbulkan potensi napi agresif. "Masalah sepperti ini akhirnya merajalela di lingkungan ini, jadi hanya menggu faktor pemicu," ujarnya.
Kendati ia melihat peristiwa Tanjung Gusta bukan peristiwa normal, tapi juga bukan peristiwa yang luar biasa. "Karena ini terjadi juga di seluruh dunia. Karena kita sedang bicara untuk mencegah yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi, hanya menunggu waktu," tandasnya. (Ary)