Sukses

Daripada Pengetatan Remisi, Hapus Status Narapidana `Kaya`

Pemberatan hukuman bukan di remisi tapi seharusnya pada vonis pengadilan.

Program pemerintah dalam pengetatan pemberian remisi kepada para narapidana dinilai bukan menyelesaikan akar permasalahan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), menyusul insiden di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatra Utara, pada Kamis 11 Juli yang menelan 5 korban jiwa.

Anggota Departemen HAM, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (HAM DPN Peradi), Rivai Kusumanegara mengatakan, seyogyanya program Menkumham Amir Syamsuddin dan wakilnya Deny Indrayana mengedepankan ketertiban dan keamanan Lapas, yang salah satunya menghapus perlakuan privilege bagi napi berkemampuan ekonomi.

"Karena akan menumbuhkan kecemburuan sosial dan menurunkan wibawa sipir. Namun demikian, persoalan mendasar pemasyarakatan belum terjawab, hingga meletusnya puncak gunung es terjadi saat kepemimpinan beliau (Amir-Denny)," kata Rivai dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Jakarta (14/7/2013).

Ia menambahkan, salah satu persoalan mendasar, yakni kebijakan pengetatan remisi kiranya salah kaprah, karena seharusnya remisi tidak dihubungkan dengan tindak pidana yang dilakukan napi. Remisi lebih merupakan bentuk reward bagi napi yang berkelakuan baik dan menunjukan pertobatannya.

"Teori punishment and reward berlaku di setiap manajemen kelompok masyarakat, baik di sekolah, prajurit, pekerja pabrik dan sebagainya," ujar dia.

Ia menilai, untuk mengatur ribuan orang dalam lapas, perlu diberi penghargaan atau reward, karena suatu kebutuhan untuk memotivasi para napi agar berlaku tertib dan teratur, serta memperbaiki diri dan bertobat.

"Ini sebenarnya tujuan dari pemasyarakatan itu sendiri, sehingga bila remisi dipersulit, seyogyanya melenceng dari tujuan pemasyarakatan," ungkap dia.

Ia menilai, dari pada pemerintah mempersulit pemberian remisi, sebaiknya pemerintah memperketat, standar penilaian perilaku napi. "Selama ini standarnya tidak jelas dan terkesan terlalu mudah memberi remisi," ucap dia.

Tambah Rivai, terkait kejahatan korupsi, narkoba, dan teroris sebagai extraordinary crime, hal itu sudah menjadi konsensus bangsa dan jelas perlu pemberatan. Namun pemberatannya bukan di remisi tapi seharusnya di hukuman pengadilan.

"Pengadilan Tipikor saat ini masih terlalu ringan menghukum koruptor yang telah jelas-jelas merampok APBN yang notabene uang rakyat, bahkan tidak sedikit di bawah 5 tahun. Kehadiran Hakim Ad Hoc tidak menjamin terjadi pemberatan," pungkas dia. (Ein)