Setiap hari sekitar 1.000 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kembali ke tanah air. Mereka tak hanya membawa kisah bahagia tapi juga cerita pilu. Ada banyak buruh migran perempuan yang datang dalam kondisi membawa bayi baru lahir atau hamil tua. Terkadang tak jelas siapa bapaknya.
Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat, mengaku kesulitan mengawasi para migran dengan kondisi demikian. Apalagi, banyak TKI yang pulang berbadan dua, dan akhirnya menelantarkan anaknya saat kembali pulang ke Indonesia.
"Tragis memang. Susah-susah juga. Itu masalahnya terlalu pribadi. Dan soal begitu mana ada yang mau terbuka. Mulai dari yang beralasan kesepian karena bertahun-tahun di tempat kerjanya. Kita nggak punya kewenangan secara langsung," kata Jumhur saat mengunjungi Rumah Perlindungan Anak TKI (RPA TKI), dalam rangkaian acara Safari Ramadan ke 6, di Desa Nagrak, Kecamatan Gunung Putri, Cikeas, Bogor, Minggu (14/7/2013).
Jumhur juga menambahkan, pihaknya sudah melakukan upaya seperti mendorong moratorium. Namun, hal tersebut juga tidak bisa memastikan nasib TKW berbadan dua.
"Salah satu alasan moratorium ya, berangkat dari banyaknya masalah TKW yang berbadan dua. Ya kalau mau aman, ya nggak usah ada TKI. Kalau bicara tenaga kerja yang berbadan dua kan tidak hanya terjadi di luar negeri, di dalam juga banyak," tambahnya.
Ada banyak anak TKI yang tak jelas siapa bapaknya. Kalaupun ada bapaknya, tapi tanpa dukungan aspek legal yang memadai.
Akibatnya, bayi itu pun terpaksa dititipkan, ditinggalkan dan bahkan dibuang begitu saja di sekitar bandara. Jumlahnya bisa 3-10 bayi setiap bulan. (Ein)
Ketua BNP2TKI, Jumhur Hidayat, mengaku kesulitan mengawasi para migran dengan kondisi demikian. Apalagi, banyak TKI yang pulang berbadan dua, dan akhirnya menelantarkan anaknya saat kembali pulang ke Indonesia.
"Tragis memang. Susah-susah juga. Itu masalahnya terlalu pribadi. Dan soal begitu mana ada yang mau terbuka. Mulai dari yang beralasan kesepian karena bertahun-tahun di tempat kerjanya. Kita nggak punya kewenangan secara langsung," kata Jumhur saat mengunjungi Rumah Perlindungan Anak TKI (RPA TKI), dalam rangkaian acara Safari Ramadan ke 6, di Desa Nagrak, Kecamatan Gunung Putri, Cikeas, Bogor, Minggu (14/7/2013).
Jumhur juga menambahkan, pihaknya sudah melakukan upaya seperti mendorong moratorium. Namun, hal tersebut juga tidak bisa memastikan nasib TKW berbadan dua.
"Salah satu alasan moratorium ya, berangkat dari banyaknya masalah TKW yang berbadan dua. Ya kalau mau aman, ya nggak usah ada TKI. Kalau bicara tenaga kerja yang berbadan dua kan tidak hanya terjadi di luar negeri, di dalam juga banyak," tambahnya.
Ada banyak anak TKI yang tak jelas siapa bapaknya. Kalaupun ada bapaknya, tapi tanpa dukungan aspek legal yang memadai.
Akibatnya, bayi itu pun terpaksa dititipkan, ditinggalkan dan bahkan dibuang begitu saja di sekitar bandara. Jumlahnya bisa 3-10 bayi setiap bulan. (Ein)