Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyambangi Komisi Yudisial (KY), Jakarta Pusat. Mereka melaporkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada terdakwa eks Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto.
Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa menilai, ada ketidakprofesionalan terhadap majelis hakim dalam memeroses dan mengadili terdakwa. Yakni ketika menangani perkara penyalahgunaan jaringan 3G di frekuensi 2.1Ghz yang tercantum dalam perjanjian kerja sama (PKS) antara PT Indosat Tbk dan PT IM2.
"Majelis tidak profesional dalam putusannya. Sehingga putusan majelis menyatakan bahwa PKS melanggar hukum," kata Setyanto di Gedung KY, Jakarta, Rabu (17/7/2013).
Menurut Setyanto, majelis hakim yang terdiri dari Antonius Widijiantono, Aviantara, Annas Mustaqiem, Anwar, dan Ugo tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Serta majelis hakim juga tidak memakai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
"Majelis tidak gunakan UU dan PP itu sebagai pertimbangannya," kata dia.
Tak cuma itu, Setyanto pun menuding majelis bersikap tak adil kepada terdakwa dengan mengabaikan pendapat resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) selaku regulator telekomunikasi. Di mana Kemenkominfo sudah menyatakan tak ada pelanggaran hukum dalam PKS antara PT Indosat dengan PT IM2.
Belum lagi, lanjut dia, majelis juga mengabaikan keterangan saksi dan saksi ahli yang dihadirkan baik oleh pihak terdakwa maupun oleh jaksa penuntut umum (JPU). "19 saksi dari JPU selama persidangan itu justru meringankan terdakwa," kata dia.
"Dan dampak putusan ini juga dirasakan oleh industri perbankan serta tertanggunya iklim investasi di Indonesia," katanya.
Majelis hakim Tipikor menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 1,358 triliun terhadap terdakwa mantan Direktur Utama PT IM2, Indar Atmanto dalam perkara penyalahgunaan jaringan 3G di frekuensi 2.1Ghz.
Meski Indar dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, namun majelis menilai Indar tidak terbukti memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kerugian negara.
Vonis ini dijatuhi karena majelis menilai Indar selaku Dirut PT IM2 terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT Indosat Tbk untuk menggunakan frekuensi 2.1Ghz secara bersama-sama. Indar dianggap seolah-olah melakukan kerja sama penggunaan frekuensi untuk akses internet 3G, tetapi ternyata melawan hukum pemakaian frekuensi 2,1GHz milik PT Indosat Tbk.
Selain Indar, terdakwa lain dalam kasus ini adalah Kaizad B Heerje (Wakil Direktur Utama PT Indosat Tbk), Johnny Swandy Sjam (Direktur Utama PT Indosat Tbk), dan Harry Sasongko (Direktur Utama PT Indosat Tbk) yang perkaranya disidang terpisah. (Ali/Ism)
Ketua Umum Mastel, Setyanto P Santosa menilai, ada ketidakprofesionalan terhadap majelis hakim dalam memeroses dan mengadili terdakwa. Yakni ketika menangani perkara penyalahgunaan jaringan 3G di frekuensi 2.1Ghz yang tercantum dalam perjanjian kerja sama (PKS) antara PT Indosat Tbk dan PT IM2.
"Majelis tidak profesional dalam putusannya. Sehingga putusan majelis menyatakan bahwa PKS melanggar hukum," kata Setyanto di Gedung KY, Jakarta, Rabu (17/7/2013).
Menurut Setyanto, majelis hakim yang terdiri dari Antonius Widijiantono, Aviantara, Annas Mustaqiem, Anwar, dan Ugo tidak menggunakan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Serta majelis hakim juga tidak memakai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
"Majelis tidak gunakan UU dan PP itu sebagai pertimbangannya," kata dia.
Tak cuma itu, Setyanto pun menuding majelis bersikap tak adil kepada terdakwa dengan mengabaikan pendapat resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) selaku regulator telekomunikasi. Di mana Kemenkominfo sudah menyatakan tak ada pelanggaran hukum dalam PKS antara PT Indosat dengan PT IM2.
Belum lagi, lanjut dia, majelis juga mengabaikan keterangan saksi dan saksi ahli yang dihadirkan baik oleh pihak terdakwa maupun oleh jaksa penuntut umum (JPU). "19 saksi dari JPU selama persidangan itu justru meringankan terdakwa," kata dia.
"Dan dampak putusan ini juga dirasakan oleh industri perbankan serta tertanggunya iklim investasi di Indonesia," katanya.
Majelis hakim Tipikor menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 1,358 triliun terhadap terdakwa mantan Direktur Utama PT IM2, Indar Atmanto dalam perkara penyalahgunaan jaringan 3G di frekuensi 2.1Ghz.
Meski Indar dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, namun majelis menilai Indar tidak terbukti memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan kerugian negara.
Vonis ini dijatuhi karena majelis menilai Indar selaku Dirut PT IM2 terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) dengan PT Indosat Tbk untuk menggunakan frekuensi 2.1Ghz secara bersama-sama. Indar dianggap seolah-olah melakukan kerja sama penggunaan frekuensi untuk akses internet 3G, tetapi ternyata melawan hukum pemakaian frekuensi 2,1GHz milik PT Indosat Tbk.
Selain Indar, terdakwa lain dalam kasus ini adalah Kaizad B Heerje (Wakil Direktur Utama PT Indosat Tbk), Johnny Swandy Sjam (Direktur Utama PT Indosat Tbk), dan Harry Sasongko (Direktur Utama PT Indosat Tbk) yang perkaranya disidang terpisah. (Ali/Ism)