Metode pembuktian terbalik masih menjadi perbincangan. Bagi Hakim Agung Gayus Lumbuun pembuktian terbalik itu bermanfaat berdasarkan hukum dan pengalaman. Secara hukum, hal itu rasional ilmiah.
"Melalui pengalaman itu terpikir di balik saja. Tak usah dibuktikan penegak hukumnya, tapi bisa oleh yang bersangkutan dengan berbagai batasan. Ada yang bebas terbatas, ada yang tidak," kata Gayus usai diskusi di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (18/7/2013).
Akan tetapi, lanjut Gayus, konsep pembuktian ini tak bisa dilakukan kalau tidak melalui sebuah undang-undang. Karena pembuktian terbalik ini hukum acara sebenarnya, tidak masuk hukum materiil.
"UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) ini kan hukum materiil. Karena itu harus jelas dan jangan mendiskriminasikan kasus. Hanya tiga kasus yang terkait ini, perkara korupsi, pencucian uang, dan lingkungan," kata mantan Anggota Komisi III DPR ini.
Karena itu, kata Gayus, kalau ini memang riil untuk kemajuan peradaban hukum di Indonesia, seharusnya jangan dibatasi. Karena pembatasan ini ada kelemahannya. "Pembuktian hasil kejahatan sebagai pencucian uang. Bagaimana kalau nanti harta seseorang itu disita hanya karena tidak bisa dipertanggungjawabkan, tapi bukan dari kejahatan?" katanya.
Kata Gayus, hukum itu harus keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kalau ketiga itu berkonflik, lalu bagaimana sikap hukum? "Ini harus jelas, pembuktian penegak hukum Pasal 66 KUHAP merupakan teori yang dirangkum normatif UU," ucap dia.
Menurut Gayus, penyidik, jaksa, dan hakim harus duduk bersama untuk memahami masalah pembuktian terbalik dalam penerapannya terhadap UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mengingat, UU TPPU hanya tempelan dan tidak bisa berdiri sendiri tanpa pidana awal.
Apalagi jika pidana awalnya, misal pidana korupsinya tidak bisa dibuktikan, bagaimana mau membuktikan terbalik terhadap pencucian uangnya. "Ini tidak mudah. Ini dilematis. Hakim saja masih ada berbeda pendapatnya. Tapi jika hukum menjadi monokrasi, ini tidak boleh," terangnya.
Lalu bagaimana dengan kasus yang menimpa mantan Kepala Korlantas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang sejumlah asetnya sebelum UU TPPU disahkan disita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya tidak mau mengomentari kasus. Tapi dalam kasus seperti itu semestinya keterbatasan asas HAM bahwa tidak boleh interaktif, itu jelas. Kemudian asas praduga tak bersalah bagian UU di semua orang yang mengadopsi konfenan anti korupsi," jawab Gayus. (Ali/Ism)
"Melalui pengalaman itu terpikir di balik saja. Tak usah dibuktikan penegak hukumnya, tapi bisa oleh yang bersangkutan dengan berbagai batasan. Ada yang bebas terbatas, ada yang tidak," kata Gayus usai diskusi di Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (18/7/2013).
Akan tetapi, lanjut Gayus, konsep pembuktian ini tak bisa dilakukan kalau tidak melalui sebuah undang-undang. Karena pembuktian terbalik ini hukum acara sebenarnya, tidak masuk hukum materiil.
"UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) ini kan hukum materiil. Karena itu harus jelas dan jangan mendiskriminasikan kasus. Hanya tiga kasus yang terkait ini, perkara korupsi, pencucian uang, dan lingkungan," kata mantan Anggota Komisi III DPR ini.
Karena itu, kata Gayus, kalau ini memang riil untuk kemajuan peradaban hukum di Indonesia, seharusnya jangan dibatasi. Karena pembatasan ini ada kelemahannya. "Pembuktian hasil kejahatan sebagai pencucian uang. Bagaimana kalau nanti harta seseorang itu disita hanya karena tidak bisa dipertanggungjawabkan, tapi bukan dari kejahatan?" katanya.
Kata Gayus, hukum itu harus keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kalau ketiga itu berkonflik, lalu bagaimana sikap hukum? "Ini harus jelas, pembuktian penegak hukum Pasal 66 KUHAP merupakan teori yang dirangkum normatif UU," ucap dia.
Menurut Gayus, penyidik, jaksa, dan hakim harus duduk bersama untuk memahami masalah pembuktian terbalik dalam penerapannya terhadap UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mengingat, UU TPPU hanya tempelan dan tidak bisa berdiri sendiri tanpa pidana awal.
Apalagi jika pidana awalnya, misal pidana korupsinya tidak bisa dibuktikan, bagaimana mau membuktikan terbalik terhadap pencucian uangnya. "Ini tidak mudah. Ini dilematis. Hakim saja masih ada berbeda pendapatnya. Tapi jika hukum menjadi monokrasi, ini tidak boleh," terangnya.
Lalu bagaimana dengan kasus yang menimpa mantan Kepala Korlantas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang sejumlah asetnya sebelum UU TPPU disahkan disita oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Saya tidak mau mengomentari kasus. Tapi dalam kasus seperti itu semestinya keterbatasan asas HAM bahwa tidak boleh interaktif, itu jelas. Kemudian asas praduga tak bersalah bagian UU di semua orang yang mengadopsi konfenan anti korupsi," jawab Gayus. (Ali/Ism)