Presiden SBY resmi menerbitkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Pada 16 Agustus mendatang, Patrialis akan menggantikan Hakim Konstitusi Achmad Sodiki yang juga menjabat Wakil Ketua MK.
Surat Keppres itu pun sudah diterima MK. "Sudah saya terima suratnya. Memang dicalonkan untuk menggantikan salah satu wakil dari unsur pemerintah yang akan berakhir Agustus," kata Ketua MK, Akil Mochtar di Gedung MK, Jakarta, Selasa 30 Juli.
Sebelum menjabat Menteri Hukum dan HAM pada 2009 silam, Patrialis menduduki kursi anggota DPR dari Fraksi PAN periode 2004-2009. PAN mengaku, Patrialis kini bukan anggota partainya lagi.
Kehadiran Patrialis, tentu kian menambah panjang daftar mantan para politisi yang menjadi pengetuk palu keadilan konstitusi. Sebelumnya, sudah ada nama Akil Mochtar yang pernah berkarir sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar dan Hamdan Zoelva yang pernah mengemban jabatan Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB).
Selain Akil dan Hamdan, Ketua MK periode sebelumnya, Mahfud MD juga sempat mencicipi kursi anggota Komisi III DPR. Mahfud saat itu anggota DPR dari Fraksi PKB.
Saat bergabung ke MK pada 2008, Akil dan Mahfud bahkan mendapat 'serangan' dari seorang pengamat hukum yang kini naik pangkat jadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Kala itu, Denny mencium independensi MK bisa terganggu dengan masuknya politisi di jajaran hakim konstitusi.
"Ada kecenderungan terganggunya independensi MK. Dikhawatirkan MK akan sangat condong dengan pertarungan Pemilu (2009)," kata Denny, Sabtu 15 Maret 2008.
Patrialis Dikritik
Pengangkatan Patrialis ini bukan tanpa sorotan. Banyak kalangan mengkritik sekaligus meragukan Patrialis bisa berkinerja dengan baik sebagai hakim konstitusi. Apalagi sebelumnya Patrialis adalah seorang politisi.
Banyak LSM kemudian mempertanyakan keputusan Presiden SBY itu. Sebut saja Indonesia Corruption Watch (ICW), YLBHI, dan Elsam yang merespons cepat pengangkatan Patrialis itu dengan membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK. Mereka pun dengan tegas menolak kehadiran Patrialis sebagai calon hakim konstitusi.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi keberatan para LSM itu terkait pengangkatan Patrialis. Pertama, prosedur pemilihan yang dianggap menyalahi Undang Undang (UU) MK. Kedua, profil Patrialis dinilai kurang memenuhi persyaratan.
"Penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon tunggal Hakim MK dari unsur pemerintah patut dipertanyakan," kata Ketua YLBHI, Alfond Kurnia Palma di kantornya, Jakarta.
Kedepankan Independensi
Sebagai Ketua MK menggantikan Mahfud, Akil sendiri sudah buka suara mengenai penunjukan langsung SBY terhadap Patrialis tersebut.
Jauh sebelum Patrialis diangkat, Akil menjelaskan, chemistry dan harmonisasi di antara 9 hakim konstitusi telah terbangun sejak 5 tahun terakhir. Meskipun suasana dan hubungan kerja di MK sudah begitu kondusif.
Karenanya, dia tidak mau hal-hal tersebut runtuh karena kehadiran orang baru. "Selama 5 tahun chemistry sudah terbangun. Selama ini hubungan kerja juga sangat kondusif," terang Akil.
Lebih jauh Akil menilai, seorang hakim konstitusi harus mengedepankan independensi di atas segala-galanya. Meski pernah terjun ke dunia politik yang penuh dengan kecurangan dan intrik, namun Akil menilai, hakim konstitusi harus lepas dari segala urusan dan kepentingan partai politik.
"Buat saya sebagai mantan orang parpol, independensi (hakim) harus di atas segalanya. Buat apa jadi hakim konstitusi kalau ada kepentingan dari parpol?" tuturnya.
Tak hanya hakim, lanjut Akil, independensi juga harus dimiliki oleh semua lembaga dan masyarakat yang mencari keadilan di MK. Tanpa kecuali. Meski begitu, ada risiko para hakim konstitusi dibenci berbagai pihak, khususnya yang berperkara, karena merasa dirugikan oleh putusan MK.
"Semua harus independen dalam mencari kebenaran dan keadilan di sini. Jadi tidak ada dusta, tidak ada beban, walaupun untuk itu ada yang benci kita," jelasnya.
"Dan tidak pernah sekali pun ada istilah titip perkara (ke hakim konstitusi). Karena misalnya yang berperkara itu teman saya atau orang dekat saya. Begitu juga hakim lainnya," ujarnya.
Akil mengatakan, independensi hakim konstitusi harus dijunjung tinggi, mengingat para pihak yang hendak 'bermain' tak dapat dihitung dengan jari. "Pejabat mencoba main itu bukan main banyaknya. Tidak apa ada orang benci sama saya. Tidak apa juga ada orang parpol yang benci sama saya, dari pada jadi beban," pungkas Akil. (Frd)
Surat Keppres itu pun sudah diterima MK. "Sudah saya terima suratnya. Memang dicalonkan untuk menggantikan salah satu wakil dari unsur pemerintah yang akan berakhir Agustus," kata Ketua MK, Akil Mochtar di Gedung MK, Jakarta, Selasa 30 Juli.
Sebelum menjabat Menteri Hukum dan HAM pada 2009 silam, Patrialis menduduki kursi anggota DPR dari Fraksi PAN periode 2004-2009. PAN mengaku, Patrialis kini bukan anggota partainya lagi.
Kehadiran Patrialis, tentu kian menambah panjang daftar mantan para politisi yang menjadi pengetuk palu keadilan konstitusi. Sebelumnya, sudah ada nama Akil Mochtar yang pernah berkarir sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar dan Hamdan Zoelva yang pernah mengemban jabatan Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB).
Selain Akil dan Hamdan, Ketua MK periode sebelumnya, Mahfud MD juga sempat mencicipi kursi anggota Komisi III DPR. Mahfud saat itu anggota DPR dari Fraksi PKB.
Saat bergabung ke MK pada 2008, Akil dan Mahfud bahkan mendapat 'serangan' dari seorang pengamat hukum yang kini naik pangkat jadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Kala itu, Denny mencium independensi MK bisa terganggu dengan masuknya politisi di jajaran hakim konstitusi.
"Ada kecenderungan terganggunya independensi MK. Dikhawatirkan MK akan sangat condong dengan pertarungan Pemilu (2009)," kata Denny, Sabtu 15 Maret 2008.
Patrialis Dikritik
Pengangkatan Patrialis ini bukan tanpa sorotan. Banyak kalangan mengkritik sekaligus meragukan Patrialis bisa berkinerja dengan baik sebagai hakim konstitusi. Apalagi sebelumnya Patrialis adalah seorang politisi.
Banyak LSM kemudian mempertanyakan keputusan Presiden SBY itu. Sebut saja Indonesia Corruption Watch (ICW), YLBHI, dan Elsam yang merespons cepat pengangkatan Patrialis itu dengan membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK. Mereka pun dengan tegas menolak kehadiran Patrialis sebagai calon hakim konstitusi.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi keberatan para LSM itu terkait pengangkatan Patrialis. Pertama, prosedur pemilihan yang dianggap menyalahi Undang Undang (UU) MK. Kedua, profil Patrialis dinilai kurang memenuhi persyaratan.
"Penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon tunggal Hakim MK dari unsur pemerintah patut dipertanyakan," kata Ketua YLBHI, Alfond Kurnia Palma di kantornya, Jakarta.
Kedepankan Independensi
Sebagai Ketua MK menggantikan Mahfud, Akil sendiri sudah buka suara mengenai penunjukan langsung SBY terhadap Patrialis tersebut.
Jauh sebelum Patrialis diangkat, Akil menjelaskan, chemistry dan harmonisasi di antara 9 hakim konstitusi telah terbangun sejak 5 tahun terakhir. Meskipun suasana dan hubungan kerja di MK sudah begitu kondusif.
Karenanya, dia tidak mau hal-hal tersebut runtuh karena kehadiran orang baru. "Selama 5 tahun chemistry sudah terbangun. Selama ini hubungan kerja juga sangat kondusif," terang Akil.
Lebih jauh Akil menilai, seorang hakim konstitusi harus mengedepankan independensi di atas segala-galanya. Meski pernah terjun ke dunia politik yang penuh dengan kecurangan dan intrik, namun Akil menilai, hakim konstitusi harus lepas dari segala urusan dan kepentingan partai politik.
"Buat saya sebagai mantan orang parpol, independensi (hakim) harus di atas segalanya. Buat apa jadi hakim konstitusi kalau ada kepentingan dari parpol?" tuturnya.
Tak hanya hakim, lanjut Akil, independensi juga harus dimiliki oleh semua lembaga dan masyarakat yang mencari keadilan di MK. Tanpa kecuali. Meski begitu, ada risiko para hakim konstitusi dibenci berbagai pihak, khususnya yang berperkara, karena merasa dirugikan oleh putusan MK.
"Semua harus independen dalam mencari kebenaran dan keadilan di sini. Jadi tidak ada dusta, tidak ada beban, walaupun untuk itu ada yang benci kita," jelasnya.
"Dan tidak pernah sekali pun ada istilah titip perkara (ke hakim konstitusi). Karena misalnya yang berperkara itu teman saya atau orang dekat saya. Begitu juga hakim lainnya," ujarnya.
Akil mengatakan, independensi hakim konstitusi harus dijunjung tinggi, mengingat para pihak yang hendak 'bermain' tak dapat dihitung dengan jari. "Pejabat mencoba main itu bukan main banyaknya. Tidak apa ada orang benci sama saya. Tidak apa juga ada orang parpol yang benci sama saya, dari pada jadi beban," pungkas Akil. (Frd)