Sukses

Kado Lebaran untuk SBY Agar Stop Utang Luar Negeri

Kado Lebaran diberikan aktivis perikanan untuk Presiden SBY. Mereka berharap SBY berhenti berutang ke luar negeri.

Belasan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Kamis (1/8/2013) sore menggelar aksi di depan halaman Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Dalam aksinya, para aktivis ini memberikan kado bingkisan Lebaran kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diserahkan melalui Kantor Sekretaris Negara. Kado ini sebagai simbol kekecewaan terhadap SBY yang berutang kepada asing.

"Yang paling pokok, bingkisan kado Lebaran ini sebagai bentuk upaya untuk mendesak Presiden SBY untuk menghentikan utang luar negeri," ujar Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Liputan6.com di lokasi aksi , Kamis (1/8/2013).

Dalam bingkisan simbolik tersebut, berisi petisi bersama bertema Lestarikan Laut dengan Kearifan Lokal, Bukan Uutang atau Bantuan Asing. Petisi ini sebelumnya telah diluncurkan selama 21 hari sejak 11 hingga 31 Juli 2013 melalui jejaring media sosial. Sedikitnya 124 organisasi dan individu telah memberi dukungan.

Dituturkan Halim, kado yang dirangkai di atas keranjang rotan berisi buku keputusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau kecil.

Halim menegaskan, bingkisan ini sebagai upaya untuk menunjukkan penetapan konservasi laut sudah menelan banyak korban nelayan tradisional dan masyarakat adat. Dan ironisnya, akan ada target lahan konservasi seluas kawasan 20 juta hektare.

"Sekarang sudah mencapai 15,7 juta hektare. Hampir di seluruh pesisir laut Indonesia. Korban terbanyak terjadi di Indonesia bagian timur misalnya praktek yang terjadi di Sasi Maluku, Bapongka Sulawesi Tengah, Panglima Laot Aceh, Awing-Awing Bali, Nusa Tenggara dan Mane'e Sulawesi Utara," tutur Halim.

Berdalih Konservasi

Selain memberikan hadiah kepada SBY, aksi ini juga bertujuan mendesak SBY agar menghentikan utang luar negeri yang berdalih konservasi perikanan dan kelautan.

"Tujuan aksi ini kami ingin mendesak SBY untuk menghentikan utang dengan dalih praktik konservasi sumber daya laut," ujar Halim.

Halim menjelaskan, berdasar catatan Pusat Data dan Informasi Kiara pada Mei 2013, periode 2004 hingga 2011 hutang luar negeri untuk program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (Coremap II) mencapai lebih dari Rp 1,3 triliun.

"Sebagian besar sumbernya dari utang luar negeri Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB)," imbuhnya.

Catatan lain, lanjut Halim, Pemerintah Amerika Serikat memberikan bantuan hibah kepada Indonesia senilai US$ 23 juta atau Rp 235,4 miliar. Rencananya, dana hibah itu akan diberikan dalam jangka waktu 4 tahun. Terdiri dari kawasan konservasi senilai US$ 6 juta dan penguatan industrialisasi perikanan senilai US$ 17 juta.

Halim melihat ini sebagai intervensi pihak asing atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia atas sumber daya lautnya. Karena sebenarnya, masyarakat Indonesia sudah memiliki model pengelolaan sumber daya laut atau konservasi sejak berabad-abad silam.

Tuntutan

Karenanya, lanjut Halim, Kiara menuntut 2 hal kepada SBY. Pertama agar segera menghentikan skema utang luar negeri dalam penyelenggaraan program konservasi sumber daya laut. Kedua, memberikan dukungan penuh terhadap inisiatif lokal yang telah dijalankan turun-temurun oleh 92 persen nelayan tradisional dan masyarakat adat

Halim menambahkan, masyarakat Indonesia khususnya nelayan tradisional dan masyarakat adat sudah memiliki model tersendiri dalam pengelolaan konservasi. "Masyarakat kita sudah melakukan itu, jangan kejar pencitraan internasional," ujarnya.

Dengan dana utang itu, Halim menilai, akan berimplikasi terhadap kerusakan tatanan kehidupan yang sudah ada sejak lama. "Karena lewat iming-iming kepada masyarakat mereka pada ribut, saling bertengkar," ujarnya.

"Atas nama perubahan iklim, stok ikan berkurang, terumbu karang mengalami pemutihan, dengan isu tersebut Indonesia ingin dapat pengakuan. Padahal kami sudah telusuri, baik eksosistemnya, justru yang ada ini merusak," pungkas Halim. (Ali/Sss)
Video Terkini